Sabtu, 12 April 2008

Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:56 TAHUN 1960 (56/1960)

Tanggal:29 DESEMBER 1960 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian
sebagai yang dimaksud dalam pasal 17 Undang-undang No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (Lembaran-Negara tahun
1960 No. 104);
b.bahwa oleh karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat :

a.pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
b.pasal 2, 7, 17 dan 53 Undang-undang No. 5 tahun 1960
(Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104);

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 28 Desember 1960.

Memutuskan :

Menetapkan :

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penetapan luas
tanah pertanian.

Pasal 1.

(1)Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu
keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian,
baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau- dikuasai seluruhnya
tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun
sawah dan tanah kering.

(2)Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria
dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat (1) pasal
ini dengan paling banyak 5 hektar.

Pasal 3.

Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota
keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi
luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala *10858 Agraria
Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan didalam waktu 3 bulan sejak
mulai berlakunya Peraturan ini. Kalau dipandang perlu maka jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria.

Pasal 4.

Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang
jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan
hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan
izin kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin
tersebut hanya dapat diberikan jika tanah yang haknya dipindahkan itu
tidak melebihi luas maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan
pasal 9 ayat (1) dan (2).

Pasal 5.

Penyelesaian mengenai tanah yang merupakan kelebihan dari luas
maksimum diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyelesaian tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan keinginan fihak yang bersangkutan.

Pasal 6.

Barangsiapa sesudah mulai berlakunya Peraturan ini memperoleh tanah
pertanian, hingga tanah pertanian yang dikuasai olehnya dan
anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum, wajib
berusaha supaya paling lambat 1 tahun sejak diperolehnya tanah
tersebut jumlah tanah pertanian yang dikuasai itu luasnya tidak
melebihi batas maksimum.

Pasal 7.

(1)Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang pada
mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan.

(2)Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan ini belum
berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya
kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan
membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:

(7 + «) - waktu berlangsungnya hak-gadai 7 x uang gadai,

7

dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah berlangsung 7
tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa
pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.

(3)Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak-gadai
yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini. *10859 Pasal 8.

Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga
memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.

Pasal 9.

(1)Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan,
dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau
berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar.
Larangan termaksud tidak berlaku, kalau sipenjual hanya memiliki
bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual
sekaligus.

(2)Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini
memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar didalam
waktu 1 tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya
yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada
fihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1).

(3)Jika mereka yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak
melaksanakan kewajiban tersebut diatas, maka dengan memperhatikan
keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya,
menunjuk salah seorang dari antara mereka itu, yang selanjutnya akan
memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada fihak
lain.

(4)Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2
hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10.

(1)Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lama 3 bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;

a.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 4;
b.barangsiapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6
dan 7 (1): c.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal
9 ayat (1) atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal itu
ayat (2).

(2)Tindak pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.

(3)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a pasal ini maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedang
tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara, tanpa hak untuk menuntut
ganti-kerugian berupa apapun.

(4)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf b pasal ini, maka kecuali didalam hal termaksud dalam pasal 7
ayat (1) tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada Negara
yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/atau
anggota-anggota keluarganya, dengan ketentuan bahwa ia diberi
kesempatan untuk mengemukakan keinginannya mengenai bagian tanah yang
mana yang akan dikenakan ketentuan ayat ini. Mengenai tanah *10860
yang jatuh pada Negara itu tidak berhak atas ganti-kerugian berupa
apapun.

Pasal 11.

(1)Peraturan Pemerintah yang disebut dalam pasal 5 dan dalam pasal 12
dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-

(2)Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah
pelanggaran.

Pasal 12.

Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya
serta pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13.

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961. Agar supaya
setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1960. Presiden Republik
Indonesia,

SOEKARNO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1960. Pejabat
Sekretaris Negara,

SANTOSO.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG No' 56
TAHUN 1960 tentang PENETAPAN LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH
PERTANIAN.

UMUM.

(1)Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun
1960) menetapkan dalam pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan. Keadaan masyarakat tani Indonesia sekarang
ini ialah, bahwa kurang lebih 60% dari pada petani adalah petani tidak
bertanah. Sebagian mereka itu merupakan buruh *10861 tani, sebagian
lainnya mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap
dalam hubungan perjanjian bagi-hasil. Para petani yang mempunyai tanah
(sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnya
kurang dari 1 hektar (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering)
yang terang tidak cukup untuk hidup yang layak. Tetapi disamping
petani-petani yang tidak bertanah dan yang bertanah tidak cukup itu,
kita jumpai petani-petani yang menguasai tanah-tanah pertanian yang
luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar.
Tanah-tanah itu semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi
kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa. Bahkan tanah-tanah
yang dikuasai dengan hak-gadai dan sewa inilah merupakan bagian yang
terbesar. Kalau hanya melihat pada tanah-tanah yang dipunyai dengan
hak milik menurut catatan di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali,
Lombok hanya terdapat 5.4000 orang yang mempunyai sawah yang luasnya
lebih dari 20 hektar). Mengenai tanah kering yang mempunyai lebih dari
10 hektar adalah 11.000 orang, diantaranya 2.700 orang yang mempunyai
lebih dari 20 hektar. Tetapi menurut kenyataannya jauh lebih banyak
jumlah orang yang menguasai tanah lebih dari 10 hektar dengan hak
gadai atau sewa. Tanah-tanah itu berasal dari tanah-tanah kepunyaan
para tani yang tanahnya tidak cukup tadi, yang karena keadaan terpaksa
menggadaikan atau menyewakan kepada orang-orang yang kaya tersebut.
Biasanya orang-orang yang menguasai tanah-tanah yang luas itu tidak
dapat mengerjakan sendiri. Tanah-tanahnya dibagi-hasilkan kepada
petani-petani yang tidak bertanah atau yang tidak cukup tanahnya.
Bahkan tidak jarang bahwa dalam hubungan gadai para pemilik yang
menggadaikan tanahnya itu kemudian menjadi penggarap tanahnya sendiri
sebagai pembagi-hasil. Dan tidak jarang pula bahwa tanah-tanah yang
luas itu tidak diusahakan ("dibiarkan terlantar") oleh karena yang
menguasainya tidak dapat mengerjakan sendiri, hal mana terang
bertentangan dengan usaha untuk menambah produksi bahan makanan.

2.Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan,
sedang yang sebagian terbesar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup
tanahnya adalah terang bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia,
yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat
tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata
pula dari hasil tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang
luas ditangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan
dilakukannya praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai,
bagi-hasil dan lain-lainnya), hal mana bertentangan pula dengan
prinsip sosialisme Indonesia.

(3)Berhubung dengan itu maka disamping usaha untuk memberi tanah
pertanian yang cukup luas, dengan jalan membuka tanah secara
besar-besaran diluar Jawa dan menyelenggarakan transmigrasi dari
daerah-daerah yang padat. Undang-undang Pokok Agraria dalam rangka
pembangunan masyarakat yang sesuai dengan azas-azas sosialisme
Indonesia itu, memandang perlu adanya batas-batas maksimum tanah
pertanian yang boleh dikuasai suatu keluarga, baik dengan hak milik
maupun dengan hak yang lain. Luas maksimum tersebut menurut
Undang-undang *10862 Pokok Agraria harus ditetapkan dengan peraturan
perundangan didalam waktu yang singkat [pasal 17 ayat (1) dan (2)].
Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari maksimum itu diambil oleh
Pemerintah dengan ganti-kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat petani yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah [pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria ayat (3)].
Dengan demikian maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya akan lebih
merata dan adil. Selain memenuhi syarat keadilan maka tindakan
tersebut akan berakibat pula bertambahnya produksi, karena para
penggarap tanah-tanah itu yang telah menjadi pemiliknya, akan lebih
giat didalam mengerjakan usaha pertaniannya.

(4)Selain luas maksimum Undang-undang Pokok Agraria memandang perlu
pula diadakannya penetapan luas minimum, dengan tujuan supaya tiap
keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat
mencapai taraf penghidupan yang layak. Berhubung dengan berbagai
faktor yang belum memungkinkan dicapainya batas minimum itu sekaligus
dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan, bahwa pelaksanaannya akan
dilakukan secara beransur-angsur (Undang-undang Pokok Agraria pasal 17
ayat 4), artinya akan diselengggarakan taraf demi taraf. Pada taraf
permulaan maka penetapan minimum bertujuan untuk mencegah dilakukannya
pemecahan tanah lebih lanjut, karena hal yang demikian itu akan
menjauhkan kita dari usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani
sebagai yang dimaksudkan diatas. Penetapan minimum tidak berarti bahwa
orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari batas itu akan dipaksa
untuk melepaskan tanahnya.

(5)Kiranya tidak memerlukan penjelasan, bahwa untuk mempertinggi taraf
hidup petani dan taraf hidup rakyat pada umumnya, tidaklah cukup
dengan diadakannya penetapan luas maksimum dan minimum saja, yang
diikuti dengan pembagian kembali tanah-tanahnya yang melebihi maksimum
itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan maka
usaha itu perlu disertai dengan tindakan-tindakan lainnya, misalnya
pembukaan tanah-tanah pertanian baru, transmigrasi, industrialisasi,
usaha-usaha untuk mempertinggi produktiviteit (intensifikasi),
persediaan kredit yang cukup yang dapat diperoleh pada waktunya dengan
mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.

(6)Menurut pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria luas maksimum dan
minimum itu harus diatur dengan peraturan perundangan. Ini berarti
bahwa diserahkanlah pada kebijaksanaan Pemerintah apakah hal itu akan
diatur oleh Pemerintah sendiri dnegan Peraturan Pemerintah atau
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Undang-undang. Mengingat
akan pentingnya masalah tersebut Pemerintah berpendapat bahwa soal itu
sebaiknyalah diatur dengan peraturan yang bertingkat Undang-undang.
Dalam pada itu karena keadaannya memaksa kini diaturnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang.

(7) a.Luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat II
dengan mengingat keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor
sebagai : *10863 1.tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi.

2.kepadatan penduduk.

3.jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah
dan tanah-kering, diperhatikan apakah ada perairan yang teratur atau
tidak).

4.besarnya usaha tani yang sebai-baiknya ("the best farmsize") menurut
kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa buruh tani.

5.tingkat kemajuan tehnik pertanian sekarang ini.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas yang berbeda-beda
keadaannya diberbagai daerah di Negara kita ini, maka diadakanlah
perbedaan antara daerah-daerah yang padat dan tidak padat.
Daerah-daerah yang padat dibagi lagi dalam daerah yang sangat padat,
cukup padat dan kurang padat. Pula diadakan perbedaan antara batas
untuk sawah dan tanah kering. Untuk tanah kering batasnya adalah sama
dengan batas untuk sawah ditambah dengan 20% didaerah-daerah yang
padat dan dengan 30% didaerah-daerah yang tidak padat. Sebagaimana
tercantum dalam pasal 1 ayat (2) maka penetapan maksimum itu ialah
paling banyak (yaitu untuk daerah-daerah yang tidak padat) 15 hektar
sawah atau 20 hektar tanah kering. Untuk daerah-daerah yang sangat
padat maka angka-angka itu adalah masing-masing 5 hektar dan 6 hektar.
Jika sawah dipunyai bersama-sama dengan tanah kering maka batasnya
adalah paling banyak 20 hektar, baik didaerah yang padat maupun tidak
padat. b.Yang menentukan luas maksimum itu bukan saja tanah-tanah
miliknya sendiri, tetapi juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang
dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain sebagainya seperti yang
dimaksudkan diatas. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
guna-usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas
(misalnya hak pakai) yang didapat dari Pemerintah tidak terkena
ketentuan maksimum tersebut. Letak tanah-tanah itu tidak perlu mesti
disatu tempat yang sama, tetapi dapat pula dibeberapa daerah, misalnya
diduda atau tiga Daerah tingkat II yang berlainan.

c.Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga, biarpun yang berhak
atas tanahnya mungkin seorang-seorang. Berapa jumlah luas tanah yang
dikuasai oleh anggota-anggota dari suatu keluarga, itulah yang
menentukan maksimum luas tanah keluarga itu. Jumlah anggota keluarga
ditetapkan paling banyak 7 orang. Jika jumlahnya melebihi 7 orang maka
bagi keluarga itu luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya ditambah 10%, tetapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh
lebih dari 50%, sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai
seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering
maupun sawah dan tanah. Misalnya untuk keluarga didaerah tidak padat
(dengan batas maksimum 15 hektar) yang terdiri dari 15 anggota, maka
batas maksimumnya dihitung sebagai berikut. Jumlah tambahannya 8 X 10%
X 15 hektar sawah, tetapi tidak boleh lebih dari 7,5 hektar - 22,5
hektar. Tetapi oleh karena tanah yang dikuasai seluruhnya tidak *10864
boleh dari 20 hektar, maka luas maksimum untuk keluarga itu ialah 20
hektar. Kalau yang dikuasai itu tanah kering maka keluarga tersebut
tidak mendapat tambahan lagi, karena batas buat tanah kering untuk
daerah yang tidak padat sudah ditetapkan 20 hektar.

d.Ketentuan maksimum tersebut hanya mengenai tanah pertanian. Batas
untuk tanah perumahan akan ditetapkan tersendiri. Demikian pula luas
maksimum untuk badan-badan hukum.

(8)Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun
tanah-kering. Sebagai telah diterangkan diatas batas 2 hektar itu
merupakan tujuan, yang akan diusahakan tercapainya secara taraf demi
taraf. Berhubung dengan itu maka dalam taraf pertama perlu dicegah
dilakukannya pemecahan-pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan
dengan tujuan tersebut. Untuk itu maka diadakan pembatasan-pembatasan
seperlunya didalam hal pemindahan hak yang berupa tanah pertanian
(pasal 9). Tanpa pembatasan-pembatasan itu maka dikhawatirkan bahwa
bukan saja usaha untuk mencapai batas minimum itu tidak akan tercapai,
tetapi bahkan kita akan tambah menjauh dari tujuan tersebut.

(9) a.Dalam Peraturan ini diatur pula soal gadai tanah pertanian. Yang
dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam
penguasaan yang meminjamkan uang tadi ("pemegang-gadai"). Selama itu
hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang-gadai, yang dengan
demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Penebusan tanah itu
tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai
yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan ada pula
yang dilanjutkan oleh para ahli-waris penggadai dan pemegang-gadai,
karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali. (Dalam
pada itu dibeberapa daerah dikenal pula gadai dimana hasil tanahnya
tidak hanya merupakan bunga, tetapi merupakan pula angsuran. Gadai
demikian itu disebut "jual angsur". Berlainan dengan gadai-bisa maka
dalam jual-angsur setelah lampau beberapa waktu tanahnya kembali
kepada penggadai tanpa membayar uang tebusan). Besarnya uang gadai
tidak saja tergantung pada kesuburan tanahnya, tetapi terutama pada
kebutuhan penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah
yang subur digadaikan dengan uang-gadai yang rendah. Biasanya orang
menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam keadaan yang sangat
mendesak. Jika tidak mendesak kebutuhannya maka biasanya orang lebih
suka menyewakan tanahnya. Berhubung dengan hal-hal diatas itu maka
kebanyakan gadai itu diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan
penggadai dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian
maka teranglah bahwa gadai itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan,
hal mana bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia. Oleh karena
itu maka didalam Undang-undang *10865 Pokok Agraria hak gadai
dimasukkan dalam golongan hak-hak yang sifatnya "sementara", yang
harus diusahakan supaya pada waktunya dihapuskan. Sementara belum
dapat dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan
unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru
dapat dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan
unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru
dapat dihapuskan (artinya dilarang jika sudah dapat disediakan kredit
yang mencukupi keperluan para petani.

b.Apa yang diharuskan oleh pasal 53 Undang-undang Pokok Agraria itu
diatur sekaligus dalam Peraturan ini (pasal 7), karena ada hubungannya
langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan maksimum
tersebut diatas. Tanah-tanah yang selebihnya dari maksimum diambil
oleh Pemerintah, yaitu jika tanah itu milik orang yang bersangkutan.
Kalau tanah yang selebihnya itu tanah-gadai maka harus dikembalikan
kepada yang empunya. Didalam pengembalian tanah-tanah gadai tersebut
tentu akan timbul persoalan tentang pembayaran kembali uang-gadainya.
Peraturan ini memecahkan persoalan tersebut, dengan berpedoman pada
kenyataan sebagai yang telah diuraikan diatas. Yaitu, bahwa dalam
prakteknya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai adalah jauh
melebihi bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan. Menurut
perhitungan maka uang gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh
pemegang gadai dari hasil tanahnya dalam waktu 5 sampai 10 tahun,
dengan ditambah bunga yang layak (10%). Berhubung dengan itu maka
ditetapkan bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama 7 tahun (angka
tengah-tengah diantara 5 dan 10 tahun) atau lebih harus dikembalikan
kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan.
Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 tahun, pula mengenai
gadai-gadai baru diadakan ketentuan dalam pasal 7 ayat, 2 dan 3,
sesuai dengan azas-azas tersebut diatas.

(10)Kemudian agar ketentuan-ketentuan Peraturan ini dapat berjalan dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka dalam pasal 10 dan 11 diadakan
sanksi-sanksi pidana seperlunya.

(11)Soal pemberian ganti-kerugian kepada mereka yang tanahnya diambil
oleh Pemerintah, soal pembagian kembali tanah-tanah tersebut dan
hal-hal lain yang bersangkutan dengan penyelesaian tanah yang
merupakan kelebihan dari luas maksimum menurut pasal 5 akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan pasal 17 ayat 3
Undang-undang Pokok Agraria.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Ayat 1 :Perkataan "orang" menunjuk pada mereka yang belum/tidak
berkeluarga. Sedang "orang-orang" menunjuk pada mereka yang
bersama-sama merupakan satu keluarga. Siapa-siapa yang menjadi anggota
*10866 suatu keluarga harus dilihat pada kenyataan dalam
penghidupannya. Yang termasuk anggota suatu keluarga ialah yang masih
menjadi tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu. Sebagaimana telah
dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (7b) maka tanah-tanah yang
dimaksudkan itu bisa dikuasai sendiri oleh anggota keluarga
masing-masing, tetapi dapat pula dikuasai bersama(misalnya milik
bersama sebagai warisan yang belum/tidak dibagi). Tanah-tanah yang
dikuasai itu bisa miliknya sendiri bisa kepunyaan orang lain yang
dikuasai dengan sewa, pakai atau gadai dan bisa miliknya sendiri
bersama kepunyaan orang lain. Orang yang mempunyai tanah dengan hak
milik atau hak gadai, tanah mana olehnya disewakan atau
dibagi-hasilkan kepada orang atau orang-orang lain, termasuk dalam
pengertian orang yang ..menguasai" tanah tersebut menurut pasal ini.
Jadi pengertian "menguasai" itu harus diartikan baik menguasai secara
langsung, maupun tidak langsung.

Ayat 2 :Pokok-pokoknya sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka
(7a). Jika yang dikuasai itu sawah dan tanah kering maka cara
menghitung maksimumnya ialah sebagai berikut : Misalnya didaerah yang
kurang padat oleh suatu keluarga dikuasai 5 ha sawah dan 9 ha tanah
kering. Maka 5 ha sawah dihitung menjadi tanah kering yaitu 120% X 5
ha = 6ha. Jadi tanah yang dikuasai jumlah sama dengan 6 + 9 ha = 15 ha
tanah kering. Karena untuk daerah yang kurang padat maksimumnya 12 ha
tanah kering, maka keluarga itu harus melepaskan 15 ha - 12 ha = 3 ha
tanah keringnya. Dengan demikian maka maksimumnya ialah 5 ha sawah dan
6 ha tanah kering atau 11 ha. Jika sawah yang akan dilepaskan maka 9
ha tanah kering itu dihitung menjadi sawah, yaitu sama dengan sawah
5/6 X 9 ha = 7,5. Dengan demikian maka jumlah tanahnya adalah 5 ha +
7,5 ha = 12,5 ha sawah. Karena untuk daerah tersebut maksimumnya 10
ha,maka sawah yang harus dilepaskan adalah 12,5 ha 10 ha = 2,5 ha.
Bagi keluarga itu maksimumnya menjadi 2,5 ha sawah dan 9 ha tanah
kering atau 11,5 ha. Perlu mendapat perhatian bahwa bagaimanapun juga
jumlah luas tanah sawah dan tanah kering itu tidak boleh lebih dari 20
ha, baik didaerah yang padat maupun tidak padat.

Pasal 2.

Jumlah 7 orang adalah rata-rata keluarga Indonesia sekarang ini. Lebih
lanjut sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (7c).

Pasal 3.

Perkataan "orang-orang" menunjuk kepada orang-orang yang tidak
merupakan anggota sesuatu keluarga. Bagi keluarga-keluarga maka
kewajiban lapor dibebankan kepada kepala keluarganya, biarpun
tanah-tanah yang dilaporkan itu adalah kepunyaan anggota-anggota
keluarganya. Kepala-keluarga biasa laki-laki *10867 ataupun wanita.
Sudah barang tentu ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi
kewajiban penjabat-penjabat yang bersangkutan untuk secara aktip
mengumpulkan keterangan-keterangan yang dimaksudkan itu. Pasal 4.

Ketentuan ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai orang
menghindarkan diri dari akibat penetapan luas maksimum. Bagian tanah
yang selebihnya dari maksimum menurut pasal 17 Undang-undang Pokok
Agraria akan diambil oleh Pemerintah, yang kemudian akan mengatur
pembagiannya kepada para petani yang membutuhkan. Berhubung dengan itu
maka bagian tersebut tidak boleh dialihkan oleh pemilik kepada fihak
lain. Adapun bagian tanah yang boleh terus dimiliknya (yaitu sampai
luas maksimum) sudah barang tentu boleh dialihkannya kepada orang
lain, asal peralihan itu tidak mengakibatkan hal-hal yang diebut dalam
pasal 9. Dalam pada itu oleh karena penetapan bagian mana yang boleh
terus dimilikinya itu memerlukan waktu, hingga pada waktu itu mungkin
belum ada kepastian apakah yang hanya akan dialihkan itu termasuk
bagian tersebut atau tidak, maka peralihan itu memerlukan idzin Kepala
Agraria Daerah yang bersangkutan. Kalau yang dimiliki itu misalnya 15
ha sawah didaerah yang kurang padat (yang maksimumnya 10 ha) maka yang
boleh dialihkan oleh pemiliknya ialah paling banyak 10 ha, karena yang
5 ha selebihnya akan diambil oleh Pemerintah. Perlu kiranya
diperhatikan, bahwa yang terkena oleh ketentuan pasal ini ialah
pemindahan hak atas tanah milik yang melampaui maksimum. Jika yang
dikuasai itu tanah milik dan tanah gadai, misalnya masing-masing 7 ha
dan 5 ha, maka untuk mengalihkan 7 ha tanah milik tersebut tidak
diperlukan idzin.

Pasal 5.

Lihat Penjelasan Umum angka (11). Kiranya sudahlah selayaknya jika
diperhatikan keinginan fihak-fihak yang bersangkutan (yaitu mereka
yang tanahnya diambil oleh Pemerintah itu) mengenai penentuan bagian
tanah yang mana akan diambil oleh Pemerintah dan yang mana boleh
dikuasainya terus. Dalam pada itu Pemerintah tidak terikat pada
keinginan yang diajukan itu. Misalnya tidaklah akan diperhatikan
keinginan yang bermaksud supaya yang diambil oleh Pemerintah hanya
bagian-bagian tanah yang tidak dapat ditanami.

Pasal 6.

Memperoleh tanah menurut pasal ini bisa karena pembelian ataupun
pewarisan hibah, perkawinan dan lain sebagainya. Misalnya didaerah
yang tidak padat seorang menguasai sawah dengan hak milik seluas 10 ha
dan hak gadai 5 ha. Kemudian ia membeli sawah 5 ha. Didalam waktu 1
tahun ia diwajibkan untuk melepaskan 5 ha, misalnya semua tanah yang
dikuasainya dengan hak gadainya itu atau sebagian tanah gadai dan
sebagian tanah miliknya.

Pasal 7.

Azasnya sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (9b). *10868
Mengenai ketentuan ayat 2 dapat dikemukakan contoh sebagai berikut.
Uang gadai 14.000,- dan gadai sudah berlangsung 3 tahun. Maka uang
tebusannya ialah

7« - 3 X Rp. 14.000,- = Rp. 9.000,- 7

Hasil yang diterima pemegang gadai selama 3 tahun dianggap sebagai 3
kali angsuran @ Rp. 20.000,- ditambah bunganya.

Faktor « adalah dimaksud sebagai ganti kerugian, 7

bila gadainya tidak berlangsung sampai 7 tahun. Dalam pada itu tidak
ada keharusan bagi penggadai untuk menebus tanahnya kembali.
Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya mengenai tanah-tanah gadai
yang harus dikembalikan, tetapi mengatur gadai pada umumnya.

Pasal 8.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (4) dan (8). Usaha-usaha
yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, supaya setiap keluarga
petani mempunyai tanah 2 ha itu ialah terutama extensifikasi tanah
pertanian dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar Jawa,
transmigrasi dan industrialisasi. Tanah 2 ha itu bisa berupa sawah
atau tanah kering atau sawah dan tanah kering.

Pasal 9.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (8). Tanah yang luasnya 2
ha atau kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian, karena dengan
demikian akan timbul bagian atau bagian-bagian yangkurang dari 2 ha.
Kalau akan dialihkan maka haruslah semuanya. Tanah itu dapat dialihkan
semuanya kepada satu orang. Kalau dialihkan semuanya kepada lebih dari
seorang maka mereka yang menerima itu masing-masing harus sudah
memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 ha atau dengan peralihan
tersebut masing-masing harus memiliki paling sedikit 2 ha. Mengenai
tanah-tanah yang lebih dari 2 ha larangan itupun berlaku pula, jika
karena peralihan itu timbul atau bagian-bagian yang luasnya kurang
dari 2 ha. Peralihan untuk sebagian diperbolehkan, jika yang menerima
itu sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 ha atau jika
dengan peralihan tersebut lalu memiliki tanah paling sedikit 2 ha dan
jika sisanya yang tidak dialihkan luasnyapun masih paling sedikit 2
ha. Misalnya tanah 3 ha boleh dijual 1 ha kepada seorang yang memiliki
1 ha pula. Sisa yang tidak dijual masih 2 ha. Larangan tersebut tidak
berlaku mengenai pembagian warisan yang berupa tanah pertanian.

Pasal 10 dan 11.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (10). Apa yang ditentukan
dalam pasal 10 ayat 3 dan 4 tidak memerlukan keputusan pengadilan.
Tetapi berlaku karena hukum setelah ada keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan untuk dijalankan, yang menyatakan, bahwa benar terjadi
tindak-pidana yang dimaksudkan dalam ayat 1.

*10869 Pasal 12.

Oleh karena pembatasan mengenai tanah-tanah untuk perumahan tidak
sepenting tanah-tanah-pertanian dan tidak menyangkut banyak orang
sebagaimana halnya dengan tanah-tanah pertanian, maka soal tersebut
akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, demikian juga halnya dengan
pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini. Yang demikian itu tidak pula bertentangan dengan
pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria.

Pasal 13.

Tidak memerlukan penjelasan. Termasuk Lembaran-Negara No. 174 tahun
1960.

--------------------------------

CATATAN

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________

Tidak ada komentar: