Sabtu, 12 April 2008

Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

UU 2/1960, PERJANJIAN BAGI HASIL *)

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:2 TAHUN 1960 (2/1960)

Tanggal:7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERJANJIAN BAGI HASIL *)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

bahwa perlu diadakan Undang-undang yang mengatur perjanjian
pengusahaan tanah dengan bagi-hasil, agar pembagian hasil tanahnya
antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar
terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap itu,
dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik dari
penggarapan maupun pemilik;

Mengingat :

a.pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Dasar;
b.pasal 5 ayat 1 jo 20 pasal 1 Undang-undang Dasar;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

Memutuskan :

Menetapkan : Undang-undang tentang "Perjanjian Bagi Hasil".

BAB I

ARTI BEBERAPA ISTILAH.

Pasal 1.

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

*)Disetujui D

a.tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan
makanan;
b.pemilik, ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak
menguasai tanah; c.perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama
apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang
atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini
disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua
belah fihak; *2561 d.hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang
diselenggarakan oleh penggarap termaksud dalam huruf e pasal ini,
setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk
menanam dan panen;
e.petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai
tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk
pertanian.

BAB II.

PENGGARAP

Pasal 2.

(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3
pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian
bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik
kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan
perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari
sekitar 3 (tiga) hektar.

(2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil
tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi
penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat
yang ditunjuk olehnya.

(3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam perjanjian
bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau
penjabat yang ditunjuk olehnya.

BAB III.

BENTUK PERJANJIAN.

Pasal 3.

(1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan
penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau
daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang
bersangkutan - selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala
Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak
pemilik dan penggarap.

(2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat 1 diatas memerlukan
pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat
lain yang setingkat dengan itu - selanjutnya dalam undang-undang ini
disebut "Camat".

(3)Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian
bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir.

(4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan
2 diatas.

BAB IV.

JANGKA WAKTU PERJANJIAN *2562 Pasal 4.

(1) Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam
surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi
sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi
tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.

(2) Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya
perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang
ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan
sendiri oleh yang mempunyainya.

(3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi-hasil diatas tanah
yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen,
maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu
selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari
satu tahun.

(4) Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah
atau tanah-kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan.

Pasal 5.

(1)Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 6, maka
perjanjian bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas
tanah yang bersangkutan kepada orang lain.

(2) Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban
pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik
baru.

(3) Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu
dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

Pasal 6.

(1) Pemutusan perjanjian bagi-hasil sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya mungkin dalam hal-hal
dan menurut ketentuan-ketentuan dibawah ini :

a.atas persetujuan kedua belah fihak yang bersangkutan dan setelah
mereka laporkan kepada Kepala Desa;
b.dengan izin Kepala Desa atas tuntutan pemilik, didalam hal penggarap
tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau
tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil
tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi
bahan-bahan yang menjadi tanggungannya yang ditegaskan didalam surat
perjanjian tersebut pada pasal 3 atau tanpa izin dari pemilik
menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain. (2)
Kepala Desa memberi izin pemutusan perjanjian bagi-hasil yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
kedua belah pihak, setelah usahanya untuk lebih dahulu mendamaikan
mereka itu tidak berhasil.

(3) Didalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini Kepala Desa *2563
menentukan pula akibat daripada pemutusan itu.

(4) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui keputusan Kepala
Desa untuk mengijinkan diputuskannya, perjanjian sebagai yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini dan/atau mengenai apa yang dimaksud dalam ayat
3 diatas, maka soalnya dapat diajukan kepada Camat untuk mendapat
keputusan yang mengikat kedua belah fihak.

(5) Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala Daerah
Swatantra tingkat II semua keputusan yang diambilnya menurut ayat 4
pasal ini.

BAB V.

PEMBAGIAN HASIL TANAH.

Pasal 7.

(1) Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik
untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh
Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan
memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat
yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta
ketentuan-ketentuan adat setempat.

(2) Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II memberitahukan
keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil-tanah yang diambil
menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

BAB VI.

KEWAJIBAN PEMILIK DAN PENGGARAP.

Pasal 8.

(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik
yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik
dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang.

(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini
berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan
itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam
pasal 7.

(3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada
penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai
unsur-unsur ijon, dilarang.

(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa
yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut
kembali dalam bentuk apapun juga.

Pasal 9.

Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang
untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap *2564 itu
adalah pemilik tanah yang sebenarnya.

Pasal 10.

Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka
waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada pasal 6,
penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada
pemilik dalam keadaan baik.

BAB VII.

LAIN - LAIN

Pasal 11.

Perjanjian-perjanjian bagi hasil yang sudah ada pada waktu mulai
berlakunya undang-undang ini, untuk panen yang berikutnya harus
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal-pasal
diatas.

Pasal 12.

Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini tidak berlaku terhadap
perjanjian-perjanjian bagi hasil mengenai tanaman keras.

Pasal 13.

(1) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak memenuhi atau melanggar
ketentuan dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 maka baik Camat
maupun Kepala Desa atas pengaduan salah satu fihak ataupun karena
jabatannya, berwenang memerintahkan dipenuhi atau ditaatinya ketentuan
yang dimaksudkan itu. (2) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak
menyetujui perintah Kepala Desa tersebut pada ayat 1 diatas, maka
soalnya diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat
kedua belah fihak.

Pasal 14.

Jika pemilik tidak bersedia mengadakan perjanjian bagi hasil menurut
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, sedang tanahnya tidak
pula diusahakan secara lain, maka Camat, atas usul Kepala Desa
berwenang untuk, atas nama pemilik, mengadakan perjanjian bagi hasil
mengenai tanah yang bersangkutan.

Pasal 15.

(1) Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,-; a.pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau
pasal 11; b.penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2;
c.barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat 3.

(2) Perbuatan pidana tersebut pada ayat 1 diatas adalah pelanggaran

Pasal 16.

*2565 Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini diatur oleh Menteri Muda Agraria sendiri atau
bersama dengan Menteri Muda Pertanian.

Pasal 17.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta, pada tanggal 7 Januari 1960. Presiden Republik
Indonesia, SOEKARNO.

Diundangkan pada tanggal 7 Januari 1960, Menteri Muda Kehakiman,

SAHARDJO.

MEMORI PENJELASAN MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERJANJIAN BAGI
HASIL.

PENJELASAN UMUM.

(1) Biarpun tidak disebut dengan nama yang sama, tetapi perjanjian
penguasahaan tanah dengan bagi hasil umum dijumpai di Indonesia. Dalam
perjanjian itu, yang hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan
hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas suatu
tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri,
tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan orang lain untuk
menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut, yang hasilnya
dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan
sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian tersebut menurut
hukumnya yang berlaku sekarang ini tidak saja terbatas pada pemilik
tanah itu sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang mempunyai
hubungan hukum tertentu dengan tanah yang bersangkutan, misalnya
pemegang gadai, penyewa, bahkan seorang penggarappun - yaitu fihak
kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil - dalam batas-batas
tertentu berhak pula berbuat demikian.

(2) Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak
tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah
yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan
kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat
setempat/sedaerah dan lain-lainnya. Berhubung dengan kenyataan, bahwa
umumnya tanah yang *2566 tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang
yang ingin menjadi penggarapnya sangat besar, maka seringkali
terpaksalah penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi
hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan
biaya yang telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang
bersangkutan. Lain dari pada itu perjanjian tersebut menuntut hukumnya
umumnya hanya berlaku selama jangka waktu satu tahun yang kemudian
atas persetujuan kedua belah fihak dapat dilanjutkan lagi atau
diperbaharui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya hanyalah
tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga
bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama
waktu yang layak. Hal inipun, kecuali berpengaruh pada pemeliharaan
kesuburan tanahnya, menjadi sebab pula mengapa penggarap seringkali
bersedia menerima syarat-syarat yang berat dan tidak adil. Akhirnya
oleh karena jarang sekali perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara
tertulis dan menurut hukumnya juga tidak ada keharusan untuk dibuatnya
dimuka pejabat-pejabat adat setempat, maka seringkali terdapat
keragu-raguan, yang menimbulkan perselisihan-perselisihan antara
pemilik dan penggarap.

(3) Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya, lemah
terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan
yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil
yang diuraikan diatas, maka dalam bidang agraria diadakanlah
Undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil
tersebut dengan maksud : a.agar pembagian hasil tanah antara pemilik
dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan b.dengan
menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap,
agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap,
yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan
yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak
banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah
sangat besar. c. dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan
b diatas, maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani
- penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara
kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh
baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu
langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi
"sandang-pangan" rakyat.

Dengan diadakannya peraturan ini maka lembaga bagi hasil yang didalam
susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini pada
kenyataannya masih hidup dan mempunyai segi-segi sosial maupun
ekonomis yang tidak dapat dengan sekaligus diganti dan dilenyapkan -
akan dapat dipergunakan dan dilangsungkan sesuai dengan fungsinya
dalam masyarakat karena akan dapat diakhiri dan dicegah
penyalah-gunaan dalam penyelenggaraannya.

(4) Dalam pada itu perlu diinsyafi, bahwa selama imbangan antara
luasnya tanah pertanian dan jumlah kaum tani yang memerlukan tanah
disementara daerah - Jawa, Madura, Bali dan lain- lainnya - belum
dapat ditingkatkan pada tingkatan yang layak, dengan hanya memberi
ketentuan-ketentuan mengenai *2567 perjanjian bagi hasil itu saja,
tujuan tersebut diatas belumlah akan tercapai. Lebih-lebih karena
lembaga bagi hasil itu baru merupakah salah satu saja dari
bentuk-bentuk perjanjian pengusahaan tanah dimana golongan petani yang
lemah terpaksa berhadapan dengan yang kuat. Berhubung dengan itu maka
dalam rangka dan sejalan dengan usaha untuk menyelenggarakan
perlindungan sebagai yang dimaksudkan itu sedang dan akan melanjutkan
tindakan-tindakan untuk memperbaiki keadaan para petani yang lemah
itu. Misalnya usaha-usaha perkreditan yang disalurkan melalui Bank
Tani dan Nelayan, memberikan tanah kepada para petani yang belum
mempunyai tanah sendiri atau yang tanah usahanya tidak mencukupi,
misalnya dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar Jawa, yang
diikuti dengan transmigrasi, baik secara teratur yang diselenggarakan
oleh Jawatan Transmigrasi maupun yang spontan. Usaha-usaha dalam
bidang industrialisasi akan membawa perbaikan pula pada imbangan
antara tanah dan orang yang kami maksudkan diatas. Penetapan batas
maksimum luas tanah yang kini sedang difikirkan, dibeberapa
tempat/daerah akan berarti pula bertambahnya tanah yang tersedia bagi
para petani yang dimaksudkan itu. Lain dari pada itu sering dengan
keluarnya peraturan mengenai perjanjian bagi hasil ini dikalangan
rakyat sendiri diperlukan pula adanya Undang-undang tentang persewaan
tanah, yang akan memberi perlindungan pula pada para petani kecil
penyewa tanah terhadap praktek-praktek yang tidak baik dari sementara
golongan pemilik tanah. Hal tersebut dipandang perlu oleh karena
sewa-menyewa itu merupakan pula bentuk perjanjian tanah, dimana ada
kemungkinan dijalankannya praktek-praktek yang sangat merugikan
golongan petani yang lemah.

(5) Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa didalam menyusun peraturan
mengenai bagi hasil ini diusahakan didapatnya imbangan yang
sebaik-baiknya antara kepentingan pemilik dan penggarap, karena yang
menjadi tujuan bukanlah mendahulukan kepentingan golongan yang satu
dari pada yang lain, tetapi akan memberi dasar untuk mengadakan
pembagian hasil tanah yang adil dan menjamin kedudukan hukum yang
layak bagi para penggarap. Adalah bukan maksudnya akan memberi
perlindungan itu sedemikian rupa hingga keadaannya menjadi terbalik,
yaitu kedudukan penggarap menjadi sangat kuat, tetapi sebaliknya bagi
yang berhak atas tanah lalu tidak ada jaminan sama sekali. Kiranya
telah dimaklumi pula, bahwa tidaklah selalu penggarap itu ada pada
fihak yang lemah. Tidak jarang justeru pemiliknya yang merupakan
tani-tani kecil yang memerlukan perlindungan sedang penggarapnya
termasuk golongan yang kuat ekonominya.

(6) Undang-undang ini akan berlaku serentak untuk seluruh Indonesia.
Biarpun tidak disemua daerah ada ketegangan didalam hubungan pemilik
dan penggarap, tetapi dengan mendiskriminasikan berlakunya
Undang-undang ini untuk daerah satu dengan daerah lain, artinya
diperlakukan disesuatu daerah dan didaerah lain tidak atau
menangguhkan berlakunya dikhawatirkan timbulnya kesukaran-kesukaran
yang terus-menerus meluas dari satu daerah kelain daerah karena
berbeda-bedanya peraturan. Dalam pada itu perumusan pasal yang
terpenting dari Undang-undang ini, yaitu pasal 7 memberikan
flexibilitet yang cukup luas untuk menyesuaikan *2568 pelaksanaannya
dengan keadaan-keadaan yang khusus didaerah yang bersangkutan.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Huruf a. Yang terkena oleh ketentuan-ketentuan Undang-undang ini
adalah tanah-tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan
makanan, dengan tidak dipersoalkan macam haknya. Jadi mungkin tanah
milik, tanah eigendom agraris, tanah gogolan, grant dan lain-lainnya.
Tetapi yang ditanam diatas tanah itu tidak perlu mesti tiap-tiap tahun
bahan makanan, melainkan dapat pula suatu ketika ditanami kapas,
rosella dan lain sebagainya, asal tanaman yang berumur pendek
(hubungkan dengan pasal 12). Tebu termasuk tanaman yang berumur pendek
pula.

Huruf b. Sesuai dengan hukumnya yang berlaku sekarang, yang berwenang
untuk mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak saja berbatas pada
para pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tetapi juga para
pemegang gadai penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan sesuatu
hak menguasai tanah yang bersangkutan. Untuk mempersingkat pemakaian
kata-kata maka mereka itu semua dalam Undang-undang ini disebut
pemilik. Pemilik itu bisa juga merupakan badan hukum, seperti lebih
jauh dijelaskan dalam penjelasan pasal 2.

Huruf c. Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil namanya tidak
sama disemua daerah. Di Minangkabau misalnya disebut: memperduai, di
Minahasa: tojo, di Jawa Tengah dan Timur: maro atau mertelu, di
Priangan: nengah atau jejuron, di Lombok: nyakap. Dalam ayat ini
diberikan pula perumusan dari pada pengertian "penggarap" yang akan
dipakai dalam Undang-undang ini. Penggarap itu, sebagaimana halnya
dengan pemilik, bisa juga merupakan badan hukum. Hal ini akan
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 2.

Huruf d. Dengan perumusan demikian maka yang dimaksud dengan hasil
tanah ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor setelah dikurangi biaya
untuk bibit, pupuk, ternak dan biaya untuk menanam (tandur) dan panen.
Adapun ongkos-ongkos untuk pengurangan hingga didapatkan hasil bersih
itu disebutkan secara tegas satu demi satu untuk menghindarkan salah
tafsiran, yang dapat mengakibatkan sengketa yang tidak akan ada
putus-putusnya. Biaya-biaya yang disebutkan secara limitatip itu akan
diambil dari hasil kotor dan diberikan kepada fihak yang memberikan
persekot untuk itu, tanpa bunga, yaitu fihak penggarap maupun pemilik.
Ini berarti bahwa sebenarnya ongkos-ongkos tersebut menjadi beban
kedua belah fihak. Lain-lain biaya yang berupa tenaga, baik dari
penggarap sendiri maupun tenga buruh tidak termasuk dalam golongan
biaya yang dikurangkan pada hasil kotor, *2569 karena itu adalah
"aandeel" dari pada penggarap dalam perjanjian bagi hasil ini. Dalam
pada itu dibeberapa daerah dipergunakan tenaga manusia untuk membajak
dan menggaru yang disebut "bo-wong", misalnya didaerah Kedu. Biaya
untuk tenaga tersebut dapat dikurangkan dari hasil kotor. Adapun pajak
tanah seluruhnya dibebankan pada pemilik tanah yang sebenarnya (pasal
9). Secara formil maupun materiil kewajiban membayar pajak adalah
terletak pada pemilik, hal mana sesuai dengan ketentuan yang umum
berlaku sekarang ini.

Huruf e. Perumusan mengenai pengertian "petani" itu diperlukan
berhubung dengan adanya ketentuan dalam pasal 2. Dalam pengertian ini
termasuk pula buruh tani.

Pasal 2.

Ayat 1. Maksud diadakannya pembatasan ini ialah agar tanah- tanah
garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja (termasuk buruh
tani), yang akan mengusahakannya sendiri, juga agar sebanyak mungkin
calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan adanya
pembatasan ini maka dapatlah dicegah, bahwa seseorang atau badan hukum
yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai penggarap dan
mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan demikian akan
mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil calon penggarap untuk
Memperoleh tanah garapan. Tanah garapan seluas 3 hektar dipandang
sudah cukup untuk memberi bekal akan hidup yang layak.

Ayat 2. Pada azasnya seorang petani yang sudah mempunyai tanah garapan
3 hektar tidak diperkenankan untuk mendapat tanah garapan lagi.
Ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) ini dimaksud untuk menampung hal-hal
yang khusus, dengan tidak meninggalkan garis kebijaksanaan yang telah
diletakkan dalam ayat (1). Misalnya didalam hal luas tanah yang
melebihi 3 hektar itu tidak seberapa.

Ayat 3. Pada azasnya badan-badan hukum apapun dilarang untuk menjadi
penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini penggarap haruslah
seorang petani. Tetapi adakalanya, bahwa justru untuk kepentingan umum
atau kepentingan desa, sesuatu badan hukum perlu diberi izin untuk
menjadi penggarap. Misalnya suatu koperasi tani yang ingin menjadi
penggarap atas tanah- tanah yang terlantar didesa-desa. Dalam hal ini
hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan
bukan badan-badan hukum lain, sebagaimanya Perseroan Terbatas,
C.V. dan lain sebagainya. Disamping itu adakalanya juga sesuatu badan
hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Yayasan perlu pula
dipertimbangkan untuk diberi izin menjadi penggarap. Misalnya dalam
hubungannya dengan usaha pembukaan tanah secara besar-besaran
didaerah-daerah Sumatera, Kalimantan *2570 dan lain-lainnya.
Didaerah-daerah itu masalah pembukaan tanah yang pertama, jadi dalam
tahun-tahun yang pertama, ialah pekerjaan yang berat, yang pada
umumnya perlu ditolong dengan tenaga-tenaga mesin, seperti
traktor-traktor dan sebagainya. Dalam hal ini suatu perusahaan
pembukaan tanah yang berbentuk bukan koperasi, akan tetapi Yayasan
atau Perseroan Terbatas kiranya dapat dipertimbangkan juga untuk dapat
diterima sebagai penggarap dalam batas waktu yang ditentukan.
Pengusahaan pembukaan tanah yang dimaksudkan itu akan sangat
bermanfaat, bagi pemilik tanah maupun bagi pembangunan dan pembukaan
daerah-daerah yang masih merupakan padang alang-alang ataupun hutan
belukar. Dalam menentukan diizinkannya atau tidak suatu badan hukum
untuk menjadi penggarap harus diadakan pernilaian dari sudut
kepentingan desa atau kepentingan umum. Adapun yang memberikan izin
itu ialah Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuknya. Untuk
urusan koperasi sebaiknya diberikan oleh Kepala Daerah Swatantra
tingkat II yang bersangkutan.

Pasal 3.

Ayat 1. Perjanjian yang tertulis terutama bermaksud untuk
menghindarkan keragu-raguan, yang mungkin menimbulkan perselisihan
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah fihak, lamanya
jangka waktu perjanjian dan lain-lainnya. Hal-hal yang bersangkutan
dengan pembuatan perjanjian itu akan diatur oleh Menteri Muda Agraria
(ayat 3). Ayat 2. Agar supaya pengawasan preventip dapat
diselenggarakan dengan sebaik-baiknya, maka perjanjian-perjanjian bagi
hasil yang dibuat secara tertulis dimuka Kepala Desa itu perlu
mendapat pengesahan dari Camat dan diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan.

Pasal 4.

Ayat 1. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu perjanjian
sebagai yang ditetapkan dalam pasal ini maka terjaminlah bagi
penggarap akan memperoleh tanah garapan selama waktu yang layak. Yang
dimaksud dengan "tahun" ialah "tahun tanaman", jadi bukan "tahun
kelender". Dengan diberikannya jaminan mengenai jangka waktu tersebut
maka penggarap mempunyai cukup waktu untuk menjalankan daya-upaya
untuk mendapat hasil sebanyak mungkin. Hal yang demikian akan membawa
keuntungan pula pada pemilik, karena bagian yang diterimanya juga akan
bertambah. Dengan mempergunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang
ditanam pada tahun pertama, daya pupuk ini dirasakan pada tanaman
tahun kedua, dengan ada kemungkinan masih ada pengaruhnya pada tahun
ketiga. Jangka waktu untuk tanah kering lebih lama dari pada untuk
sawah oleh karena pada umumnya keadaan tanahnha tidak sebaik tanah
sawah. Oleh karena itu tahun-tahun pertama dipergunakan untuk
memperbaiki tanahnya dan tahun-tahun berikutnya memperbaiki *2571
tanamannya. Bahkan ada tanah-tanah kering yang perlu dikosongkan
("diberikan")lebih dulu sebelum dapat ditanami dengan hasil baik.
Adapun lamanya waktu itu haruslah pula sedemikian rupa, agar jika pada
tahun-tahun pertama, karena bencana alam, hama, bibit tidak baik dan
lain sebagainya, penggarap masih mempunyai cukup kesempatan untuk
berusaha memperoleh hasil yang layak. Waktu 3 tahun untuk sawah dan 5
tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas minimum
itu.

Ayat 2. Ketentuan ini dimaksud untuk menampung hal-hal yang khusus,
dimana terpaksa harus diadakan perjanjian yang jangka waktunya kurang
dari 3 tahun untuk sawah dan 5 tahun untuk tanah kering. Misalnya
pemilik perlu naik haji, sakit keras atau lain sebagainya dan hanya
menghendaki mengadakan perjanjian untuk satu tahun saja, karena
tanahnya yang biasanya diusahakannya sendiri - pada tahun berikutnya
akan diusahakan sendiri lagi.

Ayat 3. Didalam hal yang disebut pada ayat ini tidak perlu diadakan
perjanjian baru, tetapi cukuplah diberitahukan kepada Kepala Desa yang
bersangkutan.

Ayat 4. Yang dimaksud dengan sawah ialah tanah yang pengusahaannya
memerlukan pengairan, oleh karenanya mempunyai pematang (galengan).
Dalam hal-hal yang khusus mungkin timbul keragu-raguan apakah sesuatu
bidang tanah itu harus dimasukkan dalam golongan sawah atau tanah
kering. Untuk itu maka diadakan ketentuan dalam ayat ini.

Pasal 5.

Ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan bagi penggarap, bahwa
perjanjian bagi hasil itu akan berlangsung selama waktu yang telah
ditentukan, sungguhpun tanahnya oleh pemilik telah dipindahkan
ketangan orang lain. Dalam pada itu bagi pemilik baru ada kemungkinan
untuk meminta diputuskannya perjanjian tersebut, tetapi terbatas pada
hal-hal dan menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 6.

Didalam hal pemilik meninggal dunia diperlukan pembaharuan perjanjian
dengan pemiliknya yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan
pemilik yang baru itu. Ahli waris penggarap yang akan melanjutkan
perjanjian bagi hasil sebagai yang dimaksud dalam ayat (3) harus
memenuhi pula syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 2.

Pasal 6.

Oleh karena dalam pasal 4 diadakan pembatasan minimum jangka waktu
lamanya perjanjian dan pula berhubungan dengan ketentuan dalam pasal
5, maka sudah selayaknyalah kiranya diadakan kemungkinan bagi pemilik,
bilamana kepentingannya dirugikan oleh penggarap karena kelalaiannya
atau perbuatannya yang bertentangan dengan apa yang telah mereka
setujui bersama pada waktu perjanjian diadakan, untuk meminta
diputuskannya perjanjian tersebut sebelum jangka waktunya berakhir.
*2572 Tetapi hal itu hanya berbatas pada hal-hal yang disebutkan dalam
ayat (1) huruf b saja, yaitu hal-hal yang memang bertentangan dengan
kewajiban seorang penggarap yang baik dan jujur. Didalam ayat (1)
huruf b tersirat larangan bagi penggarap untuk menyerahkan penguasaan
tanah yang bersangkutan kepada orang lain tanpa izin pemilik. Larangan
demikian sudah selayaknya pula, karena bagi pemilik hubungannya dengan
penggarap. merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, yang
tidak dapat diganti dengan orang-orang lain tanpa persetujuannya. Lain
halnya dengan ketentuan dalam pasal 5, karena hal itu dimaksudkan
sebagai jaminan khusus bagi penggarap. Kemungkinan untuk memutuskan
perjanjian antar/waktu terbuka bagi kedua belah fihak didalam hal-hal
tersebut dalam ayat (1) huruf a. Terhadap keputusan Kepala Desa
diadakan kemungkinan banding pada instansi yang lebih tinggi, yaitu
Camat. Dalam hal ini Camat akan dibantu oleh suatu badan pertimbangan
dalam mana akan duduk sebagai anggota-anggotanya wakil-wakil golongan
fungsionil tani, pejabat pertanian dan pengairan. Panitia ini akan
bertugas memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Camat dalam
soal-soal pengawasan dan penyelesaian perselisihan (pasal 13, 14 dan
16), dengan tidak usah mengikat keputusan dari Camat. Panitia itu
memberikannya kepada Camat, baik atas permintaan Camat maupun atas
inisiatip sendiri. Pemberian keputusan oleh dua instansi setempat itu
kiranya sudah cukup menjamin diperolehnya putusan yang sebaik-baiknya
bagi kepentingan kedua belah fihak. Oleh karena itu maka kiranya
tidaklah akan diperlukan lagi campur tangan badan-badan pengadilan.
Agar supaya dapat diselenggarakan pengawasan yang sebaik-baiknya oleh
instansi atasan maka Camat diwajibkan untuk menyampaikan laporan
berkala kepada Bupati mengenai semua keputusan yang diambilnya menurut
ayat (4).

Pasal 7.

1. Keadaan tanah (khususnya kesuburan tanah), kepadatan penduduk dan
faktor-faktor ekonomis lainnya, yang dalam konkretonya menentukan
besar-kecilnya bagian pemilik dan penggarap tidaklah sama disemua
daerah. Berhubung dengan itu maka tidak akan mungkin didapatkan dan
ditetapkan secara umum angka pembagian yang cocok bagi seluruh
Indonesia dan yang akan dirasa adil oleh fihak-fihak yang
bersangkutan, sebagai yang pada hakekatnya menjadi tujuan utama dari
pada penyusunan Undang- undang ini. Atas dasar pertimbangan itu maka
dipandang lebih baik jika penetapan bagian pemilik dan penggarap itu
dilakukan daerah demi daerah oleh instansi daerah itu sendiri - yaitu
Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II - yang akan mendasarkannya
pada keadaan dan faktor-faktor ekonomis setempat. Didalam menetapkan
angka pembagian itu Bupati akan meminta pertimbangan instansi-instansi
lainnya yang ahli dan wakil-wakil golongan fungsionil tani. Selain
alasan-alasan tersebut diatas, maka dalam Undang-undang ini tidak
ditetapkan angka imbangan yang tegas antara bagian pemilik dan
penggarap, karena *2573 proses perkembangan dalam masyarakat desa
masih berjalan terus, juga dalam hubungan-hubungan sosial. Hingga akan
sangat tidak bijaksana untuk membendung proses tersebut dengan
mencantumkan suatu perumusan yang kaku. Dengan perumusan yang
flexible, yang akan dapat menampung keadaan-keadaan yang khusus daerah
demi daerah, sebagaimana halnya pasal 7 ini, maka Undang-undang ini
sekaligus dapat berlaku untuk seluruh Indonesia. Namun demikian
Undang-undang ini memberikan sebagai pedoman imbangan antara pemilik
dan penggarap 1 : 1 (satu lawan satu), yaitu untuk padi yang ditanam
disawah. Untuk tanaman palawija dan untuk tanaman ditanah kering
bagian penggarap adalah pemilik _. Untuk daerah-daerah dimana imbangan
tersebut telah lebih menguntungkan fihak penggarap akan tetap. 2.
Zakat disisihkan dari hasil bruto yang mencapai nisab (yang bagi padi
besarnya 14 kwintal), untuk orang-orang yang memeluk agama Islam. ini
berarti bahwa hasil padi yang kurang dari 14 kwintal tidak dikenakan
zakat. 3. Kepala Daerah mengubah imbangan tersebut dalam jangka waktu
3 tahun. 4. Keputusan mengenai penetapan pemberian hasil tanah itu
diberitahukan oleh Bupati kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 8.

Di beberapa daerah berlaku kebiasaan, bahwa untuk memperoleh hak akan
mengusahakan tanah dengan perjanjian bagi hasil calon penggarap
diharuskan membayar uang atau memberikan barang sesuatu kepada pamilik
yang di Jawa Tengah disebut "sromo". Jumlah uang atau harga barang itu
seringkali sangat tinggi. Oleh karena hal itu merupakan beban tambahan
bagi penggarap, maka pemberian "sromo" itu dilarang. Dalam pasal ini
diadakan pula ketentuan-ketentuan yang melarang "ijon" untuk
melindungi penggarap maupun pemilik yang lemah. Adapun yang dimaksud
dengan unsur-unsur ijon, bahwa

a. pembayarannya dilakukan lama sebelum panen, dan
b. bunganya sangat tinggi ("woekerrente"). Dalam pada itu perlu
kiranya ditegaskan, bahwa ketentuan dalam pasal 8 ayat (3) dan (4) ini
tidak mengurangi kemungkinan diadakannya hutang-piutang dikalangan
penggarap dan pemilik yang layak dan wajar.

Pasal 9.

Sudah diuraikan dalam penjelasan pasal 1 huruf d.

Pasal 10.

1. Kiranya sukar untuk merumuskan dengan tegas, apa yang dimaksud
dengan pengertian "keadaan baik" itu. Tetapi pada umumnya dapatlah
dikatakan, bahwa tanah garapan itu harus diserahkan kembali kepada
pemilik dalam keadaan yang tidak merugikan pemilik, hal mana dalam
konkretonya tergantung pada keadaan dan ukuran setempat 2. Jika selama
perjanjian bagi hasil berlangsung terjadi *2574 bencana alam dan/atau
gangguan hama yang mengakibatkan kerusakan pada tanah dan/atau
tanaman, maka sesuai dengan sifat dari pada perjanjian bagi hasil,
kerugian atau risiko menjadi beban kedua belah fihak bersama.

Pasal 11.

Ketentuan ini terutama mengenai soal pembagian hasil tanah antara
pemilik dan penggarap, yang selanjutnya harus dilakukan menurut apa
yang ditetapkan oleh Bupati sebagai yang dimaksud dalam pasal 7.
Demikian pula mengenai kewajiban untuk membuat perjanjian secara
tertulis.

Pasal 12.

Sudah diuraikan dalam penjelasan mengenai pasal 1 huruf a.

Pasal 13.

Ketentuan ini diperlukan untuk mengusahakan supaya ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang ini dijalankan oleh semua fihak sebagaimana
mestinya, tanpa mengadakan tuntutan pidana. Pasal 14.

Adalah hal yang sungguh tidak dapat dibenarkan, bahwa sangat
bertentangan dengan program akan melengkapi "sandang-pangan" rakyat,
jika pemilik - hanya karena ia tidak menyetujui ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini dan tidak bersedia mengadakan perjanjian bagi hasil
- membiarkan tanahnya dalam keadaan tidak diusahakan. Dengan adanya
ketentuan ini maka Camat diberi wewenang untuk mengambil tindakan
hingga tanah-tanah yang dibiarkan kosong itu dapat memberi hasil
sebagaimana mestinya. Adapun kepentingan dari pemilik tetap mendapat
perhatian, karena pengusahaan tanah-tanah itu dilakukan menurut
ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang ini, dimana hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pemilik telah ada jaminan-jaminannya. Dengan tidak
mengurangi dari pada ketentuan dalam pasal ini, jika dipandangnya
perlu Camat dapat pula mengadakan perjanjian lain atas nama pemilik.
Dalam pada itu perlu mendapat perhatian, bahwa dalam sistim pertanian
modern guna memelihara kesuburan tanah diadakan usaha
"soilconservation" atau pengawetan tanah, antara lain dengan
mengadakan rotasi penanaman pupuk hijau atau jenis tanaman lain
sebagai selingan dari penanaman bahan makan atau bahan perdagangan.
Tanah-tanah yang sedang dalam pengawetan dan rotasi tersebut oleh
instansi yang bersangkutan maupun oleh rakyat sendiri, tidak tergolong
tanah kosong atau terlantar dan dengan sendirinya tidak terkena oleh
ketentuan pasal ini. Pasal 14 tertuju pada pemilik, yang dengan
sengaja tanpa alasan membiarkan tanahnya dalam keadaan tidak
diusahakan.

Pasal 15.

Agar supaya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini dijalankan
sebagaimana mestinya, maka Pemerintah mengganggap perlu untuk
mencantumkan sanksi-sanksi pidana mengenai pelanggaran dari
pasal-pasal yang tertentu.

Biarpun kewajiban yang ditentukan dalam pasal 3 dan 11 itu merupakan
kewajiban dari pemilik dan penggarap kedua-duanya, tetapi karena titik
beratnya terletak pada pemilik, maka ancaman *2575 hukuman ditujukan
kepadanya. Mengenai pasal 2 keadaannya adalah sebaliknya. Ancaman
hukuman denda kiranya sudah cukup untuk mencapai apa yang dimaksudkan.

Pasal 16.

Materi yang diatur dalam Undang-undang ini selain mempunyai segi-segi
yang terletak dalam bidang hukum yang menyangkut tanah - yang termasuk
bidang Departemen Agraria - mempunyai pula segi-segi yang termasuk
bidang Departemen Pertanian. Oleh karena itu maka peraturan-peraturan
yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini
ada yang akan ditetapkan oleh Menteri Muda Agraria sendiri ataupun
bersama dengan Menteri Muda Pertanian.

Pasal 17.

Tidak memerlukan penjelasan.

--------------------------------

CATATAN

*)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-21 pada hari Jum'at
tanggal 20 Nopember 1959, P.10/1959

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________

Tidak ada komentar: