Sabtu, 29 Maret 2008

Perkawinan Beda-Agama (Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia)

PERKAWINAN BEDA-AGAMA DARI ASPEK HAK ASASI MANUSIA


I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa[1]. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran[2], perkawinan sejenis[3], kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama[4].

Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan[5] yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.

Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut[6]. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri[7] sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama[8] sehingga tidak dapat diterima.

Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia[9]. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).


II. PERKAWINAN MENURUT HUKUM NASIONAL

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja[10]. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.

Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat[11], yaitu:

1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:

A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).

2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).

3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).

4. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.

B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:

1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.

2. Larangan kawin karena zinah

3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.

2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.

Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.

Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) hanya prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.

UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama[12]. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah[13].

3. Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.

Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara[14] yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.

Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama[15]. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.


III. KETERKAITAN PERKAWINAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
1. Instrumen Internasional
Sejarah perjuangan untuk mengukuhkan gagasan hak asasi manusia sudah dimulai sejak abad ke-13, yaitu sejak ditandatanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland. Memang, Magna Charta sendiri saat itu hanya sekedar jaminan perlindungan bagi kaum bangsawan dan Gereja dan belum merupakan perlindungan hak asasi manusia seperti yang didengungkan saat ini. Namun, dilihat dari segi perjuangannya, momen ini dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam sejarah hak-hak asasi manusia[16]. Perjuangan yang nyata seputar hak asasi manusia baru dimulai dengan ditandatanganinya Bill of Rights oleh Raja Wilhem III pada tahun 1689 yang dianggap sebagai kemenangan parlemen atas raja. Perkembangan selanjutnya, kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke dan Rousseau.

Dasar pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi[17] yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak kebebasan.

Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, sebuah deklarasi mengenai hak asasi manusia (HAM) disepakati di Paris pada tahun 1948, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kemudian, deklarasi ini dipertegas kembali dengan dilahirkannya International Covenant on Civil and Polticial Rights (ICCPR) yang dipengesahannya oleh Indonesia dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang pengesahannya dilakukan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini, pria dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.

Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.

DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal 10 ICESCR).

2. Instrumen Nasional
Sejak perubahan UUD 1945 (UUD 1945 Amandemen), kedudukan HAM di Indonesia menjadi sangat penting[18]. Hal ini tercermin dari meluasnya pengaturan terkait HAM dan pengelompokannya ke dalam satu bab tersendiri. Selain UUD NRI 1945, sebelumnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) telah memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap HAM di Indonesia.

Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU HAM. Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

IV. ANALISIS
Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial[19], Indonesia menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan atas HAM ini diberikan tanpa melakukan diskriminasi (Pasal 3 ayat (3)). Menurut Pasal 1 angka 3 UU HAM, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia ada dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Sebagai hak yang paling mendasar, HAM mau tidak mau harus diwujudkan secara konkrit, tidak hanya sekedar meratifikasi konvensi-konvensi HAM internasional, melainkan juga menerapkan hak-hak tersebut ke dalam hukum nasional. Sebagai instrumen internasional yang diakui Indonesia sebagai negara anggota PBB, prinsip-prinsip HAM harus digabungkan ke dalam hukum positif[20], walaupun dengan catatan bahwa harus disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Namun, menggunakan alasan demi menjaga kebudayaan bangsa untuk mengurangi makna dari HAM merupakan sebuah pengingkaran atas HAM itu sendiri. Sebagai merupakan instrumen yang bersifat universal, HAM seharusnya tidak hanya diakui keberadaannya secara mutlak,namun juga harus dijunjung tinggi. Ini menunjukkan penghormatan setinggi-tinggi terhadap nilai-nilai dalam HAM. Di sini, pemerintah berkewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM agar menjadi norma-norma yang diterima menjadi landasan bagi warga negara dalam kehidupannya. HAM harus diarahkan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat. Hak-hak asasi manusia bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam keadaan individu, melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman kesadaran, melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak asasi manusia itu sendiri[21].

Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut[22]. Pandangan ini dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk[23].

Selain itu, pengakuan atas HAM sebagai nilai yang universal dan mendasar juga memberikan konsekuensi bagi Indonesia untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan HAM ke dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai HAM itu memang menjadi prinsip dasar setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam beberapa contoh, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pembatalan Undang-Undang (UU) atau pasal yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Tindak Pidana Korupsi atau beberapa pasal dalam UU tentang pemilihan presiden yang terkait bekas anggota PKI.

Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama. Secara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan HAM di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 10 ayat (2) UU HAM secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU HAM, yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon istri. Dari sini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut UU HAM hanya dipandang dari aspek keperdataan saja. Di sini, tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan. Sementara, perkawinan yang diatur oleh UU Perkawinan yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Artinya, antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal, Pasal 3 ayat (3) UU HAM) menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini. Penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan beda-agama merupakan sebuah tindakan diskriminatif berdasarkan agama.

Di sisi lain, UU Perkawinan sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang beda-agama. Bila memang perkawinan beda-agama tidak diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam Undang-Undang. Hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional. Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang-Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.

Selain tidak adanya larangan terhadap perkawinan beda-agama, UU Perkawinan (Pasal 57) juga mengakui adanya perkawinan campuran, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing, serta perkawinan yang dilakukan di luar negeri (Pasal 56) antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing. Dalam kasus tertentu, bisa saja perkawinan campuran atau perkawinan yang dilakukan di luar negeri juga merupakan perkawinan beda-agama. Pengakuan terhadap perkawinan seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila warga negara sendiri tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan beda-agama, tentu muncul pertanyaan mengapa perkawinan campuran atau perkawinan di luar negeri diakui oleh negara.

Sayangnya, UU HAM sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan, yaitu sah dari aspek agama dan sah dari aspek administrasi.

Sebagai sebuah ikatan bathin yang suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama. Bila tidak, negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah-masalah pribadi seseorang. Saat ini, telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara tidak lagi mengintervensi kehidupan beragama di Indonesia[24]. Dalam hal ini, negara hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, terlihat ada perbedaan antara konsepsi mengenai perkawinan berdasarkan UU HAM dan pengaturan mengenai perkawinan berdasarkan UU Perkawinan. Di satu sisi, UU HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas calon suami/istri, sementara di sisi lain, UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak bebas calon suami/istri.

Perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui oleh negara sebagai salah satu hak dari setiap warga negara. UU Perkawinan sendiri sudah menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan bathin. Oleh sebab itu, negera tidak boleh ikut campur dalam hal bathin warga negaranya karena merupakan lingkup hak asasi warga negaranya.

Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari segi yuridis, melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis[25]. Secara sosiologis, tidak adanya pengakuan negara atas perkawinan antar-agama menyebabkan banyak warga negara yang melakukan perkawinan di negara-negara yang melegalkan perkawinan seperti itu. Cara ini dapat dilegalkan dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 56 UU Perkawinan. Sebagai syaratnya, perkawinan tersebut harus dicatatkan dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke wilayah Indonesia dengan membawa surat bukti perkawinan untuk didaftarkan di Kantor Pencatatan setempat. Walaupun demikian, dalam prakteknya tetap saja muncul hambatan dalam melakukan pendaftaran perkawinan beda-agama[26]. Hal ini disebabkan adanya penafsiran bahwa UU Perkawinan melarang terjadinya perkawinan beda-agama. Penafsiran ini pada prinsipnya kurang tepat karena banyak perkawinan beda-agama yang diterima dalam masyarakat, dalam kasus ini, terutama untuk pasangan yang terdiri atas calon suami yang beragama Islam dan calon istri yang beragama Kristen[27]. Dari sudut pandang HAM, penerimaan perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar asas-asas HAM. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan dampak sosial baru.

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita-cita dari sebuah negara hukum. Salah satu yang menjadi tujuan fundamental dari pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum[28]. Di sini, negara harus benar-benar secara serius menjamin hak-hak dasar warga negara. Demikian juga dengan hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun kedua mempelai merupakan pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakui perkawinan ini, antara lain sebagai bentuk harmonisasi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU HAM terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.

Secara yuridis, UU Perkawinan tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda-agama. Bahkan, UU Perkawinan memberikan secara tidak langsung memberikan ruang bagi terjadinya perkawinan beda-agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 UU Perkawinan. Secara sosiologis, perkawinan beda-agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda-agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar dari hak asasi manusia itu sendiri.

V. KESIMPULAN
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.

Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.


[1] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 3.

[2] Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

[3] Sebagai contoh, lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender.

[10] Soimin, loc. cit.

[11] Ibid., hlm. 63.

[12] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 61.

[13] Wahono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003), hlm. 102.

[15] Darmabrata, op. cit., hlm. 104.

[16] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 307.

[17] Ibid., hlm. 309.

[19] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 128.

[20] Slamet Marta Wardaya, “Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat,” Hak Asasi Manusia. Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, ed. H. Muladi (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2005), hlm. 6.

[21] Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia. Suatu Pemahaman Kritis (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 75.

[22] OK. Chairuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 97.

[23] Ibid., hlm. 143.

[25] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm. 87.

[27] Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989), hlm. 166.

[28] T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1987), hlm. 36.


2007@bh4kt1

Tidak ada komentar: