Sabtu, 12 April 2008

Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

PERPU 51/1960, LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:51 TAHUN 1960 (51/1960)

Tanggal:14 DESEMBER 1960 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat
untuk daerah Angkatan Darat berdasarkan Undang-undang No. 74/1957
tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 16) telah
dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958
tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya", yang kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa
Perang Pusat No. Prt/Peperpu/041/1959;
b.bahwa berhubung dengan ketentuan dalam pasal 61 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya"
(Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139) jo. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960
No. 66) waktu berlakunya Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat
tersebut akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960;
c.bahwa dewasa ini perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian tanpa
izin yang berhak atau kuasanya yang sah masih perlu dilangsungkan,
lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu
diberikan dasar hukum bagi tindakan-tindakannya untuk menyelesaikan
pemakaian tanah demikian itu;
d.bahwa ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi "Onrechtmatige occupatie
van gronden" (Staatsblad 1948 No. 110) dan Undang-undang Darurat No.
8/1951, (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 65) serta Undang-undang
Darurat No. 1/1956 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 45) karena berbagai
pertimbangan tidak dapat dipakai lagi;
e.bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut diatas dan mengingat sifat
masalahnya sebaiknya soal-termaksud sekarang diatur dalam bentuk
peraturan perundang-undangan biasa;
f.bahwa karena keadaan yang memaksa soal tersebut diatur dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat :

a.pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
b.Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun 1960;

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 13 Desember 1960;

*10832 Memutuskan :

Dengan mencabut :

a.Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van gronden" (Staatsblaad 1948
No. 110);
b.Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954
No. 65);
c.Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956
No. 45);

Menetapkan :

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang "Larangan
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya".

Pasal 1.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang
dimaksudkan dengan

1.tanah ialah :

a.tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
b.tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak
oleh perseorangan atau badan hukum.

2.yang berhak : ialah jika mengenai tanah yang termaksud dalam: 1/a.
Negara dalam hal ini Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya;
1/b. orang atau badan hukum yang berhak atas tanah itu,

3.memakai tanah : ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai
sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan
tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau
tidak.

4.Penguasa Daerah ialah :

a.untuk daerah-daerah yang tidak berada dalam keadaan bahaya seperti
yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 23 tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139): "Bupati atau
Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan, sedang untuk Daerah Tingkat
I Jakarta Raya : Gubernur/Kepala Daerah Jakarta Raya";
b.untuk daerah-daerah yang berada dalam keadaan bahaya dengan
tingkatan keadaan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang,
masing-masing Penguasa Darurat Sipil Daerah, Penguasa Darurat Militer
Daerah atau Penguasa Perang Daerah yang bersangkutan, seperti yang
dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23
tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139)

Pasal 2.

Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.

Pasal 3.

(1)Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan
tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang *10833 sah, yang ada
didaerahnya masing-masing pada suatu waktu. (2)Penyelesaian tersebut
pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana
peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Pasal 4.

(1)Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksudkan
dalam pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang
memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala
barang dan orang yang menerima hak dari padanya. (2)Jika setelah
berlakunya tenggang waktu yang ditentukan didalam perintah pengosongan
tersebut pada ayat (1) pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang
bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau pejabat yang diberi perintah
olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu
sendiri.

Pasal 5.

(1)Pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan yang menurut
Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 65)
jo. Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 195
6 No. 45) harus diselesaikan, dan yang pada tanggal mulai berlakunya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini belum diselesaikan
menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Darurat tersebut,
selanjutnya akan diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Pertanian.
(2)Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (1) pasal
ini, maka Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian, dapat
pula mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian
tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya
yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954. (3)Didalam rangka
menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan itu Menteri
Agraria dan instansi yang ditunjuknya mempunyai wewenang pula sebagai
yang dimaksud dalam pasal 4. (4)Didalam menggunakan wewenangnya
sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, maka mengenai penyelesaian
pemakaian tanah-tanah perkebunan Menteri Agraria harus memperhatikan
kepentingan rakyat-pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan
penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas
tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya,
dengan ketentuan, bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tercapainya
penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan fihak-fihak yang
bersangkutan.

Pasal 6.

(1)Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4
dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah *10834 );

a.barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang
sah, dengan ketentuan,bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan
hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat
(1);
b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam
menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
c.barangsiapa menyuruh,mengajak,membujuk atau menganjurkan dengan
lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal
2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;
d.barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan
perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini.
(2)Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh
Menteri Agraria dan Pengusaha Daerah sebagai yang dimaksud dalam
pasal-pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-(lima ribu rupiah) terhadap siapa yang
melanggar atau tidak memenuhinya. (3)Tindak pidana tersebut dalam
pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 7.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal 16 Desember 1960. Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1960. Presiden Republik
Indonesia, SOEKARNO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1960. Pejabat
Sekretaris Negara,

SANTOSO.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG No. 51
TAHUN 1960 tentang "LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK
ATAU KUASANYA".

1. Dengan ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada didalam maupun
diluar kota-kota besar, dipakai oleh orang-orang tanpa izin dari
penguasa yang berwajib atau yang berhak. Pemakaian tanah tersebut
meliputi pula tanah-tanah perkebunan. Pemerintah pada umumnya dapat
memahami keadaan yang tidak sewajarnya itu, yang disebabkan karena
sangat kurangnya persediaan tanah bagi rakyat, baik untuk perumahan
maupun untuk bercocok tanam. *10835 2. Dalam pada itu untuk
pembangunan Negara, penggunaan tanah haruslah dilakukan dengan cara
yang teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang
melanggar norma-norma hukum dan tata-tertib, sebagaimana terjadi
dibanyak tempat, benar-benar menghambat, bahkan seringkali sama sekali
tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan dipelbagai
lapangan. Pembuatan bangunan-bangunan didalam kota untuk tempat
tinggal, berjualan dan lain sebagainya yang berjejal-jejal dan tidak
teratur letak dan tempatnya, dari bahan-bahan yang mudah terbakar,
tidak saja menambah besarnya kemungkinan kebakaran, tetapi dipandang
dari sudut kesehatan dan tata-tertib keamanan sungguh tidak dapat
dipertanggung-jawabkan. Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang
diderita Negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang
berupa perusakan tanah-tanah perkebunan, yang merupakan salah satu
cabang produksi yang penting bagi perekonomian Negara dewasa ini, pun
telah sama-sama kita maklumi pula. Demikianlah maka bagaimanapun juga
pemakaian tanah-tanah secara demikian itu, sunguhpun dapat dipahami
sebab-musababnya tetapi tidaklah dapat dibenarkan, dan karena itu
harus dilarang. 3. Berhubung dengan itu maka oleh Penguasa
Militer/Kepala Staf Angkatan Darat telah dikeluarkan Peraturan
Penguasa Militer/Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/PM/014/1957
tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau
kuasanya", yang didasarkan atas "Regeling op de staat van oorlog en
beleg" (Staatsblad 1939 No. 582). Berhubung dengan berlakunya
Undang-undang No. 74 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 160)
tentang "Keadaan Bahaya" Peraturan tersebut diganti dengan Peraturan
Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat untuk daerah
Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/011/1958. Peraturan ini kemudian
ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/041/1959 hingga meliputi pula tanah-tanah perkebunan. Kini
Undang-undang No. 74 tahun 1957 tersebut telah diganti pula dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang
"Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139). Berhubung
dengan itu maka Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/Peperpu/011/1958 dan Prt/Peperpu/041/1959 itu waktu berlakunya
akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960. 4. Dengan tidak
berlakunya lagi Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut
maka berlakulah kembali Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van
gronden" (Staatsblad 1948 No. 110) dan Undang-undang Darurat No. 8
tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 45) tentang "Penyelesaian
soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat". Tetapi ordonansi
tersebut dalam Staatsblad 1948 No. 110 itu karena keberatan-keberatan
tehnis, kini tidak dapat dilaksanakan. Demikian pula atas dasar
keberatan-keberatan praktis kedua Undang-undang Darurat tersebut perlu
diganti. Berhubung dengan itu oleh karena perlindungan tanah-tanah
terhadap pemakaian yang tidak teratur dan melawan hukum itu dewasa ini
masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang
bersangkutan masih perlu diberikan dasar-dasar hukum bagi
tindakant-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang
demikian itu, perlu diadakan peraturan baru yang dapat dilaksanakan
secara yang lebih effektif. Mengingat masaalahnya yang tidak bersifat
"sementara", maka dipandang lebih baik jika peraturan itu tidak
dikeluarkan lagi *10836 dalam bentuk peraturan yang didasarkan atas
ketentuan Undang-undang Keadaan Baaya, melainkan dalam bentuk
perundang-undangan biasa. Oleh karena keadaan mendesak maka peraturan
yang dimaksud itu ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang.

5. Pemerintah menginsyafi, bahwa pemecahan masalah pemakaian tanah
secara tidak sah itu memerlukan tindakan-tindakan dalam lapangan yang
luas yang mempunyai bermacam-macam aspek, yang tidak saja terbatas
pada bidang agraria dan pidana, melainkan juga mengenai
lapangan-lapangan sosial, perindustrian, Pemerintah memandang perlu
mengambil tindakan untuk mencegah meluasnya perbuatan yang dimaksudkan
diatas dan mengeluarkan peraturan sebagai dasar hukumnya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang ini. 6. Pertama-tama Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- undang (disingkat : Perpu) ini menyatakan
bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang
sah dalah perbuatan yang dilarang dan diancam pula dengan hukuman
pidana (pasal 2 yo. pasal 6 ayat (1) huruf a). Mengingat akan sifat
perbuatannya maka yang dapat dipidana itu tidak saja terbatas pada
pemakaian-pemakaian tanah yang dimulai sesudah berlakunya Perpu ini,
tetapi juga pemakaian yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih
tetap berlangsung. Dalam pada itu tidaklah selalu harus dilakukan
tuntutan pidana menurut pasal 6 tersebbut. Menteri Agraria dan
Penguasa Daerah menurut pasal 3 dan pasal 5 dapat mengadakan
penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan fihak-fihak
yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan
penggunaan tanah yang dipakai itu. Pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak tidak diperbolehkan. Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang
berhak itu memberikan tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut
pasal-pasal 27, 34 dan 40 Undang-undang Pokok Agraria hak milik,
hak-guna bangunan dan hak guna-usaha hapus jika tanahnya
diperlantarkan. Agar supaya untuk memperoleh penyelesaian dapat
diselenggarakan secara yang effektif, maka jika dipandang perlu
Menteri Agraria dan Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang
memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan [pasal 4 dan
pasal 5 ayat (3)]. Dengan demikian maka untuk mengadakan pengosongan
tidaklah diperlukan perantaraan pengadilan. Sudah barang tentu jika
memang perlu, selain perintah pengosongan dapat pula dilakukan
tuntutan pidana. Dengan demikian maka tindakan-tindakan untuk
mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah-tanah secara tidak
sah itu dapat disesuaikan dengan keadaan tanah dan keperluannya,
dengan mengingat faktor-faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan
kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan. 7. Mengingat bahwa dewasa
ini Negara kita masih dalam keadaan bahaya dalam berbagai tingkatan
(keadaan perang, keadaan darurat militer dan keadaan darurat sipil),
maka selama keadaan bahaya itu masih berlangsung dipandang perlu untuk
mengikutsertakan Penguasa-penguasa Keadaan Bahaya Daerah dalam
pelaksanaannya (pasal 3 dan pasal 4). Oleh karena pemakaian
tanah-tanah yang dimaksudkan itu tidak sama disemua tempat maka
titik-berat kebijaksanaan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada
Penguasa-penguasa Daerah, hingga dapatlah diperhatikan segi-segi dan
coraknya yang khusus, sesuai dengan keadaan setempat. *10837 Dalam
pada itu mengingat akan faktor-faktor yang membedakan tanah-tanah
perkebunan (dan hutan) dengan tanah-tanah lainnya maka khusus mengenai
tanah-tanah perkebunan (dan hutan) itu dipandang perlu untuk
memusatkannya pada Menteri Agraria (dan Menteri Pertanian), hingga
terjamin garis kebijaksanaan yang seragam, terutama karena soal
perkebunan itu kebanyakan tidaklah dapat hanya dilihat sebagai
persoalan daerah-sedaerah semata-mata (pasal 5). Sebagai dasar
kebijaksanaan dalam menggunakan wewenang yang dimaksud dalam pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) maka ditetapkan dalam ayat (4), bahwa terlebih
dahulu haruslah diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan
musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan. Jika jalan musyawarah
tidak membawa hasil maka Menteri Agrarialah (setelah mendengar Menteri
Pertanian) yang akan menetapkan penyelesaiannya dengan memperhatikan
kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan
penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas
tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Didalam pasal 5 diadakan perbedaan antara pemakaian tanah perkebunan
dan hutan yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954 dan sebelumnya [ayat
(2) dan ayat (1)]. Pemakaian tanah sebelum tanggal tersebut, yaitu
tanggal mulai berlakunya Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954, harus
diselesaikan, karena memang ditentukan demikian dalam Undang-undang
Darurat tersebut. Biarpun pemakaian-pemakaian tanah sejak tanggal itu
perlu diselesaikan pula, tetapi karena mulai tanggal tersebut sudah
ada peraturan yang tegas melarang pemakaian tanah yang dimaksudkan
itu, maka didalam usaha penyelesaiannya sudah sewajarnya jika diambil
sikap yang lain terhadap para pemakai yang bersangkutan dari pada
terhadap para pemakai sebelum tanggal 12 Juni 1954 itu. Terhadap para
pemakai yang terakhir inipun tidak dapat dilakukan tuntutan pidana
(pasal 6 ayat (1) huruf a). 8. Dengan adanya penjelasan tersebut
diatas kiranya tidak perlu lagi diberikan penjelasan pasal demi pasal.

--------------------------------

CATATAN

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________

Tidak ada komentar: