Rabu, 30 April 2008

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 73 Tahun 1992 ttg Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa peraturan pelaksanaan di bidang usaha perasuransian perlu disesuaikan dengan perkembangan kegiatan industri asuransi pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya;

  2. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

  2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);

  3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN.

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 6

  1. Persyaratan modal disetor bagi pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya sebagai berikut :
  1. Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;
  2. Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi.

(2) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh per seratus).

(3) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian harus dilaporkan kepada Menteri."

  1. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 9

(1) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

  1. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

  2. Susunan Organisasi dan Kepengurusan perusahaan yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian tugas;

  3. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;

  4. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing;

  5. Spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan beserta program reasuransinya, bagi Perusahaan Asuransi; dan

  6. Program retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.

(2) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

  1. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

  2. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;
  3. Polis Asuransi Indemnitas Profesi; dan
  4. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing.

(3) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Penilai Kerugian, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

  1. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

  2. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;

  3. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; dan
  4. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.

(4) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi perorangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  1. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; dan

  2. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Keputusan Menteri."

  1. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 9A

(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan Perasuransian diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

(2) Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya."

  1. Menambah satu BAB dan pasal baru diantara Pasal 10 dan Pasal 11 yaitu BAB IIIA Pasal 10A, yang berbunyi sebagai berikut:

"BAB IIIA
KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Pasal 10A

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan."

  1. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta menambah ayat baru yaitu ayat (4), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 11

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas.
  2. Tingkat solvabilitas merupakan selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban.
  3. Selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya harus sebesar dana yang cukup untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kekayaan yang diperkenan-kan, kewajiban, dan risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."
  1. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 15

(1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menetapkan batas retensi sendiri sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri."

  1. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yaitu Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 15A

(1) Setiap Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi otomatis.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

  1. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 16

(1) Dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi luar negeri, maka perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi luar negeri tersebut harus memiliki peringkat yang baik dari lembaga pemeringkat independen yang diakui secara internasional.

(2) Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya.

(3) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat sampai dengan saat salah satu atau kedua perusahaan tersebut dilikuidasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

  1. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 16 dan Pasal 17 yaitu Pasal 16A, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 16A

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko khusus."

  1. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Perusahaan Asuransi yang akan memasarkan program asuransi baru harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut kepada Menteri.

(2) Pemberitahuan mengenai rencana memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilengkapi dengan spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan berikut program reasuransinya serta bukti-bukti pendukungnya.

(3) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan diterima secara lengkap Menteri tidak memberikan tanggapan, Perusahaan Asuransi dapat memasarkan program asuransi dimaksud.

(4) Program asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri."

  1. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 38 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 38

    1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan dan atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan."
  1. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 41

  1. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
  2. Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk setiap jenis pelanggaran dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan.
  3. Dalam hal Menteri menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat menetapkan berlakunya jangka waktu yang lebih lama dari 1 (satu) bulan dengan ketentuan jangka waktu dimaksud paling lama 6 (enam) bulan.
  4. Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) setelah peringatan diberikan, perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha."
  1. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 42 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 42

(1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan."

Pasal II

Bagi permohonan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah diajukan dan yang telah memperoleh izin prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, persyaratan permodalan tetap diberlakukan berdasarkan persyaratan yang berlaku pada saat izin prinsip ditetapkan.

Pasal III

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

M U L A D I

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 118


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

UMUM

Dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat dan dalam menghadapi era globalisasi, perlu ditingkatkan peran industri asuransi yang semakin kompetitif dengan cara mewujudkan terciptanya industri asuransi yang kuat baik dari segi permodalan maupun kondisi kesehatan keuangannya.

Dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan agar pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mewujudkan industri asuransi yang memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat sehingga mampu melakukan usaha yang kompetitif.

Dalam Peraturan Pemerintah ini, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini tidak diwajibkan menyesuaikan jumlah modal setor, akan tetapi didorong untuk memperkuat permodalannya melalui ketentuan kesehatan keuangan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama.

Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi, karena dalam kegiatan usaha perusahaan tersebut lebih dituntut unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 2

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Polis Asuransi Indemnitas Profesi yang dimaksudkan dalam ayat (2) huruf c adalah polis asuransi tanggungjawab hukum yang lazim disebut dengan polis Professional Indemnity.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Ketentuan yang diatur dengan Keputusan Menteri meliputi antara lain alamat perusahaan, NPWP, riwayat hidup pengurus dan atau direksi, dan besarnya uang pertanggungan untuk polis asuransi indemnitas profesi.

Angka 3

Pasal 9A

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Angka 4

Pasal 10A

Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian prosentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal, namun penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan prosentase kepemilikannya.

Ketentuan yang memungkinkan prosentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80% ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang prosentase kepemilikan pihak asing sudah mencapai 80%.

Angka 5

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Dalam Keputusan Menteri diatur antara lain meliputi batas tingkat solvabilitas, jenis dan penilaian serta pembatasan kekayaan yang diperkenankan, dan perhitungan kewajiban yang meliputi kewajiban kepada tertanggung dan kewajiban kepada pihak lain.

Angka 6

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam Keputusan Menteri diatur batas minimum dan batas maksimum retensi sendiri.

Angka 7

Pasal 15A

Ayat (1)

Perjanjian reasuransi otomatis (treaty reinsurance) merupakan salah satu bentuk perjanjian reasuransi yang lazim dilakukan dalam usaha asuransi. Dalam perjanjian tersebut perusahaan asuransi wajib mereasuransikan setiap penutupan yang nilai dan lingkup penutupannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan kepada penanggung ulang (Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi) dan penanggung ulang dimaksud wajib menerima penempatan reasuransi tersebut.

Dukungan reasuransi otomatis tersebut sedapat mungkin diperoleh dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas

Angka 8

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria penanggung ulang luar negeri yang baik.

Angka 9

Pasal 16A

Salah satu prinsip usaha asuransi adalah adanya kerjasama dalam penyebaran risiko yang dapat dilakukan melalui mekanisme reasuransi dan koasuransi. Disamping kedua mekanisme tersebut, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap suatu risiko khusus yang apabila penutupannya dilakukan oleh perusahaan asuransi secara sendiri-sendiri tidak layak usaha (feasible) namun penutupan atas risiko tersebut menjadi layak usaha jika dilakukan secara bersama, maka atas kesepakatan sebagian besar Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi penutupan risiko khusus tersebut dilakukan oleh satu perusahaan asuransi.

Angka 10

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria program asuransi baru serta tata cara pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru.

Angka 11

Pasal 38

Ayat (1)

Pengenaan denda untuk setiap hari keterlambatan dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan hari kerja pada kantor pusat Departemen Keuangan.

Dalam hal tanggal batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur, maka batas waktu yang berlaku adalah hari kerja pertama setelah libur dimaksud.

Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dikenakan terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan dan atau laporan operasional.

Contoh :

    1. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan operasional tetapi telah menyampaikan laporan keuangan, atau sebaliknya, dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari.
    2. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan keuangan dan laporan operasional dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari.

Angka 12

Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Angka 13

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas

Pasal II

Cukup jelas

Pasal III

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3861

Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian

UU 9/1992, KEIMIGRASIAN

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:9 TAHUN 1992 (9/1992)

Tanggal:31 MARET 1992 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:KEIMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a.bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk
atau ke luar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara
Republik Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari
kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b.bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berwawasan
Nusantara dan dengan semakin meningkatnya lalu lintas orang serta
hubungan antar bangsa dan negara diperlukan penyempurnaan pengaturan
keimigrasian yang dewasa ini diatur dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan
dan kebutuhan,
c.bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengatur ketentuan tentang keimigrasian dalam suatu Undang undang;

Mengingat:

1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (Lembaran Negara-Tahun 1958 Nomor 113, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun
1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3077);

3.Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3209);

Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEIMIGRASIAN.

BAB I *6432 KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke
luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di
wilayah Negara Republik Indonesia.

2.Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat wilayah
Indonesia adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia yang
meliputi darat, laut, dan udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,

3.Surat Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan
berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara.

4.Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah pelabuhan, bandar udara, atau
tempat-tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri sebagai tempat masuk
atau ke luar wilayah Indonesia.

5.Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi bidang keimigrasian.

6.Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Republik Indonesia.

7.Visa untuk Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah
izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada
Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lainnya yang ditetapkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang
asing untuk masuk dan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia.

8.Izin Masuk adalah izin yang diterakan pada Visa atau Surat
Perjalanan orang asing untuk memasuki wilayah Indonesia yang diberikan
oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.

9.Izin Masuk Kembali adalah izin yang diterakan pada Surat Perjalanan
orang asing yang mempunyai izin tinggal di Indonesia untuk masuk
kembali ke wilayah Indonesia. 10.Tanda Bertolak adalah tanda tertentu
yang diterakan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
dalam Surat Perjalanan setiap orang yang akan meninggalkan wilayah
Indonesia. 11.Alat Angkut adalah kapal laut, pesawat udara, atau
sarana transportasi lainnya yang lazim dipergunakan untuk mengangkut
orang. 12.Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
orang orang tertentu untuk ke luar dari wilayah Indonesia berdasarkan
alasan tertentu. 13.Penangkalan adalah larangan yang bersifat
sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke wilayah
Indonesia berdasarkan alasan tertentu. 14.Tindakan Keimigrasian adalah
tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses
peradilan. 15.Karantina Imigrasi adalah tempat penampungan sementara
bagi orang asing yang dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau
tindakan keimigrasian lainnya. 16.Pengusiran atau deportasi adalah
tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia karena
keberadaannya tidak dikehendaki.

Pasal 2

*6433 Setiap Warga Negara Indonesia berhak melakukan perjalanan ke
luar atau masuk wilayah Indonesia.

BAB II MASUK DAN KE LUAR WILAYAH INDONESIA

Pasal 3

Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia wajib memiliki
Surat Perjalanan.

Pasal 4

(1)Setiap orang dapat ke luar wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda
Bertolak. (2)Setiap orang asing dapat masuk ke wilayah Indonesia
setelah mendapat Izin Masuk.

Pasal 5

(1)Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia wajib
melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi. (2)Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

(1)Setiap orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki
Visa. (2)Visa diberikan kepada orang asing yang maksud dan tujuan
kedatangannya di Indonesia bermanfaat serta. tidak akan menimbulkan
gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional.

Pasal 7

(1)Dikecualikan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) adalah: a.orang asing warga negara dari negara
yang berdasarkan Keputusan Presiden tidak diwajibkan memiliki Visa;
b.orang asing yang memiliki Izin Masuk Kembali; c.kapten atau nakhoda
dan, awak yang bertugas pada alat angkut yang berlabuh di pelabuhan
atau mendarat di bandar udara di wilayah Indonesia; d.penumpang
transit di pelabuhan atau bandar udara di wilayah Indonesia sepanjang
tidak ke luar dari tempat transit yang berada di daerah Tempat
Pemeriksaan Imigrasi. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis,
persyaratan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Visa diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 8

Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dapat menolak atau
tidak memberi izin kepada orang asing untuk masuk ke wilayah Indonesia
apabila orang asing tersebut: a.tidak memiliki Surat Perjalanan yang
sah; b.tidak memiliki Visa kecuali yang tidak diwajibkan *6434
memiliki Visa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a;
c.menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan
kesehatan umum; d.tidak memiliki Izin Masuk Kembali atau tidak
mempunyai izin untuk masuk ke negara lain; e.ternyata telah memberi
keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Surat Perjalanan dan/atau
Visa.

Pasal 9

Penanggung jawab alat angkut yang datang atau akan berangkat ke luar
wilayah Indonesia diwajibkan untuk: a.memberitahukan kedatangan atau,
rencana keberangkatan; b.menyampaikan daftar penumpang dan daftar awak
alat angkut yang ditandatangani kepada Pejabat Imigrasi; c.mengibarkan
bendera isyarat bagi kapal laut yang datang dari luar. wilayah
Indonesia dengan membawa penumpang; d.melarang setiap orang naik atau
turun dari alat angkut tanpa izin Pejabat Imigrasi selama dilakukan
pemeriksaan keimigrasian; e.membawa kembali ke luar wilayah Indonesia
setiap orang asing yang datang dengan alat angkutnya yang tidak
mendapat Izin Masuk dari Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi.

Pasal 10

Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi,
berwenang naik ke alat angkut yang berlabuh di pelabuhan atau mendarat
di bandar udara untuk kepentingan pemeriksaan keimigrasian.

BAB III PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN

Bagian Pertama Pencegahan

Pasal 11

(1)Wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh: a.Menteri,
sepanjang menyangkut urusan yang bersifat keimigrasian; b.Menteri
Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara; c.Jaksa Agung,
sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 huruf g
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
d.Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sepanjang
menyangkut pemeliharaan dan penegakan keamanan dan pertahanan negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1988. (2)Pelaksanaan atas keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang
ditunjuk olehnya.

*6435 Pasal 12

(1)Pencegahan ditetapkan dengan keputusan tertulis. (2)Keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang kurangnya:
a.identitas orang yang terkena pencegahan; b.alasan pencegahan; dan
c.jangka waktu pencegahan. (3)Keputusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) disampaikan dengan surat tercatat kepada orang atau
orang-orang yang terkena pencegahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal penetapan.

Pasal 13

(1)Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a dan b berlaku untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan,
dan dapat diperpanjang untuk paling banyak 2 (dua) kali masing-masing
tidak lebih dari 6 (enam) bulan. (2)Keputusan pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berlaku untuk jangka waktu
sesuai dengan keputusan Jaksa Agung. (3)Keputusan pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d berlaku untuk
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, dan setiap kali dapat
diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan dengan ketentuan seluruh
masa perpanjangan pencegahan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
(4)Apabila tidak ada keputusan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (3) pencegahan tersebut berakhir demi hukum.

Pasal 14

Berdasarkan keputusan pencegahan dari pejabat-pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi wajib menolak orang-orang tertentu ke luar
wilayah Indonesia.

Bagian Kedua Penangkalan

Pasal 15

(1)Wewenang dan tanggung jawab penangkalan terhadap orang asing
dilakukan oleh: a.Menteri, sepanjang menyangkut urusan yang bersifat
keimigrasian; b.Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan
ketentuan Pasal 32 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia; c.Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakan keamanan
dan pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
20 Tahun 1982 tenlang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988. (2)Pelaksanaan atas keputusan
penangkalan sebagaimana dimaksud *6436 dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk olehnya.

Pasal 16

(1)Wewenang dan tanggung jawab penangkalan terhadap Warga Negara
Indonesia dilakukan oleh sebuah Tim yang dipimpin oleh Menteri dan
anggotanya terdiri dari unsur-unsur: a.Markas Besar Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia; b.Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
c.Departemen Luar Negeri; d.Departemen Dalam Negeri; e.Badan
Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional; dan f.Badan
Koordinasi Intelijen Negara. (2)Pelaksanaan atas keputusan penangkalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk olehnya.

Pasal 17

Penangkalan terhadap orang asing dilakukan karena :

a.diketahui atau diduga terlibat dengan kegiatan sindikat kejahatan
internasional;
b.pada saat berada di negaranya sendiri atau di negara lain bersikap
bermusuhan terhadap Pemerintah Indonesia atau melakukan perbuatan yang
mencemarkan nama baik bangsa dan Negara Indonesia;
c.diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keamanan dan
ketertiban umum, kesusilaan, agama dan adat kebiasaan masyarakat
Indonesia;
d.atas permintaan suatu negara, orang asing yang berusaha
menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara
tersebut karena melakukan kejahatan yang juga diancam pidana menurut
hukum yang berlaku di Indonesia;
e.pernah diusir atau dideportasi dari wilayah Indonesia ; dan
f.alasan-alasan lain yang berkaitan dengan keimigrasian yang diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Warga Negara Indonesia hanya dapat dikenakan penangkalan dalam hal:
a.telah lama meninggalkan Indonesia atau tinggal menetap atau telah
menjadi penduduk suatu negara lain dan melakukan tindakan atau
bersikap bermusuhan terhadap Negara atau Pemerintah Republik
Indonesia; b.apabila masuk wilayah Indonesia dapat mengganggu jalannya
pembangunan, menimbulkan perpecahan bangsa, atau dapat mengganggu
stabilitas nasional; atau c.apabila masuk wilayah Indonesia dapat
mengancam keselamatan diri atau keluarganya.

Pasal 19

(1)Penangkalan ditetapkan dengan keputusan tertulis. (2)Keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang kurangnya:
a.identitas orang yang terkena penangkalan; b.alasan penangkalan; dan
*6437 c.jangka waktu penangkalan. (3)Keputusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikirimkan kepada perwakilan-perwakilan Republik
Indonesia.

Pasal 20

(1)Keputusan penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
huruf a dan c, berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
dan setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu, yang sama atau
kurang dari waktu tersebut. (2)Keputusan penangkalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b, berlaku untuk jangka waktu
sesuai dengan keputusan Jaksa Agung. (3)Apabila tidak ada keputusan
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penangkalan tersebut
berakhir demi hukum.

Pasal 21

(1)Keputusan penangkalan terhadap Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 berlaku untuk jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang untuk paling lama 6
(enam) bulan dengan ketentuan seluruh masa perpanjangan penangkalan
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. (2)Apabila tidak ada
keputusan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penangkalan tersebut berakhir demi hukum.

Pasal 22

Berdasarkan keputusan penangkalan dari pejabat-pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)Pejabat Imigrasi
di Tempat Pemeriksaan Imigrasi wajib menolak orang-orang tertentu
masuk wilayah Indonesia.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penangkalan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV KEBERADAAN ORANG ASING DI WILAYAH INDONESIA

Pasal 24

(1)Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia wajib memiliki
izin keimigrasian. (2)izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terdiri atas: a.Izin Singgah; b.Izin Kunjungan; c.Izin Tinggal
Terbatas; d.Izin Tinggal Tetap.

Pasal 25

(1)Izin Singgah diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah
di wilayah Indonesia untuk meneruskan perjalanan ke negara lain. *6438
(2)Izin Kunjungan diberikan kepada orang asing berkunjung ke wilayah
Indonesia untuk waktu yang singkat dalam rangka tugas pemerintahan,
pariwisata, kegiatan sosial budaya atau usaha. (3)Izin Tinggal
Terbatas diberikan kepada orang asing untuk tinggal di wilayah
Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas. (4)Izin Tinggal Tetap
diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah
Indonesia.

Pasal 26

(1)Ketentuan Pasal 8 berlaku pula terhadap permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25. (2)Izin Tinggal Tetap tidak diberikan kepada
orang asing yang memperoleh izin untuk masuk ke wilayah Indonesia yang
tidak memiliki paspor kebangsaan negara tertentu.

Pasal 27

Pemegang Izin Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Tetap yang akan
melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dan bermaksud untuk
kembali, dapat diberikan Izin Masuk Kembali.

Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara permohonan,
pemberian atau penolakan izin keimigrasian serta hal-hal lain yang
berkenaan dengan keberadaan orang asing di wilayah Indonesia diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 29

(1)Surat Perjalanan Republik Indonesia terdiri atas: a.Paspor Biasa;
b.Paspor Diplomatik; c.Paspor Dinas; d.Paspor Haji; e.Paspor untuk
Orang Asing; f.Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Warga Negara
Indonesia; g.Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing;
h.Surat Perjalanan Laksana Paspor Dinas. (2)Surat Perjalanan Republik
Indonesia adalah dokumen negara.

Pasal 30

(1)Paspor Biasa diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia. (2)Paspor biasa
diberikan juga kepada Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di
luar negeri. (3)Dalam keadaan khusus apabila Paspor Biasa tidak dapat
diberikan, sebagai penggantinya dikeluarkan Surat Perjalanan Laksana
Paspor untuk Warga Negara Indonesia.

Pasal 31

*6439 Paspor Diplomatik diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang
akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dalam rangka
penempatan atau perjalanan untuk tugas yang bersifat diplomatik.

Pasal 32

(1)Paspor Dinas diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dalam rangka penempatan
atau perjalanan dinas yang bukan bersifat diplomatik. (2)Dalam keadaan
khusus apabila Paspor Dinas tidak dapat diberikan, sebagai
penggantinya dikeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor Dinas.

Pasal 33

Paspor Haji diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dalam rangka menunaikan
ibadah haji.

Pasal 34

(1)Paspor untuk Orang Asing dapat diberikan kepada orang asing, yang
pada saat berlakunya Undang-undang ini telah memiliki Izin Tinggal
Tetap, akan melakukan perjalanan ke luar.wilayah Indonesia dan tidak
mempunyai Surat Perjalanan serta dalam waktu yang dianggap layak tidak
dapat memperoleh dari negaranya atau negara lain. (2)Paspor untuk
Orang Asing tidak berlaku lagi pada saat pemegangnya memperoleh Surat
Perjalanan dari negara lain.

Pasal 35

(1)Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing dapat diberikan
kepada orang asing yang tidak mempunyai Surat Perjalanan yang sah dan:
a.atas kehendak sendiri ke luar dari wilayah Indonesia, sepanjang
orang asing yang bersangkutan tidak terkena pencegahan; b.dikenakan
tindakan pengusiran atau deportasi; atau c.dalam keadaan tertentu yang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, diberi izin untuk
masuk ke wilayah Indonesia. (2)Surat Perjalanan Laksana Paspor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk satu kali
perjalanan.

Pasal 36

Anak-anak yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun dapat
diikutsertakan dalam Surat Perjalanan orang tuanya.

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara permohonan,
pemberian atau pencabutan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan
Surat Perjalanan Republik Indonesia diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VI PENGAWASAN ORANG ASING *6440 DAN TINDAKAN KEIMIGRASIAN

Pasal 38

(1)Pengawasan terhadap orang asing di Indonesia meliputi: a.masuk dan
keluarnya orang asing ke dan dari wilayah Indonesia; b.keberadaan
serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. (2)untuk kelancaran
dan ketertiban pengawasan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran
orang asing yang berada di wilayah Indonesia.

Pasal 39

Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia wajib:
a.memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri
dan atau keluarganya, perubahan status sipil dan kewarganegaraannya
serta perubahan alamatnya; b.memperlihatkan Surat Perjalanan atau
dokumen keimigrasian yang dimilikinya pada waktu diperlukan dalam
rangka pengawasan; c.mendaftarkan diri jika berada di Indonesia lebih
dari 90 (sembilan puluh) hari.

Pasal 40

Pengawasan orang asing dilaksanakan dalam bentuk dan cara:
a.pengumpulan dan pengolahan data orang asing yang masuk atau ke luar
wilayah Indonesia; b.pendaftaran orang asing yang berada di wilayah
Indonesia; c.pemantauan, pengumpulan, dan pengolahan bahan keterangan
dan informasi mengenai kegiatan orang asing; d.penyusunan daftar
nama-nama orang asing yang tidak dikehendaki masuk atau ke luar
wilayah Indonesia; dan e.kegiatan lainnya.

Pasal 41

Pelaksanaan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah
Indonesia dilakukan Menteri dengan koordinasi bersama Badan atau
Instansi Pemerintah yang terkait.

Pasal 42

(1)Tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut
diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, atau tidak
menghormati atau menaati peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2)Tindakan keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berupa: a.pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keberadaan;
b.larangan untuk berada di suatu atau, beberapa tempat tertentu di
wilayah Indonesia; c.keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat
tertentu di wilayah Indonesia; d.pengusiran atau deportasi dari
wilayah Indonesia atau *6441 penolakan masuk ke wilayah Indonesia.

Pasal 43

(1)Keputusan mengenai tindakan keimigrasian harus disertai dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). (2)Setiap orang
asing yang dikenakan tindakan keimigrasian dapat mengajukan keberatan
kepada Menteri.

Pasal 44

(1)Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dapat
ditempatkan di Karantina Imigrasi: a.apabila berada di wilayah
Indonesia tanpa memiliki izin keimigrasian yang sah; atau b.dalam
rangka menunggu proses pengusiran atau deportasi ke luar wilayah
Indonesia. (2)Karena alasan tertentu orang asing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat ditempatkan di tempat lain.

Pasal 45

(1)Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia melampaui waktu
tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari dari izin keimigrasian yang
diberikan, dikenakan biaya beban. (2)Penanggung jawab alat angkut yang
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dikenakan biaya beban. (3)Penetapan biaya beban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) diatur oleh Menteri dengan persetujuan Menteri
Keuangan.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan orang asing dan tindakan
keimigrasian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII PENYIDIKAN

Pasal 47

(1)Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk
melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. (2)Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a.menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian;
b.memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang yang
disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; c.memeriksa dan/atau
menyita surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau
benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
d.memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai *6442 saksi;
e.melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat
surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau benda-benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; f.mengambil
sidik jari dan memotret tersangka. (3)Kewenangan Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB VIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 48

Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia tanpa melalui
pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah): a.orang asing
yang dengan sengaja membuat palsu atau memalsukan Visa atau izin
keimigrasian; atau b.orang asing yang dengan sengaja menggunakan Visa
atau izin keimigrasian palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau
berada di wilayah Indonesia.

Pasal 50

Orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud pemberian izin keimigrasian
yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima
juta rupiah).

Pasal 51

Orang asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 atau tidak membayar biaya beban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Pasal 52

Orang asing yang izin keimigrasiannya habis berlaku dan masih berada
dalam wilayah Indonesia melampaui 60 (enam puluh) hari dari batas
waktu izin yang diberikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah).

Pasal 53

Orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau
yang pernah diusir atau dideportasi dan berada kembali di wilayah
Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan pidana *6443 penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

Pasal 54

Setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi
pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang
diketahui atau patut diduga: a.pernah diusir atau dideportasi dan
berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah); b.berada di wilayah
Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25.,000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah); c.izin keimigrasiannya habis berlaku,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Pasal 55

Setiap orang yang dengan sengaja: a.menggunakan Surat Perjalanan
Republik Indonesia sedangkan ia mengetahui atau sepatutnya menduga
bahwa Surat Perjalanan itu palsu atau dipalsukan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah); b.menggunakan Surat
Perjalanan orang lain atau Surat Perjalanan Republik Indonesia yang
sudah dicabut atau dinyatakan batal, atau menyerahkan kepada orang
lain Surat Perjalanan Republik Indonesia yang diberikan kepadanya,
dengan maksud digunakan secara tidak berhak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah); c.memberikan data yang
tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Surat
Perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah); atau d.memiliki
atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) atau lebih Surat
Perjalanan Republik Indonesia yang semuanya berlaku, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 56

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah): a.setiap
orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mencetak, mempunyai,
menyimpan blanko Surat Perjalanan Republik Indonesia atau blanko
dokumen keimigrasian; atau b.setiap orang yang dengan sengaja dan
melawan hukum *6444 membuat, mempunyai atau menyimpan cap yang
dipergunakan untuk mensahkan Surat Perjalanan Republik Indonesia atau
dokumen keimigrasian,

Pasal 57

Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum untuk kepentingan
diri sendiri atau orang lain merusak, menghilangkan atau mengubah baik
sebagian maupun seluruhnya keterangan atau cap yang terdapat dalam
Surat Perjalanan Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 58

Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum untuk kepentingan
diri sendiri atau orang lain mempunyai, menyimpan, mengubah atau
menggunakan data keimigrasian baik secara manual maupun elektronik,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 59

Pejabat yang dengan sengaja dan melawan hukum memberikan atau
memperpanjang berlakunya Surat Perjalanan Republik Indonesia atau
dokumen keimigrasian kepada seseorang yang diketahuinya tidak berhak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 60

Setiap orang yang memberi kesempatan menginap kepada orang asing dan
tidak melaporkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
atau Pejabat Pemerintah Daerah setempat yang berwenang dalam waktu 24
(dua puluh empat) jam sejak kedatangan orang asing tersebut, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Pasal 61

Orang asing yang sudah mempunyai izin tinggal yang tidak melapor
kepada kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat tinggal
atau tempat kediamannya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak diperolehnya izin tinggal, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-
(lima juta rupiah).

Pasal 62

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 48, 49, 50, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, dan Pasal 59 Undang-undang ini adalah kejahatan.
Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 51, 60, dan Pasal 61
Undang-undang ini adalah pelanggaran.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 63

*6445 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini: a.Izin menetap
yang telah diberikan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Drt. Tahun 1955
tentang Kependudukan Orang Asing (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 463); dinyatakan tetap berlaku untuk
paling lama 3 (tiga) tahun. b.Perizinan keimigrasian lainnya yang
telah diberikan dan masih berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktunya habis. c.Surat Perjalanan Republik Indonesia yang
telah dikeluarkan, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya
habis.

Pasal 64

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Peraturan Pemerintah dan
peraturan pelaksanaan lainnya di bidang keimigrasian dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan yang
baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB X

KETENTUAN LAIN

Pasal 65

Ketentuan keimigrasian bagi lalu lintas orang di daerah perbatasan
dapat diatur tersendiri dengan perjanjian Lintas Batas antara
Pemerintah Negara Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga
yang memiliki perbatasan yang sama, dengan memperhatikan ketentuan
Undang-undang ini.

Pasal 66

Ketentuan yang berlaku bagi orang asing yang datang dan berada di
wilayah Indonesia dalam rangka tugas diplomatik dan dinas diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 67

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini: a.Toelatingstesluit
(Staatsblad 1916 Nomor 47) sebagaimana telah diubah dan ditambah
terakhir dengan Staatsblad 1949 Nomor 330 serta Toelatingsordonnantie
(Staatsblad 1949 Nomor 331); b.Undang-undang Nomor 42 Drt. Tahun 1950
tentang Bea Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 77); c.Undang-undang Nomor 9 Drt. Tahun 1953
tentang Pengawasan Orang Asing (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 463); d.Undang-undang Nomor 8 Drt.
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1955
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 807); e.Undang-undang Nomor 9
Drt. Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing (Lembaran Negara
Tahun 1955 *6446 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 812); dan
f.Undang-undang Nomor 14 Drt. Tahun 1959 tentang Surat Perjalanan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1799); dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 68

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan Penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 1992 PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 1992 MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992
TENTANG KEIMIGRASIAN

UMUM Peraturan perundang-undangan keimigrasian yang sekarang berlaku
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sebagian masih
merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah
Hindia Belanda, dan sebagian dibentuk sesudah Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945. Peraturan perundang-undangan yang berasal dari masa
Hindia Belanda-Toelatingsbesluit 1916 (Staatsblad 1916 Nomor 47),
Toelatingsbesluit 1949 (Staatsblad 1949 Nomor 330), dan
Toelatingsordonnantie 1949 (Staatsblad 1949 Nomor 331) - begitu pula
peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah Indonesia merdeka,
seperti Undang-undang Nomor 42 Drt. Tahun 1950 tentang Bea Imigrasi,
Undang-undang Nomor 9 Drt. Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing,
Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi
dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, dipandang tidak
sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan serta kebutuhan hukum
masyarakat dewasa ini. Baik karena perkembangan nasional maupun
internasional telah berkembang hukum-hukum baru yang mengatur mengenai
wilayah negara dan berbagai hak-hak berdaulat yang diakui oleh hukum
dan pergaulan internasional yang mempengaruhi ruang lingkup
tugas-tugas dan wewenang keimigrasian. Dalam upaya mewujudkan Wawasan
Nusantara, pada tahun 1960 *6447 ditetapkan Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang menyebabkan tugas dan
wewenang keimigrasian secara teritorial menjadi lebih luas.
Selanjutnya jangkauan teritorial ini makin luas setelah dikeluarkannya
Undang-undang Nomor I Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor
Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan
Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur, Undang-undang Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, serta Undang-undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut. Selain kehadiran berbagai peraturan
perundang-undangan baru tersebut di atas, terdapat pula berbagai
faktor lain yang mempengaruhi perkembangan tugas dan wewenang
keimigrasian seperti pembangunan nasional, kemajuan ilmu dan teknologi
serta berkembangnya kerjasama regional maupun internasional yang
mendorong meningkatnya arus orang untuk masuk dan ke luar wilayah
Indonesia. Untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai
kepentingan nasional maka perlu ditetapkan prinsip, tata pengawasan,
tata pelayanan atas masuk dan ke luar orang ke dan dari wilayah
Indonesia sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap orang asing, pelayanan dan
pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip
yang bersifat selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini,
hanya orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia serta tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan baik
terhadap rakyat, maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang diizinkan
masuk atau ke luar wilayah Indonesia. Orang asing karena alasan-alasan
tertentu seperti sikap permusuhan terhadap rakyat dan negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 -
untuk sementara waktu dapat ditangkal masuk ke wilayah Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan "selective policy", akan diatur secara
selektif izin tinggal bagi orang asing sesuai dengan maksud dan
tujuannya berada di Indonesia. Terhadap Warga Negara Indonesia berlaku
prinsip bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak ke luar atau masuk
ke wilayah Indonesia. Namun demikian hak-hak ini bukan sesuatu yang
tidak dapat dibatasi. Karena alasan-alasan tertentu dan untuk jangka
waktu tertentu Warga Negara Indonesia dapat dicegah ke luar dari
wilayah Indonesia dan dapat ditangkal masuk ke wilayah Indonesia.
Tetapi karena penangkalan pada dasarnya ditujukan pada orang asing,
maka penangkalan terhadap Warga Negara Indonesia hanya dikenakan dalam
keadaan yang sangat khusus. Penangkalan terhadap Warga Negara
Indonesia hanya dikenakan terhadap mereka yang telah lama meninggalkan
Indonesia, atau tinggal menetap atau telah menjadi penduduk negara
lain dan melakukan tindakan atau sikap permusuhan terhadap Negara atau
Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut, penangkalan terhadap Warga
Negara Indonesia dapat pula dikenakan berdasarkan pertimbangan bahwa
dengan masuknya mereka ke wilayah Indonesia diperkirakan akan
mengganggu jalannya pembangunan nasional, menimbulkan perpecahan
bangsa, mengganggu stabilitas nasional, dan dapat pula menimbulkan
ancaman terhadap diri atau keluarganya. Mengingat pencegahan dan
penangkalan *6448 bersangkut paut dengan hak seseorang untuk
berpergian, maka keputusan pencegahan dan penangkalan harus
mencerminkan dan mengingat prinsip-prinsip negara yang berdasarkan
atas hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Aspek pelayanan keimigrasian
mengandung makna melancarkan dan memudahkan orang masuk dan ke luar ke
dan dari Wilayah Indonesia. Dalam aspek pelayanan termasuk pengaturan
pembebasan Visa bagi orang asing dari negara-negara tertentu. Berbagai
bentuk pelayanan ini tidak terlepas dari kepentingan nasional, karena
itu setiap kemudahan keimigrasian yang diberikan kepada warga negara
asing dari satu atau beberapa negara tertentu dilakukan dengan sedapat
mungkin mengupayakan penerapan prinsip resiprositas yang memungkinkan
Warga Negara Indonesia menikmati kemudahan-kemudahan yang sama dari
negara-negara yang mendapat kemudahan keimigrasian di Indonesia. Dalam
rangka mewujudkan prinsip "selective policy" diperlukan pengawasan
terhadap orang asing. Pengawasan ini tidak hanya pada saat mereka
masuk, tetapi selama mereka berada di wilayah Indonesia termasuk
kegiatan-kegiatannya. Pengawasan keimigrasian mencakup penegakan hukum
keimigrasian baik yang bersifat administratif maupun tindak pidana
keimigrasian. Karena itu, perlu pula diatur mengenai Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan keimigrasian yang akan menjalankan
tugas dan wewenang menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
ini dan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Aspek pelayanan dan pengawasan ini tidak
pula terlepas dari sifat wilayah Indonesia yang berpulau-pulau,
mempunyai jarak yang dekat bahkan berbatasan dengan beberapa negara
tetangga. Pada tempat-tempat tersebut terdapat lalu lintas tradisional
masuk dan ke luar baik Warga Negara Indonesia maupun warga negara
tetangga. Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan memudahkan
pengawasan, dapat diatur perjanjian lintas batas dan diusahakan
perluasan Tempat-tempat Pemeriksaan Imigrasi. Dengan demikian dapat
dihindari orang masuk atau ke luar wilayah Indonesia di luar Tempat
Pemeriksaan Imigrasi. Kepentingan nasional adalah kepentingan seluruh
rakyat Indonesia. Karena itu, pengawasan terhadap orang asing
memerlukan juga partisipasi masyarakat untuk melaporkan orang asing
yang diketahui atau diduga berada di wilayah Indonesia secara tidak
sah atau menyalahgunakan izin keimigrasiannya. Untuk meningkatkan
partisipasi tersebut, perlu dilakukan usaha-usaha meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Perkembangan-perkembangan baru, dan
berbagai materi muatan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
keimigrasian seperti selective policy, tata pelayanan, pengawasan,
pencegahan, penangkalan, penyidikan, pemantauan dan lain-lain belum
seluruhnya tertampung dalam peraturan perundang-undangan yang telah
ada. Karena itu, untuk memadukan dan menyatukan berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada dan menampung berbagai perkembangan baru,
maka disusunlah Undang-undang Keimigrasian yang baru ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

*6449 Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud pembebasan Visa dalam ayat ini,
misalnya untuk kepentingan pariwisata. Huruf b Cukup jelas Huruf c
Yang dimaksud dengan kapten, nakhoda dan awak dalam huruf c ayat ini
adalah orang asing yang menjadi kapten, nakhoda, atau awak yang sedang
bertugas pada pesawat udara, kapal laut atau alat angkut lainnya yang
mendarat atau berlabuh di bandar udara atau pelabuhan yang ditetapkan
sebagai tempat atau pintu masuk ke wilayah Indonesia. Mengingat
bagian-bagian tertentu wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan
beberapa negara tetangga, tidak tertutup kemungkinan berkembangnya
hubungan darat antara Indonesia dengan negara-negara tetangga dengan
menggunakan alat angkut seperti bus atau kereta api. Apabila hal ini
terjadi maka kepada pengemudi bus, masinis kereta api, atau pengemudi
kendaraan umum lainnya termasuk awaknya, dapat diberlakukan ketentuan
yang berlaku bagi kapten atau nakhoda yang sedang bertugas sepanjang
tidak ditentukan secara khusus dalam perjanjian lintas batas antara
Indonesia dan negara tetangga yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 8

Orang asing pada waktu melintasi batas wilayah Indonesia sebenarnya
secara nyata telah memasuki wilayah Indonesia tetapi masuknya orang
asing itu baru sah setelah melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi
yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Keabsahan orang asing
masuk wilayah Indonesia tersebut penting karena akan menjadi dasar
bagi pemberian izin keimigrasian lainnya.

Huruf a Yang dimaksud dengan Surat Perjalanan yang sah dalam huruf a
ini adalah Surat Perjalanan yang masih berlaku. *6450 Huruf b Cukup
jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas

Pasal 9

Yang dimaksud dengan penanggung jawab alat angkut dalam Pasal ini
adalah pengusaha alat angkut yang bersangkutan atau perwakilannya.
Kapten atau nakhoda dianggap pula sebagai penanggung jawab alat
angkut.

Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud bendera
isyarat dalam huruf c Pasal ini adalah Bendera "N" dari kapal laut
sebagai pemberitahuan bahwa kapal tersebut datang dari luar negeri
dengan membawa penumpang dan tanda permintaan untuk dilakukan
pemeriksaan keimigrasian di atas kapal tersebut. Huruf d Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan urusan yang bersifat
keimigrasian dalam huruf a ayat ini adalah pencegahan yang dilakukan
karena alasan-alasan seperti :

1)Warga Negara Indonesia yang pernah diusir atau dideportasi ke
Indonesia oleh suatu negara lain; 2)Warga Negara Indonesia yang pada
saat berada di luar negeri melakukan perbuatan yang mencemarkan nama
baik bangsa dan Negara Indonesia; 3)Warga negara asing yang belum atau
tidak memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap Negara atau Pemerintah
Republik Indonesia, misalnya belum melunasi pajak sebagai orang asing.
Huruf b Yang dimaksud dengan piutang negara dalam huruf b ayat ini
adalah tagihan terhadap seseorang atau badan hukum yang timbul dari
perjanjian keperdataan dengan instansi Pemerintah, Badan-badan Usaha
Negara, atau badan-badan lainnya *6451 baik di pusat maupun di daerah
yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf c Cukup jelas Huruf d
Pelaksanaan pencegahan dalam huruf d ayat ini, dilakukan semata-mata
untuk mencapai tujuan dan dalam batas-batas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988, terutama Pasal 3 dan Pasal
12. Berdasarkan Undang-undang ini pertahanan dan keamanan negara
bertujuan untuk menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap
segala ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri serta
tercapainya tujuan nasional. Pelaksanaan komando pertahanan keamanan
negara ada pada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam
rangka melaksanakan tugas di bidang pertahanan keamanan, Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat mencegah seseorang untuk
ke luar dari wilayah Indonesia. Pencegahan tersebut dilakukan apabila
orang atau orang-orang tertentu menunjukkan secara nyata sikap atau
tindakan yang akan mengganggu atau mengancam keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Hal-hal yang semata-mata berdasarkan dugaan tanpa bukti-bukti
awal yang cukup bahwa orang-orang tertentu mengganggu atau mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk
melakukan pencegahan. Begitu pula perbedaan pandangan, persepsi atau
kebijaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara, tanpa dimaksudkan
untuk mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dijadikan alasan pencegahan. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud
dengan surat tercatat dalam ayat ini termasuk juga bukti penerimaan
oleh yang bersangkutan atau orang lain pada alamat orang atau
orang-orang yang terkena pencegahan.

*6452 Pasal 13 Ayat (1) Setiap keputusan perpanjangan pencegahan harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). Ayat
(2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan urusan yang bersifat
keimigrasian dalam huruf a ayat ini adalah penangkalan yang dilakukan
karena alasan-alasan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 8. Huruf b
Cukup jelas Huruf c Pelaksanaan penangkalan dalam huruf c ayat ini,
dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dan dalam batas-batas
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1988. Berdasarkan Undang-undang ini, pertahanan dan keamanan negara
bertujuan untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap segala
ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri serta tercapainya
tujuan nasional. Pelaksanaan komando pertahanan keamanan negara ada
pada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dengan demikian,
dalam rangka melaksanakan tugas di bidang pertahanan keamanan,
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berwenang menangkal
orang asing untuk masuk ke wilayah Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16

Penanganan oleh sebuah Tim ini, dimaksudkan untuk menjamin agar
penangkalan terhadap Warga Negara Indonesia benar-benar dilakukan
dengan pertimbangan yang matang dan obyektif melalui suatu penelitian
yang sangat mendalam dan seksama, sehingga di satu pihak tujuan untuk
memberikan perlindungan kepada hak-hak mereka sebagai Warga Negara
Indonesia dapat dipenuhi dan di pihak lain tujuan untuk melindungi
kepentingan yang lebih luas dan lebih besar yaitu kepentingan tetap
tegaknya Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 tetap terjamin. *6453 Pasal 17

Huruf a Yang dimaksud dengan sindikat kejahatan internasional.dalam
huruf a Pasal ini antara lain kejahatan narkotik dan terorisme. Huruf
b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup
jelas Huruf f Cukup jelas

Pasal 18

Pada dasarnya Warga Negara Indonesia berhak untuk masuk atau kembali
ke Indonesia. Karena itu penangkalan terhadap mereka hanya dilakukan
berdasarkan keadaan yang khusus. Keadaan khusus tersebut adalah bahwa
mereka telah lama berada dan tinggal menetap di luar negeri, sehingga
sikap mental, ucapan dan tingkah laku mereka benar-benar sudah seperti
orang asing dan melakukan tindakan yang memusuhi Negara Indonesia
serta bersikap anti Pemerintah Negara Republik Indonesia. Di samping
itu, penangkalan terhadap Warga Negara Indonesia dapat juga dilakukan
atas pertimbangan masuknya mereka ke Indonesia dapat menimbulkan
gangguan terhadap pembangunan nasional, menimbulkan perpecahan bangsa,
atau mengganggu stabilitas nasional dan dapat pula menimbulkan ancaman
terhadap diri atau keluarganya.

Pasal 19

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud
dengan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia dalam ayat ini adalah
Atase Imigrasi atau Dinas Konsuler pada perwakilan Republik Indonesia.
Pengiriman keputusan penangkalan kepada perwakilan Republik Indonesia
dimaksudkan agar orang asing yang bersangkutan tidak diberikan Visa
untuk masuk ke wilayah Indonesia. Khusus bagi Warga Negara Indonesia
yang terkena penangkalan sedapat mungkin pemberitahuannya disampaikan
kepada yang bersangkutan melalui perwakilan Republik Indonesia
tersebut.

Pasal 20

Ayat (1) Setiap keputusan perpanjangan penangkalan harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). Ayat (2) Cukup
jelas Ayat (3) *6454 Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1) Izin keimigrasian yang dimaksud dalam ayat ini merupakan
bukti keberadaan yang sah bagi setiap orang asing di wilayah
Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Izin Singgah dalam ayat ini sering juga
disebut izin transit adalah izin untuk berada di wilayah Indonesia
yang diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah di Indonesia
dalam perjalanannya menuju atau meneruskan perjalanan ke suatu negara
lain. Lamanya Izin Singgah tergantung pada jadwal pemberangkatan
pesawat atau kapal yang akan ditumpangi menuju atau untuk meneruskan
perjalanan tersebut. Karena Izin Singgah memberikan izin memasuki
wilayah Indonesia maka semua persyaratan keimigrasian harus dipenuhi
termasuk tiket untuk meneruskan perjalanan ke negara tujuan. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Izin Kunjungan dalam ayat ini sesuai dengan
sifatnya adalah kunjungan singkat, untuk tugas-tugas pemerintahan,
kegiatan sosial budaya, atau usaha. Jangka waktu Izin Kunjungan
disesuaikan dengan keperluan atau jadwal kegiatan tersebut. Izin
Kunjungan kepariwisataan ditentukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan kunjungan
kegiatan sosial budaya antara lain untuk misi kesenian, misi
pendidikan, atau program tukar menukar budaya. Ayat (3) Yang dimaksud
dengan Izin Tinggal Terbatas dalam ayat ini adalah izin yang diberikan
kepada orang asing yang memenuhi persyaratan-persyaratan keimigrasian
dan mengajukan permohonan tinggal untuk jangka waktu terbatas di
wilayah Indonesia baik karena pekerjaan, atau alasan-alasan lain yang
sah. Ayat (4) Yang dimaksud dengan Izin Tinggal Tetap dalam ayat ini
adalah izin yang diberikan kepada orang asing yang telah menetap di
wilayah Indonesia secara berturut-turut untuk jangka waktu tertentu
dan memenuhi persyaratan-persyaratan keimigrasian serta syarat-syarat
lain yang akan diatur dengan Peraturan *6455 Pemerintah. Selanjutnya
dalam Peraturan Pemerintah akan diatur pula mengenai kedudukan istri
dan anak-anak orang asing yang mendapat Izin Tinggal Tetap serta
hal-hal yang menyangkut gugurnya Izin Tinggal Tetap tersebut. Bagi
orang asing yang telah mendapat Izin Tinggal Tetap berlaku semua
ketentuan-ketentuan tentang kependudukan Indonesia.

Pasal 26

Ayat (1) Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, faktor-faktor yang
disebut dalam Pasal 8 juga menjadi dasar bagi pemberian atau penolakan
permintaan izin keimigrasian tersebut. Ayat (2) Penegasan ketentuan
dalam ayat ini untuk mengurangi kemungkinan orang asing terutama yang
berstatus tanpa kewarganegaraan untuk memperoleh Izin Tinggal Tetap.

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1) Paspor Biasa, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Warga
Negara Indonesia, Paspor untuk Orang Asing, dan Surat Perjalanan
Laksana Paspor untuk Orang Asing :

a.di Indonesia diberikan oleh Pejabat Imigrasi yang ditunjuk Menteri;
atau b.di luar negeri diberikan oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat
dinas luar negeri pada kantor perwakilan Republik Indonesia yang
ditunjuk oleh Menteri Luar Negeri; Paspor Diplomatik diberikan atas
nama Presiden oleh Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk
Menteri Luar Negeri. Paspor Dinas dan Surat Perjalanan Laksana Paspor
Dinas diberikan atas nama Menteri Luar Negeri oleh pejabat yang
ditunjuk Menteri Luar Negeri. Paspor Haji diberikan oleh Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud
dengan keadaan khusus dalam ayat ini antara lain pemulangan Warga
Negara Indonesia dari negara lain.

Pasal 31

Cukup jelas

*6456 Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan
keadaan khusus dalam ayat ini antara lain pengiriman rombongan untuk
melaksanakan misi Pemerintah yang tidak bersifat diplomatik dan dalam
waktu yang singkat.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ayat ini maka Paspor Untuk Orang Asing
tidak diberikan lagi kepada orang asing, yang sesudah mulai berlakunya
Undang-undang ini karena sesuatu hal memperoleh izin tinggal.
Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2). Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud
dengan keadaan tertentu dalam huruf c ayat ini antara lain dalam hal
seseorang yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal
17 huruf k Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958, bermaksud kembali ke
Indonesia untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali. Yang
dimaksud dengan kepentingan nasional adalah kepentingan-kepentingan
yang berkaitan dengan tercapainya tujuan nasional. Ayat (2) Cukup
jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud
dengan pemantauan adalah *6457 kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
mengetahui secara dini setiap peristiwa yang diduga mengandung
unsur-unsur pelanggaran keimigrasian. Huruf d Cukup jelas Huruf e
Cukup jelas

Pasal 41

Yang dimaksud dengan koordinasi bersama Badan atau Instansi Pemerintah
yang terkait, adalah bahwa pada dasarnya pengawasan orang asing
menjadi tanggung jawab Menteri c.q. Pejabat Imigrasi. Mekanisme
pelaksanaannya harus dilakukan dengan mengadakan koordinasi dengan
Badan atau Instansi Pemerintah yang bidang tugasnya menyangkut orang
asing. Badan atau instansi tersebut, antara lain Departemen Luar
Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan Keamanan,
Departemen Tenaga Kerja, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Intelijen
Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia. Koordinasi pengawasan
orang asing dilakukan secara terpadu, terutama dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam hal yang berkaitan dengan pendaftaran
orang asing dan kewajiban bagi orang asing yang telah memperoleh izin
tinggal untuk melapor pada Kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia
di tempat tinggalnya atau tempat kediamannya.

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan alasan tertentu
dalam ayat ini adalah antara lain karena menyangkut anak-anak yang
masih di bawah umur, orang sakit yang memerlukan perawatan khusus,
atau Karantina Imigrasi tidak dapat menampung.

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Ayat (1) Tindak pidana keimigrasian dalam Undang-undang ini merupakan
tindak pidana umum. Ayat (2) Pemberian wewenang kepada Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil dalam ayat ini, sama sekali tidak
mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
untuk menyidik tindak pidana keimigrasian. Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia *6458 diminta atau tidak diminta memberi
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pemberian petunjuk dan
bantuan tersebut, antara lain meliputi ha]-ha] yang berkaitan dengan
teknik dan taktik penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan
laboratorium. Oleh karena itu, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sejak awal harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang
dilakukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Setelah itu, hasil penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan
barang bukti disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan penuntutan.
Pelaksanaan wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) harus dilakukan berdasarkan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, terutama
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil, yaitu antara lain Pasal 32, 33, 34, 35,
36, 37, dan Pasal 107. Selain hal tersebut, wewenang Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil untuk menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a ayat ini termasuk menerima pengaduan tentang adanya tindak
pidana keimigrasian. Khusus mengenai wewenang menangkap dan menahan
tersebut dalam huruf b ayat ini hanya digunakan dalam hal-hal yang
sangat perlu. Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51 Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

*6459 Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Yang dimaksud dengan Pejabat dalam Pasal ini adalah pegawai negeri
yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pemberian dan perpanjangan
Surat Perjalanan Republik Indonesia atau dokumen keimigrasian lainnya.

Pasal 60

Yang dimaksud dengan setiap orang dalam Pasal ini adalah termasuk
pengurus penginapan, hotel, pemondokan dan lain-lain. Apabila di
daerah orang yang memberikan kesempatan menginap kepada orang asing
tidak terdapat kantor kepolisian, laporan tersebut disampaikan kepada
Pejabat Pemerintah setempat yaitu Camat atau Kepala Desa/Lurah.

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Huruf a Yang dimaksud dengan dinyatakan tetap berlaku untuk paling
lama 3 (tiga) tahun, dihitung sejak berlakunya Undang-undang ini.
Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Yang dimaksud dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang ini adalah
bahwa perjanjian lintas batas yang akan dilakukan oleh Pemerintah
dengan pemerintah negara tetangga sejauh mungkin memperhatikan
prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

--------------------------------

CATATAN

*6460 Kutipan:LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992