Rabu, 23 April 2008

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan

PERATURAN DAERAH-DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 7 TAHUN 1998

TENTANG

PENYELENGGRAAN HIBURAN DAN PAJAK HIBURAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Menimbang :

  1. bahwa berdasrkan peraturan Peratuan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 ditetapkan ketentuan tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan;
  2. bahwa untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna pemungutan Pajak Hiburan di Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ketentuan dalam Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu dilakukan penyesuaian dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b, perlu menetapkan ketentuan tentang Penyelenggaraan Hiburan dan pajak Daerah.

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran negara Nomor 3037);
  2. Undang-Undang nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran negara Nomor 3427);
  3. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 84, Tambahan Lembaran negara Nomor 3430);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Bdan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran negara Nomor 3684);
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran negara Nomor 3037);
  6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat paksa (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran negara Nomor 3686);
  7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran negara Nomor 3691);
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1993 tentang Pedoman Klasemen Bioskop dan Tarif Pajak atas Pertunjukan dan Keramaian Umum untuk Pertunjukan Film di Bioskop;
  9. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan;
  10. Keputusan menteri dalam Negeri Nomor 171 Tahun 1997 tentang Prosedur Pengesahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 172 Tahun 1997 tentang Kriteria Wajib Pajak yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan dan Tata Cara Pembukuan;
  12. Keputusan Menteri Dalam Negeri 173 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pajak Daerah;
  13. Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor 176 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak Derah;
  14. Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyidikan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  15. Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 tahun 194 tentang Organisasi dan tata Cara Dinas Pariwisata Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  16. Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 9 Tahun 1995 tentang Organisasi Tata Kerja Dinas pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  17. Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1997 tentang Usaha Pariwisata di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PENYELENGGARAAN HIBURAN DAN PAJAK HIBURAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Gubernur Kepala Daerah adalah Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  6. Dinas Pariwisata adalah dinas Dinas Pariwisata Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  7. Kantor Kas Daerah adalah Kantor Kas Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  8. Bank adalah Bank Pembangunan Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Bank DKI atau Bank lain yang ditunjuk;
  9. Badan adalah suatu bentuk usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;
  10. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan,dan atau keramaian, dengan nama dan bentuk apapun, yang di tonton dan dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga;
  11. Penyelenggaran hiburan adalah orang pribadi atau badan atau badan yang bertindak, baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain nama pihak lain yang menjadi tanggungannya menyelenggarakan suatu hiburan;
  12. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri sesuatu hiburan untuk melihat dan dan atau mendengar atau menikmatinya dan atau mempergunakan fasilitas yang telah disediakan yang disediakan oleh penyelenggara hiburan kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain) dan tugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan;
  13. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apapun untuk harga pengganti yang diminta Wajib pajak sebagai penukaran atas pemakaian atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apapun juga yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggraan hiburan;
  14. Tanda masuk adalah semua tanda atau alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas atau menikmati hiburan;
  15. Harga tanda masuk yang selanjutnya disingkat HTM adalah nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung;
  16. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut Peraturan Daerah ini;
  17. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah;
  18. Surat ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang;
  19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar;
  20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
  21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
  22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SPKPDN adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
  23. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda;
  24. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau STPD;
  25. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ke tiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
  26. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
  27. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau hutang yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;
  28. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini;
  29. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II
PERIZINAN

Pasal 2

  1. Setiap penyelengara Hiburan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus dengan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.
  2. Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, penyelenggra hiburan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Gubernur Kepala Daerah.
  3. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini sekurang-kurangnya memuat :
  1. Nama Identitas Penanggung Jawab Penyelenggara;
  2. Alamat tempat dan atau denah lokasi yang dimohon;
  3. Penanggung jawab pembayaran pajak;
  4. Bukti pelunasan pajak atau jaminan pajak;
  5. Keterangan jenis hiburan yang akan diselenggararkan.
  1. Izin penyelenggara hiburan insidental dapat diberikan setelah membayar uang jaminan pajak hiburan.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain kecuali dengan persetujuan tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 3

  1. Permohonan izin penyelenggara hiburan insedental harus diajukan selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum tanggal dimulai atau diselenggarakannya suatu hiburan.
  2. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat di tolak oleh Gubernur Kepala Daerah apabila :
  1. pemohon atau kuasanya dan atau penanggung jawab pajak masih menunggak pajak berdasarkan Peraturan Daerah ini;
  2. permohonan izin diajukan terlambat dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini;
  3. permohonan izin tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
  1. Persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan izin penyelenggaraan hiburan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 4

  1. Izin meyelenggarakan hiburan hanya diberikan kepada penyelenggara hiburan untuk setiap jenis hiburan pada suatu lokasi atau satu tempat tertentu.
  2. Setiap penyelenggaraan hiburan berkewajiban memasang maklumat pajak hiburan di tempat yang mudah dilihat oleh pengunjung.
  3. Penyelenggara Hiburan menggunakan tanda masuk berkewajiban :
  1. memasang pengumuman yang memuat daftar harga tanda masuk untuk setiap kelas di tempat pembayaran tanda masuk;
  2. menjual tanda masuk yang sudah dilegalisir secara berurutan dimuali dari nomor urut kecil, kecuali tanda masuk yang merupakan lembaran lepas;
  3. menyobek tanda masuk yang di pergunakan pada saat penonton atau pengunjung memasuki tempat hiburan sehingga tidak dapat digunakan lagi;
  4. menyimpan bagian tanda masuk yang merupakan tanda pemeriksaan selama 14 hari setelah tanda masuk tersebut digunakan;
  5. membuat laporan tentang keadaan atau penjualan tanda masuk kepada Dinas Pendapatan Daerah.
  1. Penyelenggara Hiburan di larang :
  1. mengadakan, menyediakan, memberi, menjual dan menyebarkan tanda masuk yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan daerah ini.
  2. Memberikan tempat atau kelas pada penonton atau pengunjung selain dari tempat atau kelas yang tercantum dalam tanda masuk;
  3. Mengubah tanda masuk yang telah disahkan menurut ketentuan Peraturan Daerah ini tanpa izin Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk;
  4. Memberikan atau menjual tanda masuk yang telah di pakai kepada penonton atau pengunjung;
  5. Memungut dan menerima pembayaran tanda masuk melebihi harga yang di tetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
  1. Penyelenggara Hiburan, dan yang ketempatan diselenggarakannya hiburan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan yang terjadi di tempat hiburan yang bersangkutan.
  2. Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang mencabut izin dan atau menghentikan penyelenggaraan hiburan yang sedang berlangsung apabila ;
  1. peyelenggara hiburan tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini;
  2. penyelenggara hiburan tidak atau kurang membayar pajak hiburan yang terutang;
  3. penyelenggara hiburan tanpa izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk;
  4. penyelenggaraan hiburan tidak sesuai dengan izin yang dikeluarakan;
  5. penyelenggara hiburan tidak mematuhi peraturan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
  1. Terhadap penyelenggara hiburan tanpa izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1), penyelenggaraan hiburan dapat dihentikan pajaknya ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b.

BAB III
TANDA MASUK PENGGOLONGAN BIOSKOP

Pasal 5

  1. Gubernur Kepala Daerah menetapkan jenis-jenis hiburan yang menggunakan tanda masuk.
  2. Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini harus disahkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
  3. Persyaratan, pengesahan dan penggunaan Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini di tetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 6

  1. Gubernur Kepala Daerah berwenang menetapkan penggolongan bioskop.
  2. Persyaratan dan tata cara penggolongan bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 7

  1. Gubernur Kepala Daerah Berwenang menetapkan HTM untuk masing-masing golongan bioskop dan jenis-jenis hiburan lainnya.
  2. Tata Cara perhitungan dan besarnya HTM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB IV
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK PAJAK

Pasal 8

Dengan nama pajak hiburan di pungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.

Pasal 9

Objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan, antara lain :

  1. pertunjukan film;
  2. pertunjukan kesenian;
  3. pertunjukan seni dan tari;
  4. penyelenggaraan diskotek, musik hidup, karoke, klab malam, ruangan musik, (musik room), balai gita (singing hall), pub, ruangan selesa musik (musik lounge), klub eksekutif (executif club) dan sejenisnya;
  5. permainan biliard dan sejenisnya;
  6. permainan ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya;
  7. panti pijat, mandi uap;
  8. pertandingan olah raga;
  9. penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur (ice skate), kolam pemancingan, pasar malam, sirkus, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya;
  10. pertunjukan dan keramaian umum lainnya.

Pasal 10

  1. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan.
  2. Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menyelenggarakan hiburan.

BAB V
DASAR PENGENAAN TARIF DAN PERHITUNGAN PAJAK

Pasal 11

Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.

Pasal 12

  1. Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop adalah :
  1. bioskop golongan A II Utama 25 %;
  2. bioskop golongan A II 20 %;
  3. bioskop golongan A I 17,5 %;
  4. bioskop golongan B II 15 %;
  5. bioskop golongan B I 5 %;
  6. bioskop golongan C 5 %;
  1. Besarnya tarif pajak untuk jenis hiburan selain pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini di tetapkan sebagai berikut :
  1. Pertunjukan keseniaan 10 %;
  2. Pertunjukan pagelaran musik dan tari 10 %;
  3. Penyelenggaraan diskotek, musik hidup, karoke, klab malam, ruang musik (Musik room), balai gita, (singing hall), pub, ruangan selesa musik (musik lounge), klub eksekutif (executif club) dan sejenisnya 30 %;
  4. Permainan biliard dan sejenisnya 10 %;
  5. Permainan ketangkasan, mesin keping dan sejenisnya 30 %;
  6. Penyelenggaraan panti pijat, mandi uap 30 %;
  7. Pertandingan olah raga 10 %;
  8. Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur (ice skate), kolam pemancingan, pasar malam, sirkus, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya 10 %;
  9. Penyelengaaraan hiburan insidential lainnya 15 %;
  10. Penyeleggarakan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan Harga Tanda Masuk tarifnya 35 %;
  11. Selain dari hiburan sebagaimana dimaksud pada huruf a s.d. i pasal ini, tarifnya 15 %;

Pasal 13

Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 12.

BAB VI
PENGUKUHAN WAJIB PAJAK

Pasal 14

  1. Wajib pajak, kecuali Wajib pajak Hiburan Insidental, wajib melaporkan usahanya kepada Dinas Pendapatan Daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah izin penyelenggaraan hiburan diperoleh untuk dilakukan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.
  2. Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Kepala Dinas Pendapatan Daerah menetapkan secara jabatan.
  3. Tata cara pelaporan dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB VII
MASA PAJAK DAN SAAT TERUTANG PAJAK

Pasal 15

Masa pajak adalah jangka waktu yang lama sama dengan satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain oleh Pejabat.

Pasal 16

  1. Pajak yang terutang dalam masa pajak terjadi pada saat Penyelenggaraan Hiburan.
  2. Dalam hal pembayaran diterima Penyelenggara Hiburan sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran.

BAB VIII
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 17

Wilayah pemungutan adalah Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

BAB XI
SURAT PEMBERITAHUN PAJAK DAERAH

Pasal 18

  1. setiap Wajib Pajak yang pajaknya dibayar sendiri wajib mengisi SPTPD.
  2. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangai oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
  3. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
  4. Wajib Pajak menggunakan tanda masuk untuk jenis pertunjukan film dan insidental harus melaporkan realisasi penggunaan tanda masuk.
  5. Keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan serta tata cara penyampaian SPTPD di tetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
  6. SPPD dianggap tidak dimasukan, Jika Wajib Pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam pada ayat (1) sampai dengan (4) pasal ini.

BAB X
TATA CARA PERHITUNGAN DAN PENETAPAN PAJAK

Pasal 19

  1. setiap wajib pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
  2. Berdasarkan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (4), Gubernur Kepala Daerah menetapkan Pajak terutang dengan menerbitkan SKPD.

Pasal 20

  1. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur Kepala Daerah menerbitkan :
  1. SKPDKB apabila :
    1. berdasarkan hasil pemerikasaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang di bayar;
    2. SPTPD tidak disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis;
    3. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, wajib pajak terutang dihitung secara jabatan.
  1. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
  2. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar atau pajak tidak terutang.
  1. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
  2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
  3. Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, tidak dikenakan apabila Wajib pajak melaporkan diri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
  4. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrsi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 21

  1. Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SPTPD apabila :
  1. Pajak Hiburan dalam tahun berjalan tidak atau kurang di bayar;
  2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
  3. Wajib pajak di kenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
  1. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, di tambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutangnya pajak.
  2. SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan ditagih melalui STPD.

Pasal 22

Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian laporan realisasi SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan STPD ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XI
TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN
DAN PENAGIHAN

Pasal 23

Pemungutan Pajak Hiburan tidak boleh diborongkan.

Pasal 24

  1. Setiap penyelenggara hiburan yang menggunakan Tanda Masuk berupa pertunjukan film diwajibkan melakukan pembayaran dimuka (PDM) sedangkan untuk pembayaran hiburan insedental diwajibkan membayar uang jaminan pajak hiburan.
  2. Tata cara perhitungan pembayaran dimuka (PDM) dan uang jaminan beserta pengembaliannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 25

  1. Pajak terutang dilunasi sembat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dari masa pajak yang terutang setelah berakhirnya Masa Pajak.
  2. Terhadap penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk, pajak terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 hari setelah berakhirnya penyelenggaraan hiburan di terbitkannya SKPD.
  3. Pembayaran dilakukan di Kantor Kas Daerah, Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah.
  4. Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pada hari libur maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
  5. Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan Wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan.

Pasal 26

  1. SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
  2. Tata cara pembayaran angsuran, dan penundaan pembayaran pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 27

  1. Jika hiburan diselenggarakan atas nama atau tanggungan beberapa penyelenggara atau oleh satu atau beberapa badan maka masing-masing anggota penyelenggaraan atau pengurus badan di anggap Wajib Pajak dan bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajaknya
  2. Hotel atau tempat-tempat lain yang ketetapan diselenggarakan hiburan ikut bertanggung jawab terhadap pembayaran pajak hiburan terutang atas penyelenggaraan hiburan pada tempat tersebut.

Pasal 28

  1. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 25 ayat (2) pada pasal 26 ayat (1), jumlah pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding dapat ditagih seketika dan sekaligus apabila :
  1. Wajib Pajak akan meninggalkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak akan menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau kegiatan yang dilakukannya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ataupun memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimiliki atau dikuasainya;
  3. pembubaran badan atau niat membubarkannya dan pernyataan pailit;
  4. terjadi penyitaan atas barang bergerak atau tak gerak.

Pasal 29

  1. Pajak terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
  2. Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

  1. Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut peraturan Daerah ini, Wajib Pajak dapat diwakili :
  1. Badan oleh pengurus atau kuasanya;
  2. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh pribadi atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan (likuidasi);
  3. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya;
  4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pegampuan oleh wali pengampu.
  1. Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini bertanggung jawab secara pribadi, dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.
  2. Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut peraturan Daerah ini.

BAB XII
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 31

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
  1. SKPD;
  2. SKPDKB;
  3. SKPDKBT;
  4. SKPDLB;
  5. SKPDN;
  1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas, sekaligus menyebutkan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak.
  2. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
  3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
  4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan ayat (4) pasal ini tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
  5. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 32

  1. Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi suatu keputusan atas keberatan yang diajukan.
  2. Keputusan Gubernur Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, menambah besarnya pajak yang terutang.
  3. Apabila jangka waktu yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini telah lewat dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberi keputusan, Keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 33

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
  3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 34

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

BAB XIII
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,
DAN PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 35

  1. Gubernur Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPD atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini.
  2. Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat :
  1. mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda,dan kenaikan pajak yang terutang menurut Peraturan Daerah ini, dalam hal sanksi tersebut dikenakan kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
  1. Tata Cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XIV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 36

  1. Atas kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur Kepala Daerah secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :
  1. Nama dan Alamat Wajib Pajak;
  2. Masa Pajak;
  3. Besarnya kelebihan pembayaran pajak;
  4. Alasan yang jelas.
  1. Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus memberikan keputusan.
  2. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini telah dilampaui dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama satu bulan.
  3. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak Daerah lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak daerah tersebut.
  4. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
  5. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan, Gubernur Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

Pasal 37

  1. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah dengan melampirkan :
  1. SKPD atau SKPDKB, atau SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN untuk Masa Pajak yang bersangkutan;
  2. Perhitungan pajak yang seharusnya dibayar;
  3. Bukti pembayaran pajak.
  1. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah akhir tahun pajak.
  2. Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk segera mengadakan penelitian atau pemeriksaan terhadap :
  1. kebenaran kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini;
  2. pemenuhan kewajiban pembayaran pajak Daerah lainnya.

BAB XV
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 38

  1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib pajak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 Peraturan Daerah ini.
  2. Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tertangguh, apabila :
  1. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa atau :
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.

BAB XVI
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Pasal 39

  1. Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 dapat dilakukan penghapusan.
  2. Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, berdasarkan permohonan pengahapusan piutang pajak dari Dinas Pendapatan Daerah.
  3. Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, sekurang-kurangnya:
  1. nama dan alamat Wajib Pajak;
  2. jumlah piutang pajak;
  3. tahun pajak.
  1. Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, harus melampirkan:
  1. bukti salinan/tindasan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, DAN STPD;
  2. Surat Keterangan dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah bahwa piutang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi;
  3. daftar piutang pajak yang tidak tertagih.
  1. Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, Gubernur Kepala Daerah menetapkan penghapusan piutang pajak, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari tim yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah.
  2. Pelaksanaan lebih lanjut penghapusan piutang pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XVIII
PEMBEBASAN DAN PENGERINGAN PAJAK

Pasal 40

  1. Wajib Pajak dengan peredaran usaha Rp 300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) ke atas wajib menyelenggarakan pembukuan, yang menyajikan keterangan yang cukup untuk menghitung harga perolehan, harga jual dan harga penggantian atas penyelenggaraan hiburan.
  2. Bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan membuat pembukuan, tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha secara teratur, yang menjadi dasar pengenaan pajak.
  3. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini diselenggarakan dengan sebaik-baiknya yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya.
  4. Pembukuan atau pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan dari Wajib Pajak harus disimpan selama 5 tahun.
  5. Tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 41

  1. Gubernur Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajak Daerah, dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah ini.
  2. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan serta harus memperlihatkan kepada wajib Pajak yang diperiksa.
  3. Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya wajib :
  1. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan pajak terutang;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
  3. memberi kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname), stok tanda masuk/ticket, karcis yang ada pada penyelenggara;
  4. memberikan keterangan yang diperlukan secara benar lengkap dan jelas;
  5. memenuhi ketentuan lainnya yang ditetapkan Gubernur Kepala Daerah.
  1. Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a pasal ini maka pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
  2. Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta memberikan keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka kewajiban untuk merahasiakan ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.

Pasal 42

Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, apabila :

  1. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (3) Peraturan Daerah ini;
  2. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.

Pasal 43

Tata cara pemeriksaan pembukuan, penetapan pajak secara jabatan dan penyegelan dalam rangka pemeriksaan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XVIII
PEMBEBASAN DAN KERINGANAN PAJAK

Pasal 44

Di bebaskan dari pengenaan pajak adalah :

  1. penyelenggaraan hiburan panti pijat yang seluruh pemijatnya tunanetra;
  2. jenis pertunjukan atau permaian yang diselenggarakan oleh Pengusaha ekonomi lemah yang penyelenggaranya dilakukan secara berkeliling dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan pembayaran yang diminta dari penonton secara sukarela;
  3. segala jenis hiburan yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang seluruh biaya penyelenggaraannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  4. semua jenis hiburan yang semata-mata yang bertujuan untuk penerangan dari Pemerintah;
  5. pertunjukan keramaian dan permainan yang semata-mata bersifat hiburan tradisional yang menurut pertimbangan Gubernur Kepala Daerah dapat dibebaskan;
  6. penyelenggara hiburan yang bersifat sosial dan atau keagamaan yang bertujuan tidak mencari keuntungan.

Pasal 45

  1. Dalam rangka Pembinaan dan pengembangan olahraga, kesenian Daerah dan Perfilman Nasional, Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan keringanan setinggi-tingginya 50% dari jumlah pajak terutang.
  2. Pelaksanaan pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

BAB XIX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 46

  1. Wajib pajak yang Karena Kealpaanya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang.
  2. Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana pejara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.

Pasal 47

Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak .

BAB XX
PENYIDIKAN

Pasal 48

  1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintahan Daerah di beri wewenang khusus sebagai Penyidik atau melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  2. Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah :
  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan atau dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana;
  4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana;
  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti lainnya tersebut;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
  7. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
  9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau sanksi;
  10. menghentikan penyidikan;
  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan;
  1. Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan dan Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 49

  1. Terhadap Pajak Hiburan yang turutang dalam Masa Pajak yang berakhir sebelum berlakunya ketentuan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.
  2. Selama peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini belum dikeluarkan maka peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentang dengan Peraturan Daerah ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Hal-hal yang merupakan pelaksanaan Peraturan Daerah ini di tetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 51

  1. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan (lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1996 Nomor 85 Seri A Nomor 2), dinyatakan tidak berlaku lagi.
  2. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 20 Juli 1998

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

SUTIYOSO

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

KETUA,

H. EDY WALUYO S. IP

Disahkan oleh menteri Dalam Negeri dengan
Surat keputusan Nomor 937.31-162 Tanggal
26 Oktober 1998 Diundangkan dalam Lembaran
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27 Tahun 1998
Seri A Nomor 4 Tanggal 9 November 1998.

SEKERTARIS WILAYAH/DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA

IR. FAUZI BOWO
NIP. 470044314

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 7 TAHUN 1998

TENTANG

PENYELENGGARAAN HIBURAN DAN PAJAK HIBURAN

  1. PENJELASAN UMUM

Peraturan Daerah merupakan pengaturan kembali dan sebagai pengganti peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.

Pengaturan Kembali pemungutan Pajak Hiburan dalam Peraturan Daerah ini selain dimaksud untuk lebih meningkatakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Daerah khususnya Pajak Hiburan yang merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah.

Dalam peraturan Daerah ini diatur sistem pemungutan pajak Hiburan dengan Sistem Setor Tunai dan Sistem Surat Ketetapan Pajak.

Sistem Setor Tunai pelaksaan pemungutannya diawali dengan kewajiban untuk melaporkan penyelenggaraan hiburan sebelum hiburan di selenggarakan dan dilanjutkan memasukan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).

Sedangkan untuk Sistem Surat Ketetapan Pajak, khususnya untuk penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk antara lain bioskop dan hiburan insidental, pembayaran pajak dilakukan sebelum penyelenggaraan hiburan dimulai dalam bentuk titipan atau jaminan pembayaran pajak sebagai pembayaran dimuka.

Pembayaran dimuka dalam hal ini merupakan bagian sistem ketetapan yang melalui proses realisasi dapat ditetapkan besarnya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak.

Ketentuan untuk mendukung palaksanaan sistem ini dipertegas dengan mengatur tentang kewajiban penyelenggaraan hiburan yang ditetapkan dengan menggunakan tanda masuk untuk melakukan pembayaran dimuka.

Dalam Peraturan Daerah ini ketentuan tarif Pajak Hiburan lebih disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing jenis hiburan yang terus berkembang sejalan dengan kemajuan dan perkembangan perekonomian Daerah.

Perananan tarif dalam hal ini lebih diutamakan untuk mengatur perkembangan jenis-jenis hiburan terutama terhadap jenis hiburan yang diperkirakan dapat menggeser nilai tinggi budaya bangsa, sehingga diharapkan akan timbul pemikiran alternatif untuk mengembangkan jenis hiburan yang lebih bermanfaat dan dapat dinikmati oleh semua pihak dengan tidak meninggalkan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam pemungutan Pajak Hiburan di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka perlu menetapkan kembali Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan hiburan dan Pajak Hiburan yang disesuaikan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dimaksud.

  1. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 huruf a s.d 1 : Cukup jelas.

huruf m :
Yang dimaksud dengan pembayaran adalah jumlah yang diterima termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai;

Huruf n :

  • Yang dimaksud dengan suatu tanda atau alat atau cara yang sah adalah tanda masuk yang telah dilegalisasi oleh Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  • Termasuk tanda masuk disini adalah tanda masuk dalam bentuk dan dengan nama apapun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu anggota (membership) dan sejenisnya.

huruf o s.d ac : Cukup jelas.

Pasal 2 : Cukup jelas.

Pasal 3 ayat (1) :
Yang dimaksud dengan hari kerja disini adalah hari Senin sampai dengan Jum'at.

ayat (2) dan (3) : Cukup jelas.

Pasal 4 ayat (1) :
maksud ayat ini agar izin penyelenggaraan hiburan tidak digunakan untuk jenis hiburan lain selain jenis hiburan yang sudah mendapat izin pada lokasi tersebut.

Contoh :
Penyelenggara hiburan dikotek "A" juga terdapat hiburan lain sepeti karaoke maka harus juga memiliki izin.
Sedangkan yang dimaksud dengan satu tempat tertentu adalah peyelenggaraan hiburan dilakukan pada satu tempat tersendiri.

ayat (2) s.d (4) : Cukup jelas.

ayat (5) :
Yang dimksud dengan ketempatan dalam ayat ini lokasi untuk tempat penyelenggaraan hiburan yang kepemilikannya tidak menyatu dengan penyelenggara.

ayat (6) dan (7) : Cukup jelas.

Pasal 5 s.d 8 : Cukup jelas.

Pasal 9 huruf a s.d h : Cukup jelas.

huruf i :
Yang dimaksud komidi putar yang digerakan dengan menggunkan peralatan elekrtonik.

huruf j : Cukup jelas.

Pasal 10 : Cukup jelas.

Pasal 11 :
Yang dimaksud dengan yang seharusnya dibayar adalah termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.

Pasal 12 ayat (1) : Cukup jelas.

Pasal 14 ayat (1) :

  • Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh kepala dinas pendapatan Daerah tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terutang pajak, tetapi merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi petugas Dinas Pendapatan Daerah.
  • Terhadap Penyelenggara Hiburan Insidental wajib melaporkan kegitan usahanya setelah diperoleh izin, akan tetapi terhadap usaha tersebut tidak diberikan Nomor Pengukuhan dan Nomor Wajib Pajak.

ayat (2) :
Penetapan secara jabatan disini dimaksudkan untuk pemberian nomor pengukuhan dan Nomor Wajib Pajak Daerah dan merupakan penetapan besarnya pajak terutang.

ayat (3) : Cukup jelas.

Pasal 15 s.d 19 : Cukup jelas.

Pasal 20 :
Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dan pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

ayat (1) :
Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, atau SKPDN hanya terdapat kasus-kasus tertentu seperti terdapat dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.

Contoh :

  1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD maka dalam jangka waktu 5 tahun Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
  2. Seorang wajib pajak menyampikan SPTPD pada tahun pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama 5 tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang atau kurang bayar pajak tersebut, Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
  3. Wajib Pajak Sebagaimana dimaksud dalam contoh 2 yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu 5 tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang maka Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
  4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Gubernur Kepala Daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak maka Gubernur Kepala Daerah menerbitkan SKPDN.

ayat (2) :
Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan atau pajak yang tidak atau terlambat dibayar.
Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

ayat (3) :
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berdasarkan dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah maka terhadap Wajib Pajak dikenakan dikenakan Sanksi Administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.

ayat (4) : Cukup jelas.

ayat (5) :
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini maka Gubernur Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui SKPDKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

Pasal 21 ayat (1) :
Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD.

ayat (2) : Cukup jelas.

ayat (3) :
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Pasal 22 : Cukup jelas.

Pasal 23 :
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namum, dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengirim surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 24 s.d 26 : Cukup jelas.

Pasal 27 ayat (1) : Cukup jelas.

ayat (2) :
Hiburan insidental diselenggarakan di hotel atau restoran atau tempat lainnya. Penyelenggaraan hiburan belum menyetorkan uang jaminan Pajak Hiburan dan hingga saat hiburan berakhir, Penyelenggara tidak membayar Pajak Hiburan oleh karenanya pemilik hotel dan atau restauran dan atau tempat lainya yang bertanggung jawab melunasi Pajak Hiburan yang terutang sebagai akibat diselenggarakan hiburan insidental tersebut.

Pasal 28 dan 29 : Cukup jelas.

Pasal 30 s.d 32 : Cukup jelas.

Pasal 33 ayat (1) :
Permohonan banding dapat diajukan apabila sudah melunasi pembayaran pajak.

ayat (2) dan (3) : Cukup jelas.

Pasal 34 :
Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung dari batas waktu 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan.

Pasal 35 s.d 37 : Cukup jelas.

Pasal 38 ayat (1) :
Surat Kedaluwarsa Penagihan Pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan hutang pajak tersebut tidak dapat di tagih lagi.

ayat (2) :
Dalam hal diterbikan Surat Teguran dan Surat Paksa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

Pasal 39 s.d 47 : Cukup jelas.

Pasal 48 ayat (1) :
Yang dimaksud Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu adalah Pejabat Pegawai Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Pariwisata.

ayat (2) s.d (3) : Cukup jelas.

Pasal 49 s.d 50 : Cukup jelas.

LEMBARAN DAERAH NOMOR 27 TAHUN 1998.

Tidak ada komentar: