Jumat, 23 Mei 2008

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN

UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita2 perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945;

b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya secara sungguh2 dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan
asas2 penyelenggaraan negara.

c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan
pihak lain yang dapat merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

M e m u t u s k a n :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1


Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati
asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.

3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

4. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.

5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

6. Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut
Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa
kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyeienggara Negara untuk
meneegah praktek korupsi, kolusi. dan nepotisme.

BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2


Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3


Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraen Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas; dan
7. Asas Akuntabilitas.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4


Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk :

1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya,
ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan
wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak2 lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 5

Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku
jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga,
kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 6

Hak dan kewajiban Penyelenggars Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5 dilksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Deser 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7


(1) Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma2
kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpegang teguh pada asas2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8


(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan
tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang
bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan
berpegang teguh pada asas2 umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.

Pasal 9

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam
bentuk :
a. hak mencari. memperoleh. dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan
negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara
Negara;
C. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi; dan saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menaati norma agama dan
norma sosial lainnya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10


Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi. dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Perneriksa.

Pasal 11

Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan lembaga
independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 12

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi
Pemeriksa dapat melakukan kerja sama dengan lembaga2 terkait baik di dalam
negeri maupun di luar negeri.

Pasal 13

(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 seorang calon anggota serendah-rendahnya berumur 40
(empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh lima)
tahun.
(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; dan
C. tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun
dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1
(satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian
anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-
kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat)
Subkomisi.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para anggota
berdasarkan musyawarah mufakat.

(3) Empat Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a. Subkomisi Eksekutif;
b. Subkomisi Legislatif:
c. Subkomisi Yudikatif; dan
d. Subkomisi Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.

(4) Masing2 Anggota Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam (2) ayat (3) diangkat
sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh Sekretariat
Jenderal.

(6) Komisi Perneriksa berkedudukan di ibu kota negara Republik
Indonesia.

(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.

(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi
Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya, yang
berbunyi sbb. : )
"Saya bersumpah atau berianji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas
dan wewenang saya ini dengan sungguh2, jujur, berani, adil, tidak membeda-
bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari Penyelenggara Negara
yang saya periksa, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, masyarakat, bangsa, dan negara".

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan
Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia".

Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan di hadapan
Presiden.

Pasal 17

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.

(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah :
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara
Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
C. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme terhadap Penyelenggara Negara ybs.;
d. mencari dan memperoleh bukti2, menghadirkan saksi2 untuk penyelidikan
Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme
atau meminta dokumen2 dari pihak2 yang terkait dengan penyelidikan harta
kekayaan Penyelenggara Negara ybs.;
e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau
seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari
korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara
Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tsb sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah ybs menjabat.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksan kekayaan penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 18

(1) Hasil perneriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.
(2) Khusus hasil perneriksaan atas kekayaan Penyelenggara negara yang dilakukan
oleh Subkomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil
pemeriksaan tsb disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.

Pasal 19

(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa
dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
S A N K S I
Pasal 20


(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angKa 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi
perdata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21

Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan
kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 22

Setiap Penyeienggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan
nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23


Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini mulai
berlaku, setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan harta
kekayaannya dan bersedia dilakukan perneriksaan terhadap kekayannya sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24


Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembara Negara R.I.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA RI
ttd.

PROF. DR. H. MULADI S.H.


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 75




PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN
BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

U M U M


Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita
perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ‹alah semangat para Penyelenggara
Negara dan pernimpin pemerintahan.

Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara Negara tidak
dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan
negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya
pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakat
pun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang
efektif terhadap penyelenggaraan negara.

Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya
berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter,
antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan
kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan
nepotisme.

Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan
oleh Penyeienggara Negara, antar-Penyelenggara Negara, melainkan juga
Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para
pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.

Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan
reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh Penyelenggara
Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan
dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara
Negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya, yang dilaksanakan secara
efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana
diamanatkan oieh Ketetapan Majelis Perrnusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.

Undang-undang ini memuat tentang kegentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang ini merupakan bagian atau subsistem dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undang-undang ini adalah para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara, dan atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyeienggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyeienggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Pengaturan tentang peren serta masyarakat dalam undangundang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap mnenaati rambu-rambu hukum yang berlaku.

Agar undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduqa tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau kemandirian dari lembaga ini.

Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam undang-undang ini berlaku bagi Penyelenggara Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya prefentif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya
ketentuan tentang asas-asas urnum penyelenggaraan negara, hak, dan kewajiban Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan memperkuat norma kelembagaan, moralitas individu dan sosial.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2
Angka 1 s/d Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Yang dimaksud dengan "Gubernur" adalah wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

Angka 5
Yang dimaksud dengan "Hakim" dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua
tingkatan Pengadilan.

Angka 6
Yang dimaksud dengan "Pejabat Negara yang lain" dalam ketentuan ini misalnya
Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan
Bupati/Walikotarnadya.

Angka 7
Yang dimaksud dengan "Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah
pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara
rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi :
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Pasal 3
Angka 1
Yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

Angka 2
Yang dimaksud dengan "Asas Tertib Penyelenggaraan Negara" adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenqgara Negara.

Angka 3
Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umurn" adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Angka 4
Yang dimaksud dengan "Asas Keterbukaan" adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskrirninatif tentang penyeienggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.

Angka 5
Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

Angka 6
Yang dimaksud dengan "Asas Profesionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang beriandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Angka 7
Yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 4

Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam pasal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oieh anggota Tentara Nasional Indonesia
dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka terhadap pejabat tersebut
berlaku ketentuan dalam undang-undang ini.

Angka 1
Cukup jelas Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja menghalang-halangi dalam pendataan
kekayaannya, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Angka 3
Cukup jelas Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara.yang didata kekayaannya oleh komisi Pemeriksa dengan
sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, maka dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 5
cukup jelas

Angka 6
cukup jelas

Angka 7
cukup jelas

Pasal 6
yang dimaksud dengan "hak dan kewajiban Penyelenggara Negara dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan UUD 1945" adalah hak dan kewajiban yang dilaksanakan
dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang lubur dan memegang teguh
ciri-ciri morai rakyat vang luhur.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, adalah peran
aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan
dengan menaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu kewajiban bagi
masyarakat yang oieh undang-undang ini diminta hadir dalam proses
penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi, atau saksi ahli.
Apabila oieh pihak yang berwenang dipanggif sebagai saksi pelapor, saksi,
atau saksi ahli dengan sengaia tidak hadir, maka dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan negara, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku vang memberikan batasan
untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain yang
dijamin oleh Undang-undang tentang Pos dan Undang-undang tentang Perbankan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Yang dimaksud dengan lembaga independen" dalam pasal ini adalah lembaga yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lainnya.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini, harus berjumlah
ganjil. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengambil keputusan dengan suara
terbanyak apabila tidak dapat dicapai pengambilan keputusan dengan
musyawarah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil perneriksaan yang dapat
dipertanggungiawabkan. anggota sub-subkornisi harus berintegritas tinggi,
memiliki keahlian, dan profesiopal di bidangnya.

Dalam hal terdapat dugaan adanya keterlibatan pihak, lain seperti keluarga,
kroni, dan para pengusaha dalam praktek korupsi, kolusi, atau nepotisme,
maka terhadap mereka dikenakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan administrasi
untuk kelancaran pelaksanaan tugas Komisi Pemeriksa.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk membantu tugas
Komisi Pemeriksa di daerah, Keanggotaan Komisi Pemeriksa daerah perlu
terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2) Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi Komisi
Pemeriksa di daerah.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan
perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pernmeriksa selaku
pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan
Kejaksaan. Fungsi perneriksaan yang dilakukan oieh Komisi Pemeriksa sebelum
seseorang diangkat selaku Pejabat Negara adalah bersifat pendataan, sedangkan
permeriksaan yang dilakukan
sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi
untuk menentukan ada atau tidaknya petuniuk tentang
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan "petunjuk" dalam pasal ini adalah fakta-fakta atau data
yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" adalah Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3851

Tidak ada komentar: