Sabtu, 26 April 2008

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

PP 28/1977, PERWAKAFAN TANAH MILIK

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:28 TAHUN 1977 (28/1977)

Tanggal:17 MEI 1977 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERWAKAFAN TANAH MILIK

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan
sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan,
khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai
kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila;

b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang
mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi
kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya
data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan
;

c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49
ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk
mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan
Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2) Undang-undang 1945;

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara ;

3.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043);

4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor
2171);

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

*19097 Pasal 1

Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan

(1)Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.

(2)Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan tanah miliknya.

(3)Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah
miliknya.

(4)Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

BAB II

FUNGSI WAKAF

Bagian Pertama

Pasal 2

Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan
tujuan wakaf.

Bagian Kedua

Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf

Pasal 3

(1)Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan
dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Dalam hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya
adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.

Pasal 4

Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak
milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan, dan perkara.

Pasal 5

(1)Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

*19098 (2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.

Pasal 6

(1)Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri
dari perorangan harus memenuhi syarat-syarat berikut

a.warganegara Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.

(2)Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan
berikut :

a.badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.

(3)Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.

(4)Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti
dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan
kebutuhan.

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 7

(1)Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf
serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut
oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf

(2)Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal
yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur
lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Pasal 8

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan
macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

BAB III

TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA

Bagian Pertama

Tatacara perwakafan tanah milik

*19099 Pasal 9

(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.

(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,
dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.

(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada
Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat berikut :

a.sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala
Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan
tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat.

Bagian Kedua

Pendaftaran wakaf tanah milik

Pasal 10

(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat
(4) dan (5) Pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama
Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat
Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (I)
mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada bukti tanah dan
sertifikatnya.

(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka
pencatatan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk
tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.

(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan
yang dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3).

(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku
tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka
Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Agama.

BAB V

*19100 PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN
TANAH MILIK

Bagian Pertama

Perubahan perwakafan tanah milik

Pasal 11

(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak
dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada
yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.

(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :

a.karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b.karena kepentingan umum.

(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus
dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq
Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian
lebih lanjut.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik

Pasal 12

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan
perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Pengawasan Perwakafan Tanah Milik

Pasal 13

Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat
wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

BAB V

KETENTUAN PIDANA

Pasal 14

Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).

Pasal 15

*19101 Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
oleh-atau atas nama Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan
pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum
maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan
tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab
dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

(1)Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi
sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang
bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.

(2)Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1)
ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Pasal 17

(1)Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah
milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun
1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480
Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan
tidak berlaku lagi.

(2)Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai
dengan bidangnya masing-masing.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA, *19102 SUDHARMONO, SH.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN
1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK

I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut
pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik.
Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau
dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia
tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan
perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan
terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf
umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya
benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang
tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda
yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris
pengurus(Nadzir).

Kejadian-kejadian tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan
umat beragama, khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan
menjurus ke arah antipati. Dilain pihak banyak terdapat
persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status
tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka
tidak saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang
menganut agama Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha
Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah
beragama,sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial
(untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya
seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk
menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai
bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan
untuk menghindari kekacauan dikemudian hari.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat
yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, hanyalah mempunyai jangka
waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut
tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik.
Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk
selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang *19103 jangka
waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai
kepengurusan dari wakif (Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara
pemberian hak dan tata cara untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah
yang diwakafkan.

II. PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini ialah
kelompok orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu
pengurus.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Dalam pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi
bagi,seseorang yang mewakafkan. Pencantuman secara terperinci
syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan
mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacad atau kurang
sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa
orang lain. Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi badan hukum dan
Yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian
persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4

Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu
perbuatan yang suci, mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama
Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan
itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacadnya ditinjau
dari sudut pemilikan. Selain daripada itu persyaratan ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini
untuk sering berhadapan dengan Pengadilan yang dapat memerosotkan
wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut diatas,
maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet
verband, tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat
diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Dalam pasal ini diatur tentang persyaratan Nadzir (pengurus) dari
wakaf, sehingga pengurus baik yang *19104 terdiri dari kelompok
orang-orang maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah perlu dibatasi dan di
daftar dengan maksud untuk mengurangi benih-benih perselisihan
disebabkan banyak orang yang mengurusi sesuatu hal atas benda yang
sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan
yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk
memudahkan pengawasan.

Pasal 7

Dalam rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang
telah diangkat diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap
keadaan perwakafan tanah yang diurusnya dan penggunaan dari
hasil-hasil dari wakaf itu. Pelaporan ini dimaksudkan juga untuk
memudahkan pengawasan.

Pasal 8

Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan
pemberian fasilitas kepada Nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang
pantas terhadap kebutuhan Nadzir ini, maka diharapkan dapat dihindari
penyimpangan dari penggunaan wakaf.

Pasal 9

Pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara
tertulis,tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah
untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk
berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari tentang
tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak
mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan
(sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak
adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut.
Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus
melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan isi
Ikrar Wakaf perlu diseragamkan.

Pasal 10

Salah satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan
secara seksama adalah pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan
pelaksanaannya. Pendaftaran tanah perwakafan ini sangat penting
artinya baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi
administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan agraria. Dengan telah didaftarkan dan dicatatnya
waktu *19105 tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang
diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang
kuat.

Pasal 11

Pada waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat
dilakukan begitu saja oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang
meyakinkan. Hal-hal yang demikian sudah barang tentu akan menimbulkan
reaksi dalam masyarakat terutama dari mereka yang langsung
berkepentingan dengan perwakafan tanah tersebut. Dalam Peraturan
Pemerintah diadakan pembatasan-pembatasan yang ketat dan disamping itu
maksud perubahan status harus terlebih dahulu mendapat izin dari
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara
pembatasan-pembatasan yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan
praktek-praktek yang merugikan perwakafan. Untuk kepentingan
administrasi pertanahan perubahan status wakaf diharuskan untuk
didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Penyimpangan-penyimpangan
dari ketentuan tersebut dalam Pasal 11 Ayat (2) disamping terkena
sanksi seperti dimaksud dalam Pasal 15, juga perbuatan itu batal
dengan sendirinya menurut hukum.

Pasal 12

Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk
yurisdiksi Pengadilan Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan
mewakafkan seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan
lain-lain masalah yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan syariat
Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah lainnya yang
secara nyata menyangkut Hukum Perdata dan Hukum Pidana diselesaikan
melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.

Pasal 13

Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat
Kecamatan. Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi
yang tertib baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Pusat.
Mengenai cara pengawasan menurut jalur timbal-balik akan ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Pasal ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi
sebelum Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan. Kewajiban menyesuaikan
perwakafan yang telah ada dengan Peraturan Pemerintah ini *19106 yang
harus dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan tidak hanya cukup dengan
mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama setempat, melainkan juga harus
dengan menyelesaikan status tanah dan pendaftaran haknya melalui acara
yang diperlukan pada perwakafan tanah milik seperti dimaksud dalam
Pasal 10. Berhubung masalah penyesuaian perwakafan yang telah ada
dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini diperlukan
waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu
penyesuaian demikian pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur
lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Tidak ada komentar: