Kamis, 05 Juni 2008

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Penjelasan)

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2006

TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

Kehidupan masyarakat Aceh yang demikian terartikulasi dalam perspektif modern dalam bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Tatanan kehidupan yang demikian merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at Islam. Itulah yang menjadi bagian dari latar belakang terbentuknya Mahkamah Syar’iyah yang menjadi salah satu bagian dari anatomi keistimewaan Aceh. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan masyarakat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat. Hal demikian menjadi pertimbangan utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.

Pembentukan Kawasan Sabang dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 adalah rangkaian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh serta modal bagi percepatan pembangunan daerah lain.

Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi.

Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.

Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal demikian adalah sebuah kemutlakan.

Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.

Anatomi ideal dalam kerangka di atas memberikan konsiderasi filosofis, yuridis, dan sosiologis dibentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.

Oleh karena itu, pengaturan dalam qanun yang banyak diamanatkan dalam Undang-Undang ini merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan acuan yang bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengaturan kewenangan luas yang diberikan kepada Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota yang tertuang dalam Undang-Undang ini merupakan wujud kepercayaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.

Adanya ketentuan di dalam Undang-Undang ini mengenai perlunya norma, standar, prosedur, dan urusan yang bersifat strategis nasional yang menjadi kewenangan Pemerintah, bukan dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, melainkan merupakan bentuk pembinaan, fasilitasi, penetapan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat nasional.

Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. Kerja sama pengelolaan sumber daya alam di wilayah Aceh diikuti dengan pengelolaan sumber keuangan secara transparan dan akuntabel dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan. Selanjutnya, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat Aceh dilakukan pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan, dan kemajuan kualitas pendidikan, pemanfaatan dana otonomi khusus yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi nasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, serta konservasi dan standardisasi nasional.

Yang dimaksud dengan kebijakan adalah kewenangan Pemerintah untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat nasional.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan kebijakan administratif dalam ketentuan ini adalah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya, hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang ini seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Pembentukan lembaga dimaksud termasuk pembentukan pusat penanggulangan bencana.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan:

Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pelabuhan dalam ketentuan ini meliputi semua pelabuhan yang dikelola Pemerintah, termasuk pelabuhan penyeberangan di wilayah Aceh, kecuali pada saat diundangkannya Undang-Undang ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara.

Yang dimaksud dengan bandar udara umum dalam ketentuan ini meliputi semua bandar udara umum yang dikelola Pemerintah, termasuk bandar udara umum perintis di wilayah Aceh, kecuali pada saat diundangkannya Undang-Undang ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh yang menjalankan tugas eksekutif dan DPRA yang menjalankan tugas legislatif.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan kemajuan pelaksanaan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan gubernur.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan kemajuan pelaksanaan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan bupati/walikota.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 8 ayat (3).

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang dimaksud dengan instansi pemerintah dalam ketentuan ini adalah perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Ketentuan tentang jumlah anggota KIP Aceh, kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Identitas bukti diri dapat berupa kartu tanda penduduk, paspor Republik Indonesia, surat izin mengemudi, atau identitas kependudukan lain. Pernyataan tertulis harus ditandatangani atau dibubuhi cap jempol dalam hal yang bersangkutan tidak dapat menandatangani.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Menteri yang berwenang dalam ketentuan ini adalah menteri yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan keanggotaan rangkap dalam ketentuan ini, membuka ruang partisipasi anggota partai politik lokal dalam pemilu nasional.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kata menetapkan dalam ketentuan ini dilakukan tidak dengan surat keputusan Gubernur tetapi dengan surat Gubernur kepada Presiden.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 103

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Lihat Penjelasan dalam Pasal 102 ayat (3).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kata menetapkan dalam ketentuan ini dilakukan tidak dengan surat keputusan bupati/walikota tetapi dengan surat bupati/ walikota kepada Gubernur.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 106

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Lihat Penjelasan dalam Pasal 105 ayat (3).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud setiap orang yang beragama Islam dalam ketentuan ini adalah siapapun yang beragama Islam tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan dan status.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah hal atau keadaan tertentu menurut undang-undang termasuk Qanun Aceh tentang jinayah.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 132

Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Cukup jelas.

Pasal 136

Cukup jelas.

Pasal 137

Cukup jelas.

Pasal 138

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan mitra dalam ketentuan ini adalah kebersamaan dan kesejajaran dalam pemberian pertimbangan yang berkaitan dengan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.

Ayat (4)

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya MPU memperoleh dukungan keuangan dari APBA/APBK dan sumber lain yang sah menurut hukum.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Cukup jelas.

Pasal 143

Cukup jelas.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan frasa yang peruntukannya digunakan untuk kepentingan agama dalam ketentuan ini adalah seperti tanah wakaf yang digunakan untuk antara lain masjid, madrasah, atau tanah yang digunakan untuk tempat ibadah agama lain.

Pasal 146

Cukup jelas.

Pasal 147

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Cukup jelas.

Pasal 150

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan frasa melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam ketentuan ini adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya berbatasan dengan wilayah Aceh.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kewenangan dalam menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran adalah menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan penyiaran untuk tidak bertentangan dengan nilai Islam.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kontrak kerja dalam ketentuan ini antara lain memuat besarnya dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi serta jangka waktu jaminan pelaksanaan reklamasi pascatambang.

Pasal 158

Cukup jelas.

Pasal 159

Cukup jelas.

Pasal 160

Ayat (1)

Ketentuan tentang darat dan laut adalah termasuk yang ada di dalamnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah hal-hal yang telah disepakati bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh, antara lain penunjukan atau pembentukan badan pelaksana, tata cara negosiasi, membuat perjanjian kerja sama, penentuan target jumlah produksi minyak dan gas bumi, produksi yang dijual (lifting) dan pengembalian biaya produksi (cost recovery), bagi hasil, pengawasan, pengembangan masyarakat, kewajiban reklamasi, dan penunjukan auditor independen.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Cukup jelas.

Pasal 165

Cukup jelas.

Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Cukup jelas.

Pasal 169

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan frasa transportasi dan maritim dalam ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menjadikan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang sebagai pelabuhan utama (hub port) yang fungsinya sebagai pelabuhan impor-ekspor (internasional) dan juga sebagai pelabuhan alih kapal (transhipment) nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 170

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kewenangan lain dalam ketentuan ini antara lain penataan ruang, kerja sama pengelolaan usaha baik dalam maupun luar negeri.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pendelegasian kewenangan adalah kewenangan Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dan Pemerintah Kota Sabang yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. Dalam hal pelaksanaan pendelegasian tersebut menghasilkan penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBA/APBK.

Ayat (3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimaksudkan dalam hal Pemerintah, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dan Pemerintah Kota Sabang belum melimpahkan dan/atau mendelegasikan kewenangan dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka Badan Pengusahaan Kawasan Sabang berhak melaksanakan kewenangan setelah mendapat persetujuan Dewan Kawasan Sabang dan perizinan yang telah dikeluarkan dinyatakan tetap berlaku serta Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pelimpahan kewenangan dan qanun yang mengatur tentang pendelegasian kewenangan tidak berlaku surut.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 171

Cukup jelas.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Ayat (1)

Kerja sama yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi semua kewenangan pengelolaan yang pada saat Undang-Undang ini diundangkan belum diserahkan kepada Pemerintah Aceh dan/atau kabupaten/kota. Ketentuan ini tidak mencakup kewenangan mengenai keselamatan penerbangan dan pelayaran antara lain navigasi penerbangan dan pemanduan kapal dan/atau parkir pesawat.

Semua kewenangan pengelolaan yang telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang meliputi parkir kendaraan umum, pemasangan iklan dan retribusi kegiatan usaha di terminal tidak dikerjasamakan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 174

Cukup jelas.

Pasal 175

Cukup jelas.

Pasal 176

Cukup jelas.

Pasal 177

Cukup jelas.

Pasal 178

Cukup jelas.

Pasal 179

Cukup jelas.

Pasal 180

Cukup jelas.

Pasal 181

Cukup jelas.

Pasal 182

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dana 30% (tiga puluh persen) dalam ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian bea siswa baik ke dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan skala prioritas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 183

Ayat (1)

Pembiayaan pendanaan pendidikan dalam ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian bea siswa baik ke dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan skala prioritas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 185

Cukup jelas.

Pasal 186

Cukup jelas.

Pasal 187

Cukup jelas.

Pasal 188

Cukup jelas.

Pasal 189

Cukup jelas.

Pasal 190

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini antara lain terjadinya krisis keuangan daerah, krisis moneter nasional, krisis solvabilitas, dan pemekaran daerah.

Pasal 191

Cukup jelas.

Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pertanggungjawaban pengelolaan dana pendidikan yang dibuat dalam bagian tersendiri merupakan bagian dari pertanggungjawaban APBA/APBK.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 194

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan auditor independen adalah tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.

Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 201

Cukup jelas.

Pasal 202

Cukup jelas.

Pasal 203

Cukup jelas.

Pasal 204

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kebijakan yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur adalah kebijakan yang mencakup aspek ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Ayat (4)

Yang dipertanggungjawabkan dalam ketentuan ini adalah sepanjang menyangkut pelaksanaan tugas kepolisian yang memperoleh dukungan APBA/APBK dan kegiatan lainnya di bidang ketentraman dan ketertiban yang telah dikoordinasikan dengan Gubernur.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 205

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan satu kali lagi dalam ketentuan ini merupakan usulan yang terakhir.

Ayat (5)

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh memberhentikan Kepala Kepolisian Aceh tanpa meminta persetujuan Gubernur Aceh dan dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat memberi pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberhentikan Kepala Kepolisian Aceh.

Pasal 206

Yang dimaksud keadaan mendesak dalam ketentuan ini adalah keadaan yang menyebabkan Kepala Kepolisian Aceh tidak dapat menjalankan tugasnya dalam menjamin keamanan dan ketertiban, melindungi dan melayani masyarakat.

Pasal 207

Cukup jelas.

Pasal 208

Cukup jelas.

Pasal 209

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Persetujuan Gubernur dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari sejak surat permintaan persetujuan diterima.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Jaksa Agung Republik Indonesia berwenang penuh memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh tanpa meminta persetujuan Gubernur Aceh dan dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat memberi pertimbangan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.

Pasal 210

Cukup jelas.

Pasal 211

Cukup jelas.

Pasal 212

Cukup jelas.

Pasal 213

Ayat (1)

Yang dimaksud setiap orang adalah seseorang, orang perorangan, sekelompok orang, atau badan hukum.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud harta agama dalam ketentuan ini adalah harta berupa tanah yang digunakan untuk kepentingan agama.

Pasal 214

Cukup jelas.

Pasal 215

Cukup jelas.

Pasal 216

Cukup jelas.

Pasal 217

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pendidikan dasar dan menengah dalam ketentuan ini meliputi juga pendidikan bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu dan anak terlantar.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pendidikan layanan khusus dalam ketentuan ini adalah pendidikan yang diperuntukkan penduduk Aceh yang berada di daerah terpencil atau terbelakang dengan standar dan kurikulum yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan pendidikan khusus dalam ketentuan ini adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk Aceh kepada pemilik kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, serta diberikan yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 218

Ayat (1)

Yang dimaksud pendidikan formal termasuk madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah. Khusus mengenai kurikulum pendidikan dayah diatur lebih lanjut dengan qanun.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 219

Cukup jelas.

Pasal 220

Cukup jelas.

Pasal 221

Ayat (1)

Ketentuan ini bermaksud juga membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman budaya dan seni daerah dalam upaya mempertahankan jati diri dan membentuk kepribadian masyarakat Aceh.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 222

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan memelihara benda-benda bersejarah dalam ketentuan ini termasuk tanda bekas tsunami.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 223

Cukup jelas.

Pasal 224

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Standar pelayanan minimal dalam ketentuan ini meliputi standar manajemen, administrasi dan informasi, standar pelayanan dan obat, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, serta standar kualifikasi dan kompetensi tenaga medis.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 225

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan lembaga sosial kemasyarakatan dalam ketentuan ini meliputi lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 226

Ayat (1)

Lihat penjelasan Pasal 225 ayat (2).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 227

Cukup jelas.

Pasal 228

Cukup jelas.

Pasal 229

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 230

Lihat penjelasan Pasal 229 ayat (3).

Pasal 231

Cukup jelas.

Pasal 232

Cukup jelas.

Pasal 233

Cukup jelas.

Pasal 234

Cukup jelas.

Pasal 235

Cukup jelas.

Pasal 236

Cukup jelas.

Pasal 237

Cukup jelas.

Pasal 238

Cukup jelas.

Pasal 239

Cukup jelas.

Pasal 240

Cukup jelas.

Pasal 241

Cukup jelas.

Pasal 242

Cukup jelas.

Pasal 243

Cukup jelas.

Pasal 244

Cukup jelas.

Pasal 245

Cukup jelas.

Pasal 246

Cukup jelas.

Pasal 247

Cukup jelas.

Pasal 248

Cukup jelas.

Pasal 249

Cukup jelas.

Pasal 250

Cukup jelas.

Pasal 251

Cukup jelas.

Pasal 252

Cukup jelas.

Pasal 253

Cukup jelas.

Pasal 254

Cukup jelas.

Pasal 255

Cukup jelas.

Pasal 256

Cukup jelas.

Pasal 257

Cukup jelas.

Pasal 258

Cukup jelas.

Pasal 259

Cukup jelas.

Pasal 260

Cukup jelas.

Pasal 261

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana telah diubah dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004.

Pasal 262

Cukup jelas.

Pasal 263

Cukup jelas.

Pasal 264

Cukup jelas.

Pasal 265

Cukup jelas.

Pasal 266

Cukup jelas.

Pasal 267

Cukup jelas.

Pasal 268

Cukup jelas.

Pasal 269

Cukup jelas.

Pasal 270

Cukup jelas.

Pasal 271

Cukup jelas.

Pasal 272

Cukup jelas.

Pasal 273

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4633