Jumat, 30 Mei 2008

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 1983

TENTANG

IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 1 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);

5.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam Partai Politik dan Golongan Karya;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disipfin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176).

Pas. 1. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

a. Pegawai Negeri Sipil adalah:

1.Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;

2. Yang dipersamakan dengan Pegawai negeri Sipil yaitu:

(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;

(b) Pegawai Bank miuk Negara;

(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;

(d) Pegawai Bank milik Daerah;

(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;

(f) Kepala Daerah, perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintah di Desa;

b. Pejabat adalah:

1. Menteri;

2. Jaksa Agung;

3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;

4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinnggi Negara;

5. Gubernur Kepala Daerah 'nngkat 1;

6. Pimpinan Bank milik Negara;

7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;

8. Pimpinan Bank milik Daerah;

9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah.

Pasal 2.

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.

(2) Ketentuan-ketentuan dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Pasal 3.

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.

(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian itu.

Pasal 4.

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan mewadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.

Pasal 5.

(1) Permintaan izin sebagaimana diniaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui saluran hierarki.

(2) Setiap atasan yang meneiima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian, atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

Pasal 6.

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dati isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yadg mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.

Pasal 7.

(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Izin untuk bercerai karena alasan iateri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat mewalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak dibeiikan oleh Pejabat.

(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila:

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau

d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8.

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk pencukupan bekas isteri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah, setengah dari gajinya.

(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu.

(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.

Pasal 9.

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10.

(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:

a. isteri tidak dapat menalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyaldt yang tidak dapat disembuhkan; atau

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:

a. ada persetujuan tertulis dari bekas isteri bakal suami.

b. Pegawai Negeri Sipil piia yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa la akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(4) lzin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat(3);

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau

e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal Pasal 11

(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila:

a. ada persetujuan tertulis dari bekas isteri bakal suami;

b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila:

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;

b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

c. bertentangan dengan peraturari perundang-undangan yang berlaku; dan/atau

d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 12.

Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai:

(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tlnggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/'nnggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.

(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang bersangkutan.

(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha Milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 13.

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tehulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 14.

Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat lain dalam lingkungannya, serendah-rendahnya Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk memberikan atau menolak pembelian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipit golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.

Pasal 15.

(1 Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah.

(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 16.

Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaain sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17.

Pegawai Negeri Sipil yang mel ikukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengari hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeii Sipil.

Pasal 18.

Ketentuan Peraturan Pemerintah ird tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diinaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahan 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran negara Nomor 3019), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050), dan peraturan perundangundangan lainnya.

Pasal 19.

Setiap Pejabat atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara catatan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

Pasal 20.

(1) Pejabat atau Pejabat yang ditunjuk olehnya menyampaikan salinan sah surat pemberitahuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tembusan surat,pemberian izin atau penolakan pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, kepada:

a. Kepala Bagian Administrasi Kepegawaian Negara, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal I huruf a angka I dan angka 2 huruf (a);

b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, dan Badan Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (b), (c), (d), dan (e);

c. Bupati Kepada Daerah Tingkat II, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal I huruf a angka 2 huruf (f).

(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud dalam ayat (1) Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Pimpinan masing-masing Bank Milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha milik Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II, membuat dan memelihara:

a. catatan perkawinan dan perceraian;

b. kartu isteri/suami.

Pasal 21.

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 22.

Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Pasal 23.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1983.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1963
TENTANG
FARMASI

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan perundangan dalam bidang farmasi. sebagai pelaksanaan dari pada Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan dan Ketetapan M.P.R.S./ 1960 Lampiran B;

Mengingat :

a.Pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 Undang-undang Dasar;
b.Pasal 4 (c), (.f) dan (g), pasal 11 dan 14 Undang-undang Pokok-pokok Kesehatan (Undang-undang No. 9 tahun 1960, Lembaran-Negara tahun 1950 No. 131);
c.Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan (Undang-undang No. 6 tahun 1963. Lembaran-Negara tahun 1963 No. 79);
d.Undang-undang tentang Barang Undang-undang No. 10 tahun 1961( Lembaran-Negara tahun 1961 No.215);
e.Undang-undang tentang Perusahaan Daerah (Undang-undang No. 5 tahun 1962, Lembaran-Negara tahun 1962 No. 10)
f.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/1960;
g.Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong;

Memutuskan:

Menetapkan : Undang-undang tentang Farmasi.

BAB I
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 1

Maksud dan tujuan Undang-undang ini ialah menetapkan ketentuan-ketentuan dasar dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan.

BAB II
KETENTUAN UMUM

Pasal 2

Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:

a.Perbekalan Kesehatan dibidang farmasi, adalah perbekalan yang meliputi obat. bahan obat, obat asli Indonesia. bahan obat asli Indonesia, alat kesehatan, kosmetik dan sebagainya,
b.Obat, adalah obat yang dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan obat syntetis;
c.Obat asli Indonesia, adalah obat-obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah di Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisionil;
d.Alat kesehatan, adalah alat-alat yang diperlukan bagi pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan pembuatan obat;
e.Pekerjaan kefarmasian, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.

BAB III

USAHA-USAHA.

Pasal 3.

Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang farmasi, adalah sebagai berikut :

a.Usaha-usaha dalam bidang produksi, yang meliputi: penggalian kekayaan alam. penanaman tumbuh-tumbuhan, pemeliharaan dan pengembangan binatang yang berguna untuk farmasi, pembuatan bahan-bahan farmasi, pembuatan obat-obat syntetis, pembuatan obat-obat jadi, pembuatan alat-alat kesehatan dan alat-alat yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk alat-alat untuk laboratorium dan alat-alat untuk pembuatan obat-obat dan lain-lain.
b.Usaha-usaha dalam bidang distribusi yang dilakukan oleh Pemerintah dan Swasta yang meliputi: alat-alat distribusi, apotek-apotek, rumah obat-rumah obat, toko-toko penyalur obat dan lain-lain.
c.Usaha-usaha penyelidikan (penelitian) oleh Lembaga Farmasi Nasional, Universitas-universitas dan lain-lain.
d.Usaha-usaha pengawasan oleh Pemerintah, Pusat maupun Daerah.
e.Membentuk dan menggunakan Dewan Farmasi.
f.Usaha-usaha lain.

Pasal 4.

(1)Dengan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan peraturan-peraturan mengenai produksi dan distribusi dibidang farmasi. (2)Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai penyelidikan dan pengawasan konsumsi dibidang farmasi, pekerjaan kefarmasian dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Pasal 5.

Untuk kepentingan rakyat, Pemerintah berusaha agar tercapai harga obat dan alat kesehatan serendah-rendahnya.

BAB IV

PENGUASAAN PERBEKALAN KESEHATAN DIBIDANG *3016 FARMASI YANG BERBAHAYA.

Pasal 6.

Penguasaan perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang berbahaya, baik dipandang dari sudut kesehatan maupun keamanan umum, ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB V

OBAT ASLI INDONESIA.

Pasal 7.

(1)Pemerintah memberi bimbingan dalam perkembangan pengawasan terhadap usaha-usaha yang mempergunakan obat asli Indonesia. (2)Bimbingan dan pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 8.

Menteri Kesehatan mengusahakan:

a.penyelidikan baik tentang cara membuat dan menggunakan maupun tentang khasiat obat-obat asli Indonesia:
b.standardisasi dalam pemakaian obat-obat asli Indonesia;
c.pertukaran pengalaman dengan luar negeri;
d.mencari sumber-sumber baru obat asli Indonesia;
e.usaha-usaha lain.

BAB VI

USAHA SWASTA

Pasal 9.

Sesuai dengan pasal 14 ayat (1), (2) dan (5) Undang-undang Pokok Kesehatan, badan-badan swasta diberi kesempatan melakukan usaha-usaha dilapangan farmasi, terutama dibidang produksi.

Pasal 10.

(1)Untuk melakukan usaha swasta yang dimaksud dalam pasal 9, badan-badan swasta harus mendapat izin dari Menteri Kesehatan. (2)Hal-hal mengenai izin yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP.

Pasal 11.

(1)Hal-hal yang tidak, belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan. (2)Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan dibidang farmasi yang bertentangan dengan Undang-undang ini, tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Undang-undang Farmasi ini.

Pasal 12

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1963. Pj. Presiden Republik Indonesia,

DJUANDA.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1963. Sekretaris Negara,

A.W. SURJOADININGRAT (S.H.).

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 7 TAHUN 1963 TENTANG FARMASI

UMUM

Undang-undang ini adalah pelaksanaan dari pada Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan (selanjutnya disingkatkan Undang-undang Pokok Kesehatan Dibidang Farmasi). Karena tenaga farmasi telah diatur dalam Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan, maka Undang-undang ini khusus mengenai bidang perbekalan kesehatan dibidang farmasi. Disini hanya ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang merupakan dasar hukum untuk usaha-usaha dibidang farmasi yang dimaksud diatas, baik usaha-usaha Pemerintah. badan-badan swasta maupun usaha-usaha dari masyarakat dan/atau dengan mengikut-sertakan masyarakat(rakyat). Rakyat dapat diikutsertakan dengan saluran organisasi-organisasi tertentu (umpamanya: Organisasi-organisasi karyawan (Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (P.A.P.H.I.), Lembaga-lembaga Negara, Ikatan Bidan Indonesia dan seterusnya, Serikat Buruh Kesehatan dibidang farmasi dan Lembaga-lembaga Negara (termasuk : D.P.R.- G.R. dan D.P.R.D.-G.R.-D.P.R.D.-G.R. dari semua tingkatan) bidang pengawasan. Keputusan-keputusan M.P.R.S. mengenai usaha-usaha dibidang farmasi diperhatikan dalam Undang-undang ini. Oleh sebab dalam Undang-undang tentang Farmasi ini hanya ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok, maka perlu menyusul sebagai "follow-up" peraturan-peraturan pelaksanaan, baik yang bersifat farmasi-tehnis maupun yang bersifat administratip organisatoris.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

*3018 Kata-kata "ketentuan-ketentuan dasar" dalam pasal ini menyatakan bahwa Undang-undang ini merupakan Undang-undang Induk bagi segala peraturan-peraturan mengenai farmasi, Secara konkrit dan umum dapat dikatakan, bahwa "tujuan" Undang-undang ini ialah : mengusahakan terpenuhinya keperluan Rakyat dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan.

Pasal 2

Kecuali obat-obat yang dipergunakan dalam pengobatan modern, obat-obat asli Indonesiapun akan dipergunakan sebagai penyempurnaan usaha pengobatan tersebut hal ini adalah sesuai dengan Undang-undang Pokok Kesehatan. Pekerjaan kefarmasian, yang diperinci pada C adalah pekerjaan yang dilakukan dipabrik-pabrik obat, apotik-apotik, laboratoria dan sebgainya.

Pasal 3

Usaha-usaha yang diterangkan dalam pasal ini - khususnya dalam bidang produksi - dilakukan dengan memperhatikan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar. Lembaga Farmasi Nasional antara lain melakukan kegiatan-kegiatan dalam bidang Farmakoterapi.

Pasal 4

Oleh sebab produksi dan distribusi perbekalan kesehatan dibidang farmasi mempunyai segi-segi lain dari pada segi farmaceutis-tekhnis, maka produksi dan distribusi tersebut ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan, umpamanya: dibidang produksi perlu juga ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah perihal impor/ekspor, penyediaan obat-obat, dan sebagainya. Hal-hal mengenai "konsumsi" dan "pekerjaan kefarmasian" bersifat farmaceutis-tekhnis dan oleh karena itu cukup diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 5

Dalam pasal ini terkandung maksud agar obat-obat, bahan-obat dan perbekalan kesehatan terutama dibidang pengobatan dan kesehatan rakyat tidak dijadikan obyek perdagangan. Sesuai dengan jiwa Undang-undang Pokok Kesehatan Pemerintah berusaha tercapainya penyebaran obat yang luas dan merata dengan harga yang serendah-rendahnya. Yang dimaksud dengan "harga obat serendah-rendahnya" ialah harga yang ditetapkan serendah mungkin atas dasar perhitungan mengindahkan kelangsungan produksi. Pada umumnya didalam bidang farmasi, yang mencakup urusan ekonomi, mengindahkan pelaksanaan "Deklarasi Ekonomi" tertanggal 28 Maret 1963.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang berbahaya ialah : obat-obat bius, obat keras, dan sebagainya.

Pasal 7

Dengan melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap usaha-usaha yang mempergunakan obat asli Indonesia, maka dapat dijaga *3019 jangan sampai penggunaan obat asli Indonesia membahayakan. Kecuali dari pada itu kepribadian Indonesia didalam bidang farmasi sebagai sebahagian dari pada kultur Indonesia umumnya dipelihara dan diperkembangkan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 11 ayat (4) Undang-undang Pokok Kesehatan.

Pasal 8

Dalam pasal ini ditetapkan usaha-usaha yang konkrit yang harus dilakukan dalam bidang obat-obatan asli Indonesia. "Usaha-usaha lain" meliputi penerangan mengenai obat asli Indonesia.

Pasal 9 dan 1O

Prinsip bimbingan Pemerintah terhadap badan-badan dan oknum-oknum swasta dibidang kesehatan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Pokok Kesehatan, ditegaskan disini bagi usaha farmasi swasta.

Dalam pasal ini diharapkan agar badan swasta berusaha terutama dilapangan produksi perbekalan kesehatan dibidang farmasi, sesuai dengan Keputusan M.P.R.S.

Pasal 11

(1) Cukup jelas.

(2) Perundang-undangan dibidang farmasi seperti:

a. Undang-undang obat bius (Stbl. 1927 No. 178),
b. " " " keras (Stbl. 1949 No. 419),
c. " " " berbahaya (Stbl. 1949 No. 377) dan
d. " " " Loodwit (Stbl. 1931 No. 509), harus diganti dengan peraturan perundang-undangan lain yang bersandar pada Undang-undang Farmasi ini.

Pasal 12

Cukup jelas.

Termasuk dalam Lembaran-Negara tahun 1963 No. 81.

Mengetahui : Menteri/Penjabat Sekretaris Negara,

A.W. SURJOADININGRAT (S.H.)


Undang-Undang No. 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1953
TENTANG
PEMBUKAAN APOTIK

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang: bahwa sangat perlu mengadakan peraturan sementara tentang penempatan apotik-apotik, di samping peraturan tentang hal ini dalam "Reglement op den Dienst van de Volksgezondheid" (Staatsblad 1882 Nomor 97, yang telah diubah dan ditambah. paling akhir dengan Staatsblad 1949 Nomor 228);

Mengingat: Pasal 42 Undang-undang Dasar. Sementara Republik Indonesia;

Dengan persetujuan: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG PEMBUKAAN APOTIK.

Pasal 1

(1)Dilarang membuka apotik termasuk juga membuka kembali apotik yang telah menghentikan pekerjaannya sekurang-kurangnya selama setahun di tempat-tempat atau/dan daerah-daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, kecuali bila diizinkan.

(2)Larangan di atas tidak berlaku bagi apotik yang akan dibuka atau/dan yang akan dibuka kembali oleh Penguasa militer atau sipil.

Pasal 2

Dalam tiap-tiap surat-izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, ditentukan jangka waktu, yang menetapkan bilamana apotik itu harus memulai menjalankan pekerjaannya.

Pasal 3.

(1)Barang siapa yang melanggar larangan yang tersebut dalam Pasal 1, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan denda. sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.

(2)Bilamana hal yang diancam hukuman tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh atau atas nama sesuatu badan hukum, maka pengusutan hukum dan hukumannya sendiri dijatuhkan kepada pengurus atau wakil badan hukum itu di daerah/tempat itu. (3)Hal yang ditentukan dalam ayat (2) di atas, berlaku pada terhadap badan hukum yang bertindak sebagai pengurus atau wakil dari pada badan hukum lain.

Pasal 4.

(1)Perbuatan (hal) yang diancam hukuman dalam Pasal 3 dianggap sebagai pelanggaran.

(2)Untuk mengusut perbuatan (hal) yang diancam dengan hukuman menurut Undang-undang ini, juga turut berkewajiban pegawai yang bertugas mengawas-awasi keadaan kesehatan rakyat.

Pasal 5.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Pebruari 1953.
Wakil Presiden Republik Indonesia,

MOHAMMAD HATTA.

Menteri Kesehatan,

J. LEIMENA.

Diundangkan, pada tanggal 21 Pebruari 1953. Menteri Kehakiman,

LOEKMAN WIRIADINATA


Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JASA TIRTA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa dalam rangka pengembangan wilayah sungai, telah selesai dibangun prasarana pengairan yang bertujuan untuk penyediaan air bagi berbagai keperluan masyarakat, baik dalam kuantitas maupun kualitas yang memadai;
b.bahwa untuk melaksanakan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan serta pengusahaan air dan sumber air yang berada pada wilayah sungai tersebut perlu dibentuk suatu Perusahaan Umum (PERUM);
c.bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu membentuk Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1989);

3.Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);

4.Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);

5.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3189); 6.Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);

7.Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3246) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan *22428 Pemerintah Nomor 28 Tahun 1983 (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 37);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan . PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JASA TIRTA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.

2. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia.

3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum.

4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang pengairan.

5. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta.

6. Perusahaan adalah Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta.

7. Direksi adalah Direksi Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta.

8. Direktur Utama adalah Direktur Utarna Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta.

9.Pegawai adalah pegawai pada Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta. 10.Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi Perusahaan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian dengan maksud agar Perusahaan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdaya guna dan berhasil guna serta dapat berkembang dengan baik. 11.Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap Perusahaan dengan tujuan agar Perusahaan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 12.Pemeriksaan adalah kegiatan untuk menilai Perusahaan dengan cara membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya dilakukan, baik dalam bidang keuangan maupun dalam bidang teknis operasional. 13.Pengelolaan Perusahaan adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian Perusahaan sesuai dengan pembinaan yang digariskan oleh Menteri.

BAB II

PENDIRIAN PERUSAHAAN

Pasal 2

Untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan dan pengusahaan air dan sumber-sumber air, didirikan suatu Perusahaan Umum, sebagaimana dimaksud dalam *22429 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 dengan nama Perusahaan Umum (PERUM) ' Jasa Tirta.

BAB III

ANGGARAN DASAR PERUSAHAAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 3

(1)Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah badan usaha yang menyelenggarakan usaha-usaha eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air.

(2)Perusahaan melakukan usaha-usahanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini terhadap Perusahaan berlaku Hukum Indonesia.

Bagian Kedua

Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1)Perusahaan bertempat kedudukan dan berkantor pusat di Malang.

(2)Perubahan tempat kedudukan dan kantor pusat Perusahaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

(3)Dalam rangka pengembangan, Perusahaan dapat mengadakan satuan organisasi pelaksana yang ditetapkan oleh Direksi setelah mendapat persetuju an Menteri.

Bagian Ketiga

Sifat, Maksud dan Tujuan

Pasal 5

(1)Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan.

(2)Maksud didirikannya Perusahaan adalah untuk menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai, yang meliputi antara lain perlindungan, pengembangan dan penggunaan sungai dan/atau sumber-sumber air termasuk pemberian informasi, rekomendasi, penyuluhan dan bimbingan. *22430 (3)Tujuan Perusahaan adalah turut membangun ekonomi nasional dengan berperan serta melaksanakan program pembangunan nasional di dalam bidang pengelolaan air dan sumber-sumber air.

Pasal 6

(1)Untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Perusahaan melakukan juga kegiatan rehabilitasi.

(2).Besarnya biaya untuk kegiatan rehabilitasi yang menjadi tanggungjawab Perusahaan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Bagian Keempat

Lapangan Usaha

Pasal 7

Dengan mengindahkan prinsip-prinsip ekonomi dan terjaminnya keselamatan kekayaan Negara, Perusahaan menyelenggarakan usaha-usaha sebagai berikut :

a.penyediaan air baku untuk perusahaan air minum, perusahaan listrik, perusahaan perkebunan, perusahaan perikanan, industri, pelabuhan, dan penggelontoran;


b.usaha pariwisata, jasa 'kopsultasi dan usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan persetujuan Menteri.

Pasal 8

(1)Perusahaan melaksanakan kegiatan-kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, di sungai Kali Brantas, Kali Amprong, Kali Lesti, Kali Metro, Kali.Lahor, Kali Putih, Kali Semut, Kali Badak, Kali Bambang, Kali Lekso, Kali Ngrowo, Kali Song, Kali Ngasinan, Kali Tawing, Kali Parit Raya, Kali Dawir, Kali Parit Agung, Kali Boding, Kali Tugu, Kali Kedak, Kali Srinjing, Kali Konto, Kali Beng, Kali Widas, Kali Bening, Kali Kuncir, Kali Kedung Soko, Kali Ulo, Kali Brangkal, Kali Marmoyo, Kali Watudakon, Kali Sadar, Kali Kambing, Kali Porong, Kali Surabaya, Kali Mas, Kali Wonokromo, Kali kedurus, Kali Ewoh, dan Kali Jari.

(2)Pengusahaan air dan sumber-sumber air di sungai lainnya oleh Perusahaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

Bagian Kelima

Modal

Pasal 9

(1)Modal Perusahaan adalah kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan tidak terbagi atas saham-saham. *22431 (2)Besarnya modal Perusahaan adalah seluruh nilai kekayaan Negara yang telah tertanam dalam Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas kecuali Waduk, Bendung, Tanggul, Terowongan, dan Pelurusan Sungai yang nilainya ditetapkan Menteri Keuangan sesuai dengan hasil perhitungan yang dilakukan bersama oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Keuangan.

(3)Setiap penambahan modal yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkanan, dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.

(4)Perusahaan dapat menambah modalnya dengan dana yang dibentuk dan dipupuk secara intern menurut ketentuan dalam Pasal 55.

(5)Perusahaan tidak mengadakan cadangan diam atau cadangan rahasia.

(6)Semua alat-alat likuid (liquide) yang tidak segera diperlukan oleh Perusahaan disimpan dalam bank milik Negara yang disetujui oleh Menteri.

Pasal 10

(1)Pembelanjaan untuk investasi yang dilaksanakan Perusahaan dapat berasal dari : a.dana intern Perusahaan; b.penyertaan modal Negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; c.pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri; d.sumber-sumber lainnya yang sah.

(2)Anggaran investasi diajukan di dalam anggaran Perusahaan, sedangkan apabila anggaran investasi diajukan pada masa tahun buku yang bersangkutan, maka anggaran investasi diajukan bersamaan dengan anggaran tahunan atau perubahan anggaran Perusahaan yang pengajuannya dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 11

(1)Perusahaan dapat memperoleh dan menggunakan dana yang diperoleh untuk mengembangkan usahanya melalui pengeluaran obligasi atau alat-alat yang sah lainnya.

(2)Pengeluaran obligasi atau alat-alat yang sah lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan itu, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

Setiap kegiatan penyerahan, pemindahtanganan, pembebanan, penghapusan aktiva tetap, penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang, pemberian pinjaman dalam bentuk dan cara apapun, tidak menagih lagi, menghapuskan dari pembukuan piutang dan persediaan barang dapat dilakukan oleh Direksi atas izin Menteri, setelah Menteri mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. *22432 Pasal 13

Pembebanan tugas tambahan kepada Perusahaan di luar tugas pokoknya yang menimbulkan akibat keuangan terhadap anggaran Perusahaan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

Bagian Keenam Pimpinan, Pembinaan dan Pengelolaan

Pasal 14

Perusahaan dipimpin dan dikelola oleh Direksi yang terdiri dari seorang Direktur Utama dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Direktur sesuai dengan bidang usahanya.

Pasal 15

(1)Pembinaan terhadap Perusahaan dilakukan oleh Menteri, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Direktur Jenderal berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

(2)Direksi atau Direktur Utama untuk dan atas nama Direksi menerima petunjuk-petunjuk dari dan bertanggangjawab kepada Menteri tentang kebijaksanaan umum untuk menjalankan tugas-tugas pokok Perusahaan dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

(3)Pelaksanaan tanggung jawab administratif fungsional Perusahaan sebagai Badan Usaha Milik Negara terhadap Pemerintah, dalam hal ini Menteri dan Menteri Keuangan, dilakukan oleh Direktur Utama atas nama Direksi.

Pasal 16

Tugas dan wewenang Direksi adalah sebagai berikut :

a.memimpin, mengurus, dan mengelola Perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan dengan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna dari Perusahaan;
b.'menguasai, memelihara, dan mengurus kekayaan Perusahaan;
c.mewakili Perusahaan di dalam dan di luar pengadilan;
d.melaksanakan kebijaksanaan umum dalam mengurus Perusahaan yang telah digariskan oleh Menteri;
e.menetapkan kebijaksanaan Perusahaan sesuai dengan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Menteri;
f.menyiapkan pada waktunya rencana kerja tahunan Perusahaan lengkap dengan anggaran keuangan;
g.mengadakan dan memelihara tata buku dan administrasi Perusahaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu Perusahaan;
h.menyiapkan susunan organisasi Perusahaan lengkap dengan perincian tugasnya;
i.mengangkat dan memberhentikan pegawai sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku bagi Perusahaan; j.menetapkan gaji, pensiun/jaminan hari tua dan penghasilan lain bagi Pegawai serta mengatur semua hal kepegawaian lainnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; k.memberikan segala keterangan tentang keadaan dan jalannya *22433 Perusahaan baik dalam bentuk laporan tahunan, maupun laporan berkala menurut cara dan waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini serta setiap kali diminta oleh Menteri; l.menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan petunjuk Menteri.

Pasal 17

(1)Dalam menjalankan tugas-tugas pokok Perusahaan :

a.Direktur Utama berhak dan berwenang bertindak atas nama Direksi;
b.Para Direktur berhak dan berwenang bertindak atas nama Direksi masing-masing untuk bidangnya dalam batas-batas yang ditentukan dalam peraturan tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan Direksi.

(2)Apabila Direktur Utama berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum diangkat atau belum memangku jabatannya, maka jabatan Direktur Utama dipangku oleh Direktur yang tertua dalam masa jabatan berdasarkan penunjukan sementara Menteri, dan apabila Direktur dimaksud tidak ada atau berhalangan tetap, maka jabatan tersebut dipangku oleh Direktur lain berdasarkan penunjukan sementara Menteri, keduanya dengan kekuasaan dan wewenang Direktur Utama.

(3)Apabila semua anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan belum diangkat penggantinya atau belum memangku jabatannya, maka untuk sementara waktu pimpinan dan pengurusan Perusahaan dijalankan oleh seorang Pejabat Direksi yang ditunjuk oleh Menteri.

(4)Dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c, Direksi dapat melaksanakannya sendiri atau menyerahkan kekuasaan tersebut kepada : a. Seorang atau beberapa orang anggota Direksi, atau; b.Seorang atau beberapa orang Pegawai baik sendiri maupun bersama-sama, atau; c.Orang atau badan lain, yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.

(5)Tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Direksi dengan persetujuan Menteri.

(6)Gaji, tunjangan, emolumen dan penghasilan lain dari para anggota Direksi, ditetapkan oleh Menteri, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Pasal 18

(1)Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan.

(2)Anggota Direksi diangkat untuk masa 5 (lima) tahun dan setelah masa jabatannya berakhir dapat diangkat kembali. *22434 (3)Dalam hal-hal tersebut di bawah ini, Presiden atas usul Menteri dapat memberhentikan seluruh atau salah seorang anggota Direksi meskipun masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum berakhir karena : a. mutasi jabatan untuk kepentingan Perusahaan dan Negara; b. atas permintaan sendiri; c. melakukan perbuatan atau sikap yang merugikan Perusahaan; d. melakukan tindakan atau sikap yang bertentangan dengan kepentingan Negara;
e. cacat fisik atau mental yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan tugasnya;
f. meninggal dunia;
g. tidak cukup cakap atau ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
h. tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar Perusahaan.

(4)Pemberhentian karena alasan sebagairnana dimaksud dalam ayat (3) huruf c dan huruf d, jika merupakan suatu pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana, merupakan pemberhentian tidak dengan hormat.

(5)Sebelum pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)huruf c dan huruf d dilakukan, kepada anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri secara tertulis yang ditujukan kepada Menteri, yang harus dilaksanakan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah anggota Direksi yang bersangkutan diberitahukan oleh Menteri tentang rencana pemberhentian itu.

(6)Selama persoalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) belum diputus, maka Menteri dapat memberhentikan untuk sementara waktu anggota Direksi yang bersangkutan.

(7)Jika dalam waktu 2 (dua) bulan setelah memberhentikan anggota Direksi yang bersangkutan berdasarkan ketentuan ayat (4) belum diperoleh keputusan mengenai pemberhentian anggota Direksi tersebut, maka pemberhentian sementara itu menjadi batal dan anggota Direksi yang bersangkutan dapat segera menjalankan jabatannya lagi, kecuali bilamana untuk keputusan pemberhentian tersebut diperlukan keputusan pengadilan dalam hal itu harus diberitahukan kepada yang bersangkutan.

Pasal 19

(1) Anggota Direksi adalah Warga Negara Indonesia.

(2)Anggota Direksi diangkat berdasarkan syarat-syarat kemampuan dan keahlian dalam bidang pengelolaan Perusahaan, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan untuk memimpin suatu Perusahaan yang bergerak dalam bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, mempunyai akhlak dan moral yang baik serta memenuhi syarat-syarat lainnya yang diperlukan untuk menunjang kemajuan Perusahaan yang dipimpinnya.

(3)Direksi mencurahkan pengabdian dan kemampuannya secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan diadakannya *22435 Perusahaan.

Pasal 20

(1)Antara para anggota Direksi tidak boleh ada hubungan keluarga sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping termasuk menantu dan ipar, kecuali jika diizinkan Presiden.

(2)Jika sesudah pengangkatan, mereka memasuki hubungan kekeluargaan yang terlarang itu, maka untuk dapat melanjutkan jabatannya, diperlukan izin tertulis dari Presiden.

(3)Anggota Direksi tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu perkumpulan/Perusahaan lain yang berusaha/bertujuan mencari laba.

(4)Anggota Direksi tidak dibenarkan memangku jabatan rangkap sebagaimana tersebut di bawah ini :

a.Direktur Utama atau Direktur pada badan usaha milik negara lainnya atau perusahaan swasta, atau jabatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan Perusahaan;
b.jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam Instansi/Lembaga- Pemerintah Pusat/Daerah;
c.Jabatan-jabatan lainnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketujuh

Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan

Pasal 21

(1)Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Direksi mengirimkan rencana kerja dan anggaran Perusahaan yang meliputi anggaran investasi dan anggaran eksploitasi kepada Menteri untuk memperoleh pengesahannya berdasarkan penilaian bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.

(2)Kecuali apabila Menteri secara tertulis mengemukakan keberatan atau menolak kegiatan yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran Perusahaan sebelum menginjak tahun buku baru, maka anggaran tersebut berlaku sepenuhnya.

(3)Rencana kerja dan/atau anggaran tambahan atau perubahan anggaran yang tertera didalam tahun buku yang bersangkutan harus diajukan terlebih dahulu kepada Menteri, menurut cara dan waktu yang ditetapkan oleh Menteri, untuk memperoleh pengesahannya berdasarkan penilaian bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.

(4)Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan sesudah permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diajukan, oleh Menteri tidak diberikan keberatan secara tertulis, maka perubahan rencana kerja dan anggaran tersebut dianggap telah disahkan.

*22436 (5)Rencana kerja dan/atau anggaran Perusahaan yang telah disahkan merupakan landasan kerja dan menjadi tugas bagi Direksi untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum di dalamnya.

Pasal 22

(1)Semua pembiayaan dalam rangka pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern, Dewan Pengawas serta tenaga ahli, dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dianggarkan dalam anggaran Perusahaan.

(2)Perusahaan dilarang membiayai pengeluaran yang dilakukan oleh Departemen/Instansi yang membina dan mengawasi Perusahaan dalam rangka pembinaan dan pengawasan Perusahaan.

Bagian Kedelapan

Iuran

Pasal 23

Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan didasarkan pada asas memperoleh penghasilan yang cukup bagi Perusahaan untuk menutup biaya pengusahaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri atas usul Direksi, setelah mendapat 'pertimbangan Menteri Keuangan.

Bagian Kesembilan

Sistem Akuntansi

Pasal 24

Tahun Buku Perusahaan adalah tahun takwim, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri.

Pasal 25

(1)Setiap perubahan baik yang diakibatkan oleh transaksi maupun oleh kejadian lain dalam Perusahaan yang mempengaruhi aktiva, hutang, modal, biaya dan pendapatan harus dibukukan atas dasar satu sistem akuntansi yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2)Sistem akuntansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan dilaksanakan oleh Direksi agar dapat berjalan dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pengendalian intern, terutama pemisahan fungsi pengurusan, pencatatan, penyimpanan dan pengawasan.

(3)Dalam rangka pemeriksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menilai sistem yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan bilamana perlu memberikan petunjuk serta saran penyempurnaan.

Bagian Kesepuluh

Pengawasan *22437 Pasal 26

(1) Menteri melakukan pengawasan umum atas jalannya Perusahaan. (2)Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas yang bertanggungjawab kepada Menteri.

(3)Dewan Pengawas bertugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan Perusahaan termasuk pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Perusahaan.

(4)Dewan Pengawas melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap Perusahaan dan menjalankan keputusan-keputusan dan petunjuk-petunjuk dari Menteri.

Pasal 27

Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban :

a.memberikan pendapat dan saran kepada Menteri melalui Direktur Jenderal mengenai rancangan rencana kerja dan anggaran Perusahaan, serta perubahan/tambahannya, laporan-laporan lainnya dari Direksi;


b.mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Perusahaan serta menyampaikan hasil penilaiannya kepada Menteri dengan tembusan kepada Direksi dan Direktur Jenderal;


c.mengikuti perkembangan kegiatan Perusahaan, dan dalam hal Perusahaan menunjukkan gejala kemunduran, segera melaporkannya kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, dengan disertai saran mengenai langkah perbaikan yang harus ditempuh;


d.memberikan pendapat dan saran kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan kepada Direksi mengenai setiap masalah lainnya yang dianggap penting bagi pengelolaan Perusahaan;


e.memberikan laporan kepada Menteri dan Menteri Keuangan secara berkala (triwulan dan tahunan) serta pada setiap waktu yang diperlukan mengenai perkembangan Perusahaan dan hasil pelaksanaan tugas Dewan Pengawas;


f.melakukan tugas-tugas pengawasan lain yang ditentukan oleh Menteri.

Pasal 28

Dalam pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Dewan Pengawas wajib memperhatikan :

a.pedoman dan petunjuk-petunjuk Menteri dengan senantiasa memperhatikan efisiensi Perusahaan;
b.ketentuan dalam peraturan pendirian Perusahaan serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.pemisahan tugas pengawasan dengan tugas pengurusan Perusahaan yang merupakan tugas dan tanggung jawab Direksi.

Pasal 29

*22438 Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban Dewan Pengawas mempunyai wewenang sebagai berikut :

a.melihat buku-buku dan surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya, memeriksa keadaan kas (untuk keperluan verifikasi) dan memeriksa kekayaan Perusahaan;
b.memasuki pekarangan-pekarangan, gedung-gedung dan kantor-kantor yang dipergunakan oleh Perusahaan;
c.meminta penjelasan-penjelasan dari pimpinan Perusahaan mengenai persoalan yang menyangkut pengelolaan Perusahaan;
d.meminta Direksi dan/atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan Direksi untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas;
e.menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan terhadap hal-hal yang dibicarakan;
f.melakukan hal-hal lain yang dianggap perlu sebagaimana diatur dalam peraturan pendirian Perusahaan.

Pasal 30

(1)Dewan Pengawas mengadakan rapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(2)Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan hak serta kewajibannya.

(3)Keputusan rapat Dewan Pengawas diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat.

(4)Untuk setiap rapat dibuat risalah rapat.

Pasal 31

Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Menteri dapat mengangkat seorang Sekretaris atas beban Perusahaan.

Pasal 32

(1)Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 terdiri dari unsur-unsur Pejabat Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan dan Departemen/Instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Perusahaan atau Pejabat lain yang diusulkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Keuangan.

(2)Salah seorang anggota Dewan Pengawas diangkat sebagai Ketua Dewan tersebut.

Pasal 33

(1)Anggota Dewan Pengawas diangkat dari tenaga yang mempunyai dedikasi, dipandang cakap, dan mempunyai kemampuan untuk menjalankan kebijaksanaan Menteri mengenai pembinaan dan pengawasan Perusahaan.

(2)Disamping syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) anggota Dewan Pengawas tidak dibenarkan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan atau mengganggu kepentingan Perusahaan.

*22439 Pasal 34

(1)Anggota Dewan Pengawas berjumlah sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua dan anggota Dewan.

(2)Ketua Dewan Pengawas yang mengkoordinasikan anggota Dewan Pengawas bertanggung jawab atas pelaksanaan pengawasan kepada Menteri dan/atau Menteri Keuangan.

Pasal 35

(1)Masa jabatan Ketua dan anggota Dewan Pengawas ialah 3 (tiga) tahun.

(2)Anggota Dewan Pengawas setelah selesai masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diangkat kembali dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal 36

(1)Pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Pengawas dilakukan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan.

(2)Apabila Menteri berpendapat bahwa anggota-anggota atau salah seorang anggota Dewan Pengawas setelah menjabat beberapa waktu ternyata tidak atau tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka Menteri dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden.

Pasal 37

Jika dianggap perlu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya dapat memperoleh bantuan tenaga ahli.

Pasal 38

Anggota Dewan Pengawas tidak dibenarkan merangkap jabatan lain pada badan usaha swasta yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan secara, langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan Perusahaan.

Pasal 39

(1)Pengawasan Intern Perusahaan dilakukan oleh Satuan Pengawasan Intern.

(2)Satuan Pengawasan Intern dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama.

Pasal 40

(1)Satuan Pengawasan Intern bertugas membantu Direktur Utama dalam mengadakan penilaian atas sistem pengendalian pengelolaan (manajemen) dan pelaksanaannya pada Perusahaan dan memberikan saran-saran perbaikannya.

(2)Direksi menggunakan pendapat dan saran Satuan Pengawasan *22440 Intern sebagai bahan untuk melaksanakan penyempurnaan pengelolaan (manajemen) Perusahaan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 41

Dalam pelaksanaan tugasnya, Satuan Pengawasan Intern wajib menjaga kelancaran pelaksanaan tugas satuan organisasi lainnya dalam Perusahaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Pasal 42

Satuan Pengawasan Intern dapat memperoleh bantuan tenaga ahli. Pasal 43

Pimpinan Satuan Pengawasan Intern harus menjalankan pendidikan dan/atau keahlian yang cukup memenuhi persyaratan sebagai pengawas intern, obyektif dan berdedikasi tinggi.

Pasal 44

Kepala Satuan Pengawasan Intern diangkat dan diberhentikan oleh Direksi.

Pasal 45

(1)Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan pemeriksaan akuntasi atas laporan keuangan tahunan Perusahaan. (2)Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga dilakukan oleh Akuntan Publik dengan ketentuan bahwa hasil pemeriksaannya disetujui Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

(3)Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula dilakukan pemeriksaan operasional terhadap Perusahaan.

Pasal 46

Hasil pemeriksaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 disampaikan pula kepada Menteri, Menteri Keuangan, Direksi dan Dewan Pengawas.

Pasal 47

Dengan tidak mengurangi wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal pada Bagian ini, setiap Kepala Unit Organisasi dalam Perusahaan bertanggung jawab melakukan pengawasan melekat dalam lingkungan tugasnya masing-masing.

Bagian Kesebelas

Kepegawaian

Pasal 48

(1)Untuk memperlancar tujuan Perusahaan, perlu diciptakan *22441 adanya ketententuan, ketenangan dan kegairahan kerja dalam Perusahaan dengan memberikan penghargaan yang layak kepada semua Pegawai sesuai dengan prestasinya.

(2)Kedudukan hukum, susunan jabatan, kepangkatan, pemberhentian, gaji, pensiun, dan tunjangan bagi Pegawai diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)Penghasilan-penghasilan lain Pegawai diatur tersendiri oleh Direksi setelah mendapatkan persetujuan Menteri.

Pasal 49

Direksi mengangkat dan memberhentikan Pegawai/pekerja Perusahaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 50

(1)Kepada Pegawai diberikan pensiun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai.

(2)Disamping pensiun kepada Pegawai dapat diberikan jaminan hari tua lainnya yang diatur oleh Direksi setelah mendapat persetujuan Menteri.

Bagian Keduabelas

Tanggungjawab Pegawai dan Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 51

(1)Semua Pegawai termasuk anggota Direksi dalam kedudukan selaku demikian yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat-surat berharga dan barang-barang persediaan, yang karena tindakan-tindakan melawan hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas yang dibebankan kepada mereka dengan langsung atau tidak langsung telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian tersebut.

(2)Ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi terhadap Pegawai negeri berlaku sepenuhnya terhadap Pegawai.

(3)Semua Pegawai yang dibebani tugas penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang dan surat-surat berharga milik Perusahaan dan barang-barang persediaan milik Perusahaan yang disimpan dalam gudang atau tempat penyimpanan yang khusus dan semata-mata digunakan untuk keperluan itu, bertanggung jawab tentang pelaksanaan tugasnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(4)Pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak perlu mengirimkan pertanggungjawaban mengenai cara mengurusnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(5)Tuntutan terhadap Pegawai tersebut dilakukan menurut ketentuan yang ditetapkan bagi bendaharawan yang oleh Badan Pemeriksa Keuangan dibebaskan dari kewajiban pertanggungjawaban mengenai cara pengurusannya. *22442 (6)Semua surat bukti dan surat lainnya bagaimanapun sifatnya, yang termasuk bilangan tata buku dan administrasi Perusahaan, disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri, kecuali jika untuk sementara dipindahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal dianggapnya perlu untuk kepentingan sesuatu pemeriksaan.

(7)Untuk keperluan pemeriksaan yang bertalian dengan penetapan pajak dan pemeriksaan akuntan, pada umumnya surat bukti dan surat lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) untuk sementara dapat dipindahkan ke Departemen Keuangan dan/atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Bagian Ketigabelas

Pelaporan

Pasal 52

(1)Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca perhitungan laba rugi.

(2)Neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dikirimkan kepada Menteri dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Direktur Jenderal dan Dewan Pengawas selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah tahun buku menurut cara yang ditetapkan oleh Menteri. (3)Cara penilaian pos dalam perhitungan tahun harus disebutkan. (4)Jika dalam waktu 3 (tiga) bulan sesudah menerima perhitungan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Menteri tidak diajukan keberatan tertulis, maka perhitungan tahunan itu dianggap telah disahkan.

(5)Perhitungan tahunan disahkan oleh Menteri setelah dinilai bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Badan yang ditunjuknya.

(6)Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) memberi pembebasan kepada Direksi terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam perhitungan tahunan tersebut.

(7)Direktur Utama diwajibkan menyampaikan laporan triwulanan dan laporan berkala lainnya sesuai dengan batas-batas jangka waktu yang ditetapkan beserta laporan lainnya menurut ketentuan Anggaran Dasar ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepada pejabat instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 53

Hasil penilaian atas laporan keuangan triwulanan dan tahunan serta laporan lainnya dari Perusahaan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal disampaikan kepada Menteri dan Menteri Keuangan dalam batas waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan dari Direktur Utama.

*22443 Pasal 54

(1)Laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 disampaikan tepat pada waktunya.

(2)Bentuk laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri.

Bagian Keempatbelas

Penggunaan Laba

Pasal 55

(1)Dari laba bersih yang telah disahkan menurut Pasal 52 disisihkan untuk :

a.Dana Pembangunan Semesta sebesar 55 % (lima puluh lima persen);
b.Cadangan Umum sebesar 20% (dua puluh persen), hingga cadangan umum tersebut mencapai jumlah dua kali modal Perusahaan;
c.Cadangan tujuan sebesar 5 % (lima persen);
d.Sisanya sebesar 20% (dua puluh persen) dipergunakan untuk dana sosial, pendidikan, jasa produksi dan sumbangan dana pensiun yang perincian perbandingan pembagiannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

(2)Apabila jumlah cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b telah tercapai, jumlah dari bagian laba bersih yang diperuntukkan untuk pemupukan cadangan umum tersebut, selanjutnya dapat dipergunakan untuk pemupukan dana bagi pembelanjaan perluasan kapasitas Perusahaan.

(3)Sebelum cadangan umum tersebut mencapai jumlah 2 (dua) kali modal Perusahaan, dengan persetujuan Menteri Keuangan atas usul Menteri, Direksi dapat menggunakan dana cadangan umum tersebut untuk kepentingan pembelanjaan perluasan kapasitas Perusahaan.

(4)Cadangan tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c antara lain dipergunakan untuk pemupukan dana bagi pembelanjaan perluasan kapasitas Perusahaan.

Bagian Kelimabelas

Pembubaran Perusahaan

Pasal 56

(1)Pembubaran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2)Semua kekayaan Perusahaan, setelah diadakan likuidasi menjadi milik Negara.

(3)Pertanggungjawaban likuidasi oleh likuidatur dilakukan kepada Menteri yang memberi pembebasan tanggung jawab tentang pekerjaan yang telah diselesaikan olehnya.

*22444 BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 57

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tangal 12 Pebruari 1990 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Pebruari 1990 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO