Sabtu, 29 Maret 2008

Analisis Draft Kode Etik Mediator

ANALISIS DRAFT KODE ETIK MEDIATOR DIKAITKAN DENGAN PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

1. PENDAHULUAN
Manusia memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, di dalam berhubungan manusia lain diperlukan keteraturan. Keadilan dan kepastian hukum merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam masyarakat[1]. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konflik-konflik hukum yang terjadi di masyarakat menjadi semakin meningkat sehingga menghambat jalannya proses penegakan. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi penumpukan perkara adalah melalui mediasi. Mediasi pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution). Dikatakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa karena mediasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa di samping pengadilan. Panjangnya proses peradilan, mulai dari tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK) membuat penyelesaian membutuhkan waktu yang lama. Padahal, mayarakat mencari proses penyelesaian yang mudah dan cepat. Dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada yang mampu mendesain sistem peradilan yang efektif dan efisien[2]. Banyak aspek yang harus dipertimbangan agar tidak saling berbenturan. Adanya kewalahan dalam menangani perkara-perkara kasasi dan PK yang setiap tahunnya semkain menumpuk, membuat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA (PERMA) tentang Prosedur Mediasi Perkara di Pengadilan[3]. Dengan keluarnya Perma mengenai Mediasi ini diharapkan mampu mengurangi penumpukan perkara di pengadilan dengan cara mengintegrasikan mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan. Jadi, perkara-perkara yang sederhana, tidak perlu diselesaikan berlarut-larut.

2. MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Lembaga sejenis mediasi untuk menyelesaikan perkara di laur pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130 HIR/195 RBg. Pasal ini menyatakan bahwa bila kedua belah pihak hadir di pengadilan, maka ketua akan mencoba mendamaikan mereka. Bila perdamaian tercapai, maka dibuatkan akta perdamaian yang harus dipatuhi, berkekuatan dan dijalankan sebagai keputusan biasa. Menurut M. Yahya Harahap, upaya mendamaikan bersifat imperatif[4]. Hal ini dapat ditarik dari kesimpulan Pasal 131 ayat (1) HIR bahwa bila hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal itu harus dicantumkan dalam berita acara sidang. Kelalaian tidak mencantumkan hal tersebut mengakibatkan pemeriksaan perkara menjadi cacat formil dan pemeriksaannya batal demi hukum. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa proses perdamaian sangat penting dan wajib dilakukan.

Selain landasan formil yang diatur dalam HIR/RBg, sebenarnya ada usaha MA untuk mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan ke arah yang lebih bersifat memaksa. Awalnya, MA mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Namun, dirasakan keberadaan SEMA ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 130 HIR. Kemudian, MA melakukan penyempurnaan dengan mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003. Dalam konsiderannya, dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA tersebut, antara lain:
1. untuk mengatasi penumpukan perkara.
2. proses mediasi lebih cepat, tidak formalistis dan teknis.
3. biaya yang relatif murah atau minimal cost.
4. dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau dapat memberi penyelesaian yang lebih memuaskan atas penyelesaian sengketa, karena penyelesaian sengketa lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan berdasarkan perundingan dan kesepakatan daripada pendekatan hukum dan bargaining power.

Menurut PERMA ini, yang dimaksud dengan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara dengan dibantu oleh mediator yang memiliki kedudukan dan fungsi sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial) dan sebagai pembantu atau penolong (helper) untuk mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak.

Pada prinsipnya, ada 2 jenis mediasi, yaitu di luar dan di dalam pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh PERMA ini. Namun ada juga mediasi di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan di Indonesia terdapat dalam beberapa Undang-undang, seperti UU tentang Lingkungan, UU tentang Kehutanan, UU tentang Ketenagakerjaan dan UU tentang Perlindungan Konsumen.

Pemilihan proses mediasi sebagai penyelesaian sengketa pada dasarnya tidak hanya disebabkan oleh biaya yang lebih murah dibandingkan dengan berperkara melalui pengadilan. Proses mediasi berjalan dengan 2 prinsip yang penting[5]. Pertama, adanya prinsip win-win solution, bukan win-lose solution. Di sini, para pihak “sama-sama menang” tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril dan reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua, mediasi memiliki prinsip bahwa putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan. Selain mempersingkat waktu penyelesaian sengketa sehingga mengurangi beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara, proses mediasi juga menimbulkan efek sosial, yaitu semakin mempererat hubungan sosial atau hubungan persaudaraan. Melalui mediasi, dapat dihindari cara-cara berperkara melalui pengadilan yang mungkin menimbulkkan keretakan hubungan antara pihak-pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan oleh proses mediasi yang berjalan lebih informal dan terkontrol oleh para pihak. Dalam proses mediasi ini lebih merefleksikan kepentingan prioritas para pihak dan mempertahankan kelanjutan hubungan para pihak.

3. MEDIATOR DAN KODE ETIK MEDIATOR
Dalam sebuah proses mediasi, pihak yang paling berperan adalah pihak-pihak yang bersengketa atau yang mewakili mereka. Mediator dan hakim semaka-mata menjadi fasilitator dan penghubung untuk menemukan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Mediator atau hakim sama sekali tidak dibenarkan untuk menentukan arah, apalagi menetapkan bentuk maupun isi penyelesaian yang harus diterima para pihak. Namun, mediator atau hakim diperbolehkan, menawarkan pilihan-pilihan berdasarkan usul-usul pihak-pihak yang bersengketa untuk sekedar meminimalisir perbedaan di antara mereka sehingga terjadi kesepakatan. Oleh sebab itu, penyelesaian dengan cara mediasi dapat dikatakan sebagai penyelesaian dari dan oleh masyarakat itu sendiri[6]. Dari sini, mediasi dapat dipandang sebagai sebuah pranata sosial, bukan pranata hukum. Oleh sebab itu, pekerjaan mediasi bukanlah pekerjaan di bidang hukum, walaupun pekerjaan paling utamanya menyelesaikan sengketa hukum. Seorang mediator tidak harus seorang ahli hukum. Syarat utama untuk menjadi seorang mediator adalah kemampuan untuk mengajak dan menyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan yang terbaik menyelesaikan sengketa mereka (keahlian dalam teknik mediasi)[7].

Terkait dengan pemilihan mediator, ada dua klasifikasi mediator, yaitu mediator yang berada dalam lingkungan pengadilan yang termuat dalam daftar mediator (Pasal 4 ayat (1)) dan mediator di luar daftar mediator yang memiliki sertifikat sebagai mediator. Mediator yang termuat dalam daftar mediator di pengadilan dapat berasal dari hakim dan non-hakim. Untuk dapat menjadi mediator, seseorang haruslah telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi pada lembaga yang telah diakreditasi oleh MA, memiliki sertifikat sebagai mediator dan bersikap netral serta tidak memihak.

Pasal 2 PERMA No. 2 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, mediator wajib menaati Kode Etik Mediator. Kode etik memiliki peranan yang penting di dalam menjaga integritas profesi itu sendiri. Di dalamnya terdapat berbagai kewajiban yang mengikat seorang, dalam hal ini mediator, untuk bersikap dan bertindak dalam menjalankan tugasnya. Peraturan mengenai profesi umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai aturan-aturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya. Seorang pengemban profesi harus dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya dan dituntut untuk menjiwai profesinya dengan suatu sikap etis tertentu. Di sinilah peranan kode etik harus mampu menjaga rambu-rambu etis yang berlaku bagi semua anggotanya. Kode etik tidak saja bertujuan demi kepentingan pihak yang dibantu, melainkan juga demi kepentingan umum (public interest) yang menurut profesi tersebut patut mendapat perlindungan[8].

Sebagai sebuah etik normatif, umumnya dapat dikatakan bahwa kode etik mengandung ketentuan-ketentuan[9] yang mencakup:
1. kewajiban pada dirinya sendiri,
2. kewajiban-kewajiban kepada umum,
3. ketentuan-ketentuan mengenai kerekanan,
4. kewajiban terhadap orang ataupun profesi yang yang dilayani.

4. ANALISIS
Draft Kode Etik Mediator yang baru memiliki ruang lingkup yang lebih kecil. Dalam hal ini, kode etik tersebut hanya berlaku bagi mediator yang tercatat dalam daftar mediator yang terdapat di Pengadilan Negeri (PN) dalam rangka pelaksanaan PERMA No. 2 Tahun 2003 (Pasal 1). Sementara, PERMA itu sendiri mengakui keberadaan mediator lain yang tidak tecatat dalam daftar mediator PN. Apalagi, untuk proses mediasi sebagai bagian dari sistem peradilan di tingkat pertama, para pihak dapat menunjuk mediator yang mereka sepakati bersama. Pasal 4 PERMA No. 2 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Apabila belum terpilih, para pihak wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Artinya, baik mediator yang tercatat dalam daftar mediator maupun mediator di luar daftar tersebut memiliki profesi yang sama dan PERMA sendiri mengakui keberadaan keduanya. Dalam hal ini, seharusnya Draft Kode Etik Mediator juga mencakup mediator yang tidak tercatat dalam daftar mediator di Pengadilan Negeri sehingga tidak mencerminkan seolah-olah bahwa profesi mediator memiliki organisasi profesi yang berbeda.

Pasal 2 Draft Kode Etik Mediator menyatakan bahwa seorang mediator bertanggungjawab kepada para pihak yang dibantu dan terhadap profesinya. Namun, bentuk tanggungjawab yang dimaksud dalam pasal ini sebenarnya masih abstrak. Apabila dikaitkan dengan bidang pengawasan, maka pada prinsipnya mediator tersebut juga bertanggungjawab kepada lembaga yang melaksanakan pengawasan, yaitu Ketua PN. Ketua PN merupakan sebuah jabatan dalam lembaga eksekutif (pemerintah). Padahal, sebagai sebuah profesi, harusnya mediator memiliki independensi dan tidak terikat dengan lembaga-lembaga di luar profesinya sehingga menjamin prinsip ketidakberpihakan dari profesi mediator.

Mediator dalam Draft Kode Etik yang baru diwajibkan memelihara dan mempertahankan ketidakberpihakan terhadap para pihak, baik dalam wujud kata, sikap dan tingkah laku. Namun, dalam PERMA diatur mengenai kaukus, yaitu pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Selama tahap mediasi, mediator diberi kewenangan untuk melakukan kaukus apabila dianggap perlu (Pasal 9). Ketentuan PERMA ini tidak sejalan dengan prinsip netralitas yang dianut dalam mediasi. Pada sebuah pertemuan sepihak dan tanpa kehadiran pihak lain, bisa saja terjadi hal-hal yang menyimpang dari tujuan yang diharapkan dengan kode etik itu sendiri. Pertanggungjawaban seorang mediator tidak saja kepada salah satu pihak, melainkan kepada para pihak. Agar seorang mediator tetap netral dalam menjalankan tugasnya, sebaiknya pertemuan antara mediator dan salah satu pihak harus dibatasi selama proses mediasi berlangsung. Pertemuan hanya dilakukan di tempat-tempat yang telah disepakati bersama. Mediator perlu membatasi perilakunya agar dengan tidak condong kepada pihak lain. Bila informasi yang diperoleh dari salah satu pihak tidak seimbang atau adanya pertemuan secara sepihak, dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap tindak mediator terhadap penyelesaian sengketa tersebut. Dengan menjaga agar tidak terjadi pertemuan sepihak, mediator di sisi lain juga menghormati hak-hak pihak lainnya.

Selain itu, Pasal 6 Draft Kode Etik Mediator yang membolehkan seorang mediator berprofesi sebagai pengacara atau advokat merupakan ketentuan yang tidak konsisten. Posisi seorang mediator hampir mirip dengan profesi hakim. Dia berdiri di antara dua pihak yang bersengketa. Perbedaannya, mediator hanya menengahi, dan tidak memutus sengketa tersebut. Sementara, posisi seorang advokat atau pengacara sudah terbiasa untuk membela salah satu pihak. Hal yang dikhawatirkan apabila seorang mediator juga berprofesi sebagai advokat, maka mediator tersebut tidak dapat bekerja maksimal untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Benturan juga dapat terjadi terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh Ketua PN kepada seorang mediator yang berprofesi sebagai advokat. Di satu sisi, seorang advokat memiliki tanggungjawab terhadap organisasi advokat. Namun, di sisi lain, ia juga harus tanggungjawab terhadap profesi mediator yang pengawasannya dilakukan oleh Ketua PN. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk terjadi konflik kepentingan terkait dengan fungsi hakim dan advokat yang sama-sama melaksanakan tugasnya di pengadilan.

Sebagai sebuah kode etik, Draft Kode Etik Mediator ini lebih banyak mengatur mengenai kewajiban terhadap diri sendiri, kewajiban terhadap pengguna jasa dan kewajiban untuk profesinya, sedangkan kewajiban terhadap rekan satu profesi tidak diatur.

Merujuk pada Pasal 9 Draft Kode Etik yang menyebutkan bahwa seorang mediator yang telah melanggar Kode Etik dijatuhi sanksi, antara lain penghapusan nama mediator dalam daftar mediator di Pengadilan Negeri. Ketentuan ini tidak konsisten dan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum. Proses mediasi dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Apabila seorang mediator sudah dianggap melanggar Kode Etik Mediator, maka seharusnya tidak saja nama mediator tersebut yang harus dihapus dari daftar mediator, melainkan juga tidak dapat lagi berprofesi sebagai mediator. Mediator merupakan salah satu profesi yang tidak saja mengandalkan keilmuan yang diwujudkan dengan memberikan bantuan kepada pihak yang membutuhkan solusi penyelesaian sengketa. Mediator juga terikat dengan tanggung jawab terhadap profesi itu sendiri dan sekaligus bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat. Apabila seseorang sudah tidak lagi layak berprofesi sebagai mediator, tentunya profesi mediator tidak dapat lagi diemban meskinpun tidak lagi berada dalam lingkup pengadilan. Di sini, peran organisasi profesi ikut menentukan dalam menjaga rambu-rambu profesi mediator yang tercermin dalam bentuk Kode Etik Mediator. Oleh sebab itu, sanksi yang tepat bagi mediator yang melanggar Kode Etik Mediator haruslah pencabutan lisensi sebagai mediator sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk mediasi di luar pengadilan.

Terkait dengan pengawasan profesi mediator, Draft Kode Etik yang baru menentukan bahwa tugas pengawasan dan penindakan dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan membentuk sebuah tim untuk memeriksa kebenaran pengaduan para pencari keadilan tentang terjadinya pelanggaran etika tersebut (Pasal 9). Sistem pengawasan ini berbeda dengan profesi lain yang memiliki dewan pengawasan tersendiri untuk menindak mediator yang melakukan pelanggaran etika profesi.

5. KESIMPULAN
Kode etik sebagai sebuah peraturan profesi haruslah mencakup ruang lingkup yang menyeluruh atas profesi itu sendiri. Dalam hal ini, hak dan kewajiban yang diatur dalam Kode Etik Mediator juga harus berlaku, baik bagi mediator yang tercatat dalam daftar mediator di Pengadilan Negeri maupun yang tidak. Draft Kode Etik yang baru harus disempurnakan kembali agar menjaga konsistensinya demi menjaga integritas dari profesi mediator itu sendiri.

Catatan kaki:
[1] OK. Chairuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 97.
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 229.
[3] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/26/nasional/454635.htm.
[4] M. Yahya Harahap,ibid., hlm. 239.
[5] Bagir Manan, “Mediasi sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa”, Varia Peradilan, No. 248 (Juli, 2006), hlm. 9.
[6] Ibid., hlm. 13.
[7] Ibid., hlm. 15.
[8] Oemar Seno Adji, Etika Profesi dan Hukum: Profesi Advokat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991) hlm. 21.
[9] Ibid., hlm.16.

Perkawinan Beda-Agama (Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia)

PERKAWINAN BEDA-AGAMA DARI ASPEK HAK ASASI MANUSIA


I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa[1]. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran[2], perkawinan sejenis[3], kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama[4].

Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan[5] yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.

Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut[6]. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri[7] sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama[8] sehingga tidak dapat diterima.

Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia[9]. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).


II. PERKAWINAN MENURUT HUKUM NASIONAL

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja[10]. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.

Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat[11], yaitu:

1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:

A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).

2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).

3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).

4. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.

B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:

1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.

2. Larangan kawin karena zinah

3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.

2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.

Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.

Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) hanya prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.

UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama[12]. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah[13].

3. Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.

Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara[14] yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.

Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama[15]. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.


III. KETERKAITAN PERKAWINAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
1. Instrumen Internasional
Sejarah perjuangan untuk mengukuhkan gagasan hak asasi manusia sudah dimulai sejak abad ke-13, yaitu sejak ditandatanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland. Memang, Magna Charta sendiri saat itu hanya sekedar jaminan perlindungan bagi kaum bangsawan dan Gereja dan belum merupakan perlindungan hak asasi manusia seperti yang didengungkan saat ini. Namun, dilihat dari segi perjuangannya, momen ini dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam sejarah hak-hak asasi manusia[16]. Perjuangan yang nyata seputar hak asasi manusia baru dimulai dengan ditandatanganinya Bill of Rights oleh Raja Wilhem III pada tahun 1689 yang dianggap sebagai kemenangan parlemen atas raja. Perkembangan selanjutnya, kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke dan Rousseau.

Dasar pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi[17] yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak kebebasan.

Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, sebuah deklarasi mengenai hak asasi manusia (HAM) disepakati di Paris pada tahun 1948, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kemudian, deklarasi ini dipertegas kembali dengan dilahirkannya International Covenant on Civil and Polticial Rights (ICCPR) yang dipengesahannya oleh Indonesia dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang pengesahannya dilakukan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini, pria dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.

Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.

DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal 10 ICESCR).

2. Instrumen Nasional
Sejak perubahan UUD 1945 (UUD 1945 Amandemen), kedudukan HAM di Indonesia menjadi sangat penting[18]. Hal ini tercermin dari meluasnya pengaturan terkait HAM dan pengelompokannya ke dalam satu bab tersendiri. Selain UUD NRI 1945, sebelumnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) telah memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap HAM di Indonesia.

Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU HAM. Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

IV. ANALISIS
Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial[19], Indonesia menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan atas HAM ini diberikan tanpa melakukan diskriminasi (Pasal 3 ayat (3)). Menurut Pasal 1 angka 3 UU HAM, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia ada dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Sebagai hak yang paling mendasar, HAM mau tidak mau harus diwujudkan secara konkrit, tidak hanya sekedar meratifikasi konvensi-konvensi HAM internasional, melainkan juga menerapkan hak-hak tersebut ke dalam hukum nasional. Sebagai instrumen internasional yang diakui Indonesia sebagai negara anggota PBB, prinsip-prinsip HAM harus digabungkan ke dalam hukum positif[20], walaupun dengan catatan bahwa harus disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Namun, menggunakan alasan demi menjaga kebudayaan bangsa untuk mengurangi makna dari HAM merupakan sebuah pengingkaran atas HAM itu sendiri. Sebagai merupakan instrumen yang bersifat universal, HAM seharusnya tidak hanya diakui keberadaannya secara mutlak,namun juga harus dijunjung tinggi. Ini menunjukkan penghormatan setinggi-tinggi terhadap nilai-nilai dalam HAM. Di sini, pemerintah berkewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM agar menjadi norma-norma yang diterima menjadi landasan bagi warga negara dalam kehidupannya. HAM harus diarahkan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat. Hak-hak asasi manusia bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam keadaan individu, melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman kesadaran, melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak asasi manusia itu sendiri[21].

Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut[22]. Pandangan ini dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk[23].

Selain itu, pengakuan atas HAM sebagai nilai yang universal dan mendasar juga memberikan konsekuensi bagi Indonesia untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan HAM ke dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai HAM itu memang menjadi prinsip dasar setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam beberapa contoh, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pembatalan Undang-Undang (UU) atau pasal yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Tindak Pidana Korupsi atau beberapa pasal dalam UU tentang pemilihan presiden yang terkait bekas anggota PKI.

Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama. Secara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan HAM di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 10 ayat (2) UU HAM secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU HAM, yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon istri. Dari sini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut UU HAM hanya dipandang dari aspek keperdataan saja. Di sini, tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan. Sementara, perkawinan yang diatur oleh UU Perkawinan yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Artinya, antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal, Pasal 3 ayat (3) UU HAM) menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini. Penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan beda-agama merupakan sebuah tindakan diskriminatif berdasarkan agama.

Di sisi lain, UU Perkawinan sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang beda-agama. Bila memang perkawinan beda-agama tidak diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam Undang-Undang. Hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional. Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang-Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.

Selain tidak adanya larangan terhadap perkawinan beda-agama, UU Perkawinan (Pasal 57) juga mengakui adanya perkawinan campuran, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing, serta perkawinan yang dilakukan di luar negeri (Pasal 56) antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing. Dalam kasus tertentu, bisa saja perkawinan campuran atau perkawinan yang dilakukan di luar negeri juga merupakan perkawinan beda-agama. Pengakuan terhadap perkawinan seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila warga negara sendiri tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan beda-agama, tentu muncul pertanyaan mengapa perkawinan campuran atau perkawinan di luar negeri diakui oleh negara.

Sayangnya, UU HAM sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan, yaitu sah dari aspek agama dan sah dari aspek administrasi.

Sebagai sebuah ikatan bathin yang suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama. Bila tidak, negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah-masalah pribadi seseorang. Saat ini, telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara tidak lagi mengintervensi kehidupan beragama di Indonesia[24]. Dalam hal ini, negara hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, terlihat ada perbedaan antara konsepsi mengenai perkawinan berdasarkan UU HAM dan pengaturan mengenai perkawinan berdasarkan UU Perkawinan. Di satu sisi, UU HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas calon suami/istri, sementara di sisi lain, UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak bebas calon suami/istri.

Perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui oleh negara sebagai salah satu hak dari setiap warga negara. UU Perkawinan sendiri sudah menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan bathin. Oleh sebab itu, negera tidak boleh ikut campur dalam hal bathin warga negaranya karena merupakan lingkup hak asasi warga negaranya.

Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari segi yuridis, melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis[25]. Secara sosiologis, tidak adanya pengakuan negara atas perkawinan antar-agama menyebabkan banyak warga negara yang melakukan perkawinan di negara-negara yang melegalkan perkawinan seperti itu. Cara ini dapat dilegalkan dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 56 UU Perkawinan. Sebagai syaratnya, perkawinan tersebut harus dicatatkan dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke wilayah Indonesia dengan membawa surat bukti perkawinan untuk didaftarkan di Kantor Pencatatan setempat. Walaupun demikian, dalam prakteknya tetap saja muncul hambatan dalam melakukan pendaftaran perkawinan beda-agama[26]. Hal ini disebabkan adanya penafsiran bahwa UU Perkawinan melarang terjadinya perkawinan beda-agama. Penafsiran ini pada prinsipnya kurang tepat karena banyak perkawinan beda-agama yang diterima dalam masyarakat, dalam kasus ini, terutama untuk pasangan yang terdiri atas calon suami yang beragama Islam dan calon istri yang beragama Kristen[27]. Dari sudut pandang HAM, penerimaan perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar asas-asas HAM. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan dampak sosial baru.

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita-cita dari sebuah negara hukum. Salah satu yang menjadi tujuan fundamental dari pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum[28]. Di sini, negara harus benar-benar secara serius menjamin hak-hak dasar warga negara. Demikian juga dengan hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun kedua mempelai merupakan pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakui perkawinan ini, antara lain sebagai bentuk harmonisasi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU HAM terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.

Secara yuridis, UU Perkawinan tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda-agama. Bahkan, UU Perkawinan memberikan secara tidak langsung memberikan ruang bagi terjadinya perkawinan beda-agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 UU Perkawinan. Secara sosiologis, perkawinan beda-agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda-agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar dari hak asasi manusia itu sendiri.

V. KESIMPULAN
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.

Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.


[1] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 3.

[2] Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

[3] Sebagai contoh, lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender.

[10] Soimin, loc. cit.

[11] Ibid., hlm. 63.

[12] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 61.

[13] Wahono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003), hlm. 102.

[15] Darmabrata, op. cit., hlm. 104.

[16] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 307.

[17] Ibid., hlm. 309.

[19] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 128.

[20] Slamet Marta Wardaya, “Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat,” Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, ed. H. Muladi (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2005), hlm. 6.

[21] Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia. Suatu Pemahaman Kritis (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 75.

[22] OK. Chairuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 97.

[23] Ibid., hlm. 143.

[25] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm. 87.

[27] Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989), hlm. 166.

[28] T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1987), hlm. 36.


2007@bh4kt1

Urgensi Deregulasi Aturan Penyelenggaraan VoIP di Indonesia

Urgensi Deregulasi Aturan Penyelenggaraan VoIP di Indonesia


1. PENDAHULUAN


Sesaat sebelum kota London diguncang oleh bom pada tanggal 7 Juli 2005 lalu, tidak banyak yang menyadari bahwa komunikasi melalui VoIP begitu sangat penting. Saat itu, jaringan telepon mobile mengalami overload sehingga komunikasi dengan keluarga dan teman hanya memungkinkan melalui VoIP. Sekelumit kejadian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bahwa keberadaan teknologi VoIP saat ini sudah saatnya lebih diperhatikan karena peranannya bisa begitu penting.


Di Indonesia, teknologi VoIP sebenarnya sudah digunakan sejak beberapa tahun lalu. Kini, pemakaian VoIP sudah semakin luas. Namun, pemanfaatannya masih menimbulkan pro dan kontra. Terakhir, masalah VoIP ini malah menyeret beberapa tersangka dengan tuduhan melakukan korupsi yang merugikan negara. Tentu kita bertanya mengapa memberikan layanan yang lebih murah dari Telkom dianggap sebagai sebuah hal yang tabu. Padahal, Telkom tidak lagi memonopoli pasar penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Kondisi ini memprihatinkan karena perkembangan teknologi tidak diselaraskan dengan regulasi yang mengaturnya. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak begitu responsif dalam menanggapi perkembangan teknologi telekomunikasi, khususnya dalam bidang VoIP ini.


Kebutuhan akan telekomunikasi di Indonesia pada dasarnya sangat mendesak. Bukan saja dilihat dari letak geografis yang terdiri atas pulau-pulau, melainkan juga dari jumlah penduduk yang begitu besar. Dari sisi telekomunikasi, Indonesia sebenarnya belum masuk kategori negara berkembang. Tingkat penggunaan telepon masih sangat rendah jauh di bawah standar dunia
[1], yaitu masih 50 persen. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri menetapkan sebuah negara dikategorikan sebagai negara berkembang apabila tingkat penggunaan telepon (teledensitas) mencapai 100 persen. Sebagai perbandingan, negara Malaysia sudah mencapai 70 persen. Membaca kondisi ini, telekomunikasi bukan saja masalah yang urgen untuk mendapat perhatian, melainkan juga memiliki posisi yang strategis karena kemudahan dan murahnya layanan komunikasi ini. Dalam mengatur penyelenggaraan telekomunikasi ini, pemerintah tidak boleh gegabah karena menyangkut kepentingan yang begitu besar, baik kepentingan pemerintah, kalangan industri telekomunikasi maupun masyarakat.


2. KELEBIHAN LAYANAN VoIP


Pada dasarnya, teknologi VoIP ini bukan sesuatu yang baru karena hanya mengimplementasikan teknologi yang sudah ada sebelumnya. Namun, VoIP merupakan sebuah kombinasi baru. Komputer yang semakin cepat dan murah semakin mendorong perkembangan VoIP.


VoIP (Voice over Internet Protocol), disebut juga IP Telephony atau Internet Telephony adalah teknologi yang mengirim suara dalam bentuk paket data melalui jaringan Internet
[2]. Aplikasi VoIP (Internet Phone) pertama kali ditawarkan pada tahun 1995, salah satunya oleh perusahaan Israel bernama VocalTec. Aplikasi ini berjalan di PC (Computer-to-Computer) dengan memadatkan sinyal suara dan kemudian dikirim melalui Internet. Selanjutnya, teknologi VoIP berkembang cepat. Berkat penggunaan sebuah gateway khusus, Internet Telephony sudah dapat dihubungkan langsung ke jaringan PSTN (Computer-to-Phone) dan bahkan antartelepon (Phone-to-Phone). Layanan VoIP yang umum saat ini dilakukan dengan 3 metode[3], yaitu:

1. Menggunakan Analog Telephone Adaptor (ATA)

Perangkat ATA digunakan untuk menghubungkan sebuah perangkat telepon standar langsung ke komputer atau terhubung ke Internet untuk digunakan dengan VoIP. Perangkat ATA merupakan sebuah konverter analog ke digital. Sinyal analog dari telepon konvensional diubah oleh konverter ini menjadi data digital dan dikirim melalui Internet.

2. Menggunakan IP Phone

IP Phone adalah telepon khusus yang bentuknya hampir sama dengan telepon konvensional. Hanya saja, IP Phone tidak memiliki konektor kabel seperti pada telepon konvensional (RJ-11), melainkan RJ-45 yang merupakan konektor untuk terhubung langsung ke sebuah perangkat Router dan memiliki semua hardware dan software yang dibutuhkan untuk menangani VoIP.

3. Komunikasi Antarkomputer (Computer-to-Computer)

Metode ini paling mudah dilakukan untuk menggunakan VoIP. Komputer hanya membutuhkan sebuah software khusus, mikrofon, pengeras suara, sound-card dan koneksi Internet yang memadai untuk dapat melakukan komunikasi VoIP.


Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, seperti kebutuhan transmisi yang cepat dan keamanan yang memadai, terobosan ini tentu memberikan nilai lebih, terutama dalam menghemat biaya percakapan jarak jauh maupun internasional. Dengan membayar pulsa lokal yang merupakan biaya koneksi untuk mengakses Internet, seseorang sudah dapat melakukan pembicaraan dengan seorang rekan di luar negeri.


Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi telepon melalui VoIP saat ini lebih hemat daripada komunikasi dengan saluran konvensional. Efisiensi ini pada dasarnya tidak saja bermanfaat bagi pengguna, melainkan juga oleh pemerintah sebagai satu-satunya lembaga berwenang dalam memperluas sarana telekomunikasi di Indonesia.


Menurut Onno W. Purbo, teknologi VoIP dapat mereduksi tarif SLJJ dan SLI menjadi 1/8 dan bahkan 1/10 dari tarif telekomunikasi saat ini
[4]. Perhitungan ini tentu menjadi solusi alternatif yang sangat menarik bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu membayar tarif SLJJ dan SLI yang mahal. Bila teknologi VoIP ini dapat disosialisasikan dan didukung oleh pemerintah, bukan tidak mungkin, akan dapat meningkatkan produktivitas dan roda ekonomi di Indonesia, terutama untuk kalangan menengah ke bawah.


3. TINJAUAN HUKUM LAYANAN VoIP


Telekomunikasi termasuk cabang produksi yang penting dan strategis dalam perekonomian nasional sehingga penguasaannya dilakukan oleh negara yang dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 1996 tentang Telekomunikasi. Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan oleh pemerintah. Pasal ini memberikan wewenang yang mutlak kepada pemerintah atas nama negara untuk mengembangkan segi-segi kehidupan terkait dengan bidang telekomunikasi. Terkait dengan hukum administrasi publik, wewenang di sini merupakan suatu keharusan yang lakukan oleh pemerintah, bukan lagi merupakan hak yang dapat dilakukan ataupun tidak. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan sarana-sarana bertelekomunikasi yang efektif, efisien dan terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.


Di sisi lain, Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen memberikan kepastian hukum kepada setiap orang untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Landasan konstitutif ini merupakan modal dasar bagi pengguna layanan telekomunikasi yang di dalamnya termasuk sarana komunikasi melalui VoIP.


Penyelenggaraan Telekomunikasi menurut Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi terbagi atas 3, yaitu:

1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi

2. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan

3. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.


Dalam Undang-Undang Telekomunikasi ini, belum disinggung mengenai VoIP. Walau tidak tegas disebut dalam pasal, ketentuan mengenai VoIP dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Sebuah Peraturan Pemerintah dibentuk oleh Presiden berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Peraturan Pemerintah ini berfungsi untuk menyelenggarakan ketentuan dalam Undang-Undang, baik yang secara tegas-tegas maupun secara tidak tegas menyebutkannya. Dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan jasa telekomunikasi diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu:

1. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar

2. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi

3. Penyelenggaraan jasa multimedia

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi. Di dalam Penjelasan Pasal 14 huruf c dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi, termasuk di dalamnya antara lain: penyelenggaraan jasa Voice over Internet Protocol (VoIP), internet dan intranet, komunikasi data, konperensi video dan jasa video hiburan. Penyelenggaraan jasa multimedia dapat dilakukan secara jual kembali. Jadi, layanan VoIP digolongkan sebagai penyelenggaraan jasa multimedia. Permasalahannya, apakah layanan VoIP berbasis Phone-to-Phone masih merupakan jasa multimedia atau termasuk jasa teleponi dasar. Banyak pihak yang beranggapan bahwa ketentuan mengenai VoIP tidak jelas pengaturannya karena tidak ada disebutkan baik dalam Undang-Undang maupun dalam Peraturan Pemerintah dan bahkan Undang-Undang dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Penjelasan seringkali diperlukan dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan. Penjelasan dalam sebuah perundang-undangan merupakan suatu kesatuan penjelasan resmi dari pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut[5]. Dalam hal ini, penjelasan berfungsi untuk dapat membantu dalam mengetahui maksud dan latar belakang diadakannya suatu peraturan perundang-undangan serta untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang masih memerlukan sebuah kejelasan. Jadi, walaupun mengenai VoIP hanya dijelaskan dalam lembaran Penjelasan, tetap saja materi ini dianggap sebagai muatan dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 yang merupakan penjabaran atau untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang. Oleh sebab itu, sangatlah tidak beralasan bahwa aturan mengenai penyelenggaraan jasa VoIP belum jelas atau tidak ada dasar hukumnya.


Alasan adanya ketidakjelasan mengenai pengaturan VoIP ini seringkali dijadikan sebagai kambing hitam maupun sebagai celah untuk menyelenggarakan layanan VoIP. Salah satu perdebatan adalah mengenai apakah yang dikirim melalui Internet itu dapat disebut suara atau data. Penyelenggara VoIP bersikeras yang dikirim adalah data, bukan suara. Jadi, mereka tidak merebut lahan dari Telkom. Namun, anggapan ini juga tidak sepenuhnya benar. Dalam Penjelasan Pasal 14 huruf c Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan komunikasi data juga termasuk sebagai penyelenggaraan jasa multimedia. Jadi, tetap saja menjadi lingkup kewenangan Undang-Undang Telekomunikasi.


Untuk dapat memberikan layanan VoIP, penyelenggara jasa VoIP diwajibkan untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam bentuk kerjasama operasi, seperti yang tertuang dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000. Ini menjadi kendala bagi penyelenggara VoIP karena mau tidak mau harus bekerja sama dengan Telkom yang memiliki pasar di atas 50 %
[6]. Walaupun Undang-Undang membolehkan penyelenggara VoIP menggunakan jaringan sendiri, namun cara ini tentu menjadi tidak efisien karena harus membangun jaringan baru.


Lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jasa telekomunikasi diserahkan untuk diperinci dalam Keputusan Menteri. Sebuah Keputusan Menteri dapat berisi suatu keputusan yang mengatur (regeling) dan dapat berisi sebuah penetapan (beschikking)
[7]. Selain memiliki fungsi untuk membuat pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di bidang tugasnya, sebuah Keputusan Menteri juga dapat menyelenggarakan pengaturan yang lebih lanjut dari sebuah ketentuan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang dengan tegas-tegas disebutkan. Pasal 14 (2) Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2000 dengan tegas berbunyi bahwa ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Keputusan Menteri. Dalam hal ini, pengaturan penyelenggaraan jasa VoIP dijabarkan oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 23 tahun 2002. Di sini, pengaturan hanya mencakup jasa VoIP untuk keperluan publik. Batasan untuk keperluan publik di sini adalah sangatlah luas. Dalam Keputusan Menteri ini, yang dimaksud dengan keperluan publik adalah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Bila bukan untuk keperluan pribadi, semua penyelenggaraaan jasa VoIP harus mendapat izin Menteri. Bila siapa saja yang tidak memenuhi ketentuan ini, Undang-Undang No. 36 Tahun 1996 dalam Pasal 47 memberikan sanksi pidana paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda sampai Rp 600 juta. Jadi, dalam kasus penyelenggaraaan jasa VoIP yang tidak memiliki izin dari Menteri, secara yuridis memang dapat diancam dengan sanksi pidana ini.


4. REFORMASI REGULASI


Keengganan pemerintah untuk mempermudah pengembangan dan perluasan VoIP jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial
[8], Indonesia menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia dan prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat. Hak warga negara untuk dapat menikmati layanan telekomunikasi yang sesuai dengan kemampuan mereka dijamin oleh Undang-Undang Dasar sebagai hak yang paling mendasar. Bila hak ini tidak dapat dinikmati karena peraturan perundang-undangan di bawahnya berusaha menghambat perkembangan VoIP yang jelas-jelas lebih murah, sudah seharusnya pemerintah melakukan perbaikan-perbaikan. Selain dapat menghambat perluasan layanan VoIP, ketentuan yang mengharuskan adanya kerjasama operasi hanya akan mengakibatkan inefisiensi, baik yang merugikan negara maupun yang langsung merugikan masyarakat.


Salah satu yang menjadi alasan pembatasan layanan VoIP adalah untuk melindungi industri telekomunikasi dalam negeri. Alasan ini dapat dimengerti karena 65 % pendapatan Telkom sendiri berasal dari sambungan jarak jauh
[9]. Dengan adanya layanan VoIP, pendapatan mereka bisa menurun drastis yang juga akan menurunkan pendapatan negara. Konflik kepentingan ini harus dapat diatasi oleh pemerintah. Mempertahankan teknologi yang memberikan ongkos yang besar perlu dipertimbangkan kembali. Membatasi layanan telekomunikasi yang murah merupakan proses pembodohan kepada masyarakat. Adanya kepentingan pemerintah untuk melakukan pembinaan, pembatasan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi pada dasarnya merupakan realisasi dari kewajiban negara dalam menjamin hak bertelekomunikasi warga negara. Dilihat dari kewajiban negara menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemerintah seharusnya mendukung pengembangan jasa layanan VoIP yang nantinya dapat memeratakan hasil-hasil pembangunan dan sekaligus meningkatkan ekenomi rakyat sebagai hasil dari efisiensi. Bukan tidak mungkin, hasil dari efisiensi dalam masyarakat ini memberikan keuntungan yang lebih baik daripada harus mempertahankan kepentingan industri telekomunikasi dalam negeri. Kehendak konsititusi harus selalu diutamakan daripada pertimbangan untung-rugi.


Lalu lintas telekomunikasi memang perlu diatur dan dikendalikan oleh pemerintah agar tercipta sebuah keteraturan. Namun, bukan berarti dengan membatasi perkembangan teknologi. Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari segi yuridis, melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis
[10]. Secara sosiologis, pemerintah harus melihat efektivitas regulasi tersebut dengan melihat kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan teknologi VoIP, terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh jaringan konvensional dari Telkom. Dari sekitar 72.000 desa yang ada di Indonesia, sekitar 43.000 desa belum mendapat sambungan telepon dasar
[11]. Melihat kondisi ini, pemerintah harus bergerak cepat dan responsif dalam melakukan pemerataan pembangunan, terutama di bidang telekomunikasi. Teknologinya sudah tersedia, yang dibutuhkan hanyalah kemauan dari pemerintah untuk memberikan kemudahan-kemudahan, baik pengaturan hukum maupun pelaksanaannya.


Secara filosofis, teknologi ini lebih efisien dibandingkan dengan teknologi komunikasi konvensional melalui jaringan kabel sehingga bila dikembangkan artinya pemerintah sudah menjalankan ketentuan dari Undang-Undang itu sendiri, yaitu menyelenggarakan telekomunikasi berdasarkan asas manfaat, adil dan merata. Efisiensi ini juga dapat memicu berkembangnya kehidupan ekonomi bangsa.


Menurut Prof. Padmo Wahjojo
[12], pencabutan atau penggantian peraturan (lama) demi memperlancar pembangunan sudah sewajarnya dilakukan. Hukum mencerminkan kondisi yang berlaku di masyarakatnya. Hakikat dari hukum itu sebenarnya bukan dititikberatkan untuk membatasi hak warga negaranya, melainkan lebih terfokus untuk menjamin kebebasan hak tersebut. Memang, kebebasan hak di sini haruslah dalam kerangka atau batas-batas perundang-undangan. Namun, bukan berarti masyarakat tidak ikut ambil bagian dalam menciptakan perundang-undangan tersebut. Menurut Rousseau yang mengetengahkan Teori Kedaulatan Rakyat, Undang-Undang hanya dibuat oleh rakyatnya sendiri karena merupakan penjelmaan dari kemauan atau kehendak rakyat. Rakyat yang dimaksudkan oleh Rousseua bukanlah penjumlahan dari individu-individu dalam negara itu, melainkan kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu yang mempunyai kehendak. Artinya, bila memang tidak sejalan dengan tujuan-tujuan negara, peraturan perundang-undangan memang perlu diubah.


Selain membatasi layanan VoIP dengan mengharuskan adanya izin dari Menteri, awalnya penyelenggara jasa VoIP juga diharuskan menyertakan deposit tunai sebesar Rp. 10 Milliar sebagai jaminan kelangsungan pelayanan kepada publik, seperti yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Postel No.199/Dirjen/2001 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Internet Telepon untuk Keperluan Publik tertanggal 6 September 2001. Belakangan, Keputusan Dirjen ini ditunda berlakunya. Paling tidak, regulasi ini menggambarkan rumitnya sistem birokrasi. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk melakukan deregulasi secara komprehensif agar tidak ada lagi penafsiran-penafsiran yang berbeda di dalam masyarakat dan sekaligus mempertajam arah pembangunan di bidang telekomunikasi. Adanya kebutuhan yang besar terhadap VoIP harus dilihat sebagai sebuah urgensi untuk mengatur lahan bidang telekomunikasi ini. Regulasi yang ada saat ini tidaklah memadai untuk pengaturan sebuah jasa VoIP yang sangat berkembang cepat. Untuk masa transisi, sebaiknya pemerintah memberikan kelonggaran-kelonggaran yang dapat memudahkan pengembangan VoIP sampai ke pelosok-pelosok negeri yang sebelumnya kurang dapat menikmati layanan telekomunikasi yang masih mahal.


5. KESIMPULAN


Penyelenggaraan jasa VoIP pada dasarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, pengaturan tersebut tidaklah menjamin kebebasan warga negara dalam menggunakan haknya. Pembatasan layanan VoIP untuk keperluan publik tidak lagi sesuai dengan kondisi perkembangan teknologi, tuntutan global serta tuntutan yang muncul di masyarakat. Teknologi VoIP berperan sangat penting dalam ikut menyukseskan tujuan pembangunan yang dicita-citakan oleh konstitusi. Pemerintah perlu memberikan kemudahan-kemudahan bagi penyelenggara VoIP dengan menekankan pada aspek pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Peran serta masyarakat dalam menggalakkan program layanan VoIP kepada masyarakat harus didukung oleh pemerintah sehingga kebutuhan akan telekomunikasi yang semakin hari semakin besar dapat dipenuhi.



[4] Onno W. Purbo, "Sebuah Kajian Hukum terhadap VoIP", .

[5] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 174.

[6] Mukhlis Ifransah, "Benang Kusut Transisi Kebijakan Sektor Telekomunikasi", .

[7] Soeprapto, op. cit., hlm. 101.

[8] Soeprapto, op. cit., hlm. 128.

[10] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm. 87.

[12] Padmo Wahjono, “Indonesia ialah Negara yang berasarkan atas Hukum”, dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, ed. Hendra Nurtjohjo, hlm. 95.