Sabtu, 12 April 2008

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

UU 5/1960, PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *)
Tanggal:24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA *)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :
a.bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris,
bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur;
b.bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan
dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan
kepentingan rakyat dan Negara didalam menyelesaikan revolusi nasional
sekarang ini serta pembangunan semesta;
c.bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan
berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas
hukum barat;
d.bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin
kepastian hukum;

Berpendapat :
a.bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan-pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional,
yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
b.bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan
tercapainya,fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud
diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta
memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal
agraria;
c.bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari
pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita
bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-undang Dasar.
d.bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari
pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33
Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai
yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang
mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong; *2584 e.bahwa berhubung
dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun
ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan
merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut
diatas;

Memperhatikan : Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik
Indonesia No. I/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan
Penggunaan Tanah;

Mengingat :
a.Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
b.Pasal 33 Undang-undang Dasar;
c.Penetapan Presiden No. I tahun 1960 (Lembaran-Negara 1960 No. 10)
tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d.Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.

Memutuskan:
Dengan mencabut:
1."Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat
dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie"
(Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari
pasal itu;

2.a."Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit "
(Staatsblad 1870 No. 118);
b."Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A;
c."Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari
Staatsblad 1874 No. 94f;
d."Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1
dari Staatsblad 1877 No. 55;
e."Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van
Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;

3.Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.
117) dan peraturan pelaksanaannya;

4.Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih
berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;

Menetapkan :
Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
Pasal 1
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada
ayat (4) dan (5) pasal ini.

Pasal 2
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. (2)Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberi wewenang untuk :
a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara
tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.

Pasal 4
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan *2586 dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi. (3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.

Pasal 6
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Pasal 7
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 8
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan
ruang angkasa.

Pasal 9
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 10
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. (2)
Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur
lebih lanjut dengan peraturan perundangan. (3) Pengecualian terhadap
azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.

Pasal 11
(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan
bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber
pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut
dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan
pekerjaan orang lain yang melampaui batas. (2) Perbedaan dalam keadaan
masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.

Pasal 12
(1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas
kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk
koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya. (2) Negara dapat
bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam
lapangan agraria.

Pasal 13
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria
diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran
rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin
bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan
martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2)
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari
organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. (4)
Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,
termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan
(3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah
dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a.untuk keperluan Negara,
b.untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan
dan lain-lain kesejahteraan;
d.untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
e.untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang
angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2)
pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat
I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang
bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah
yang bersangkutan.

Pasal 15
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan
memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH
Bagian 1
Ketentuan-ketentuan umum
Pasal 16
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4
ayat (1) ialah:.
a.hak milik,
b.hak guna-usaha,
c.hak guna-bangunan,
d.hak pakai,
e.hak sewa,
f.hak membuka tanah,
g.hak memungut-hasil hutan,
h.hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam
pasal 4 ayat (3) ialah:
a.hak guna air,
b.hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c.hak guna ruang angkasa.

Pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum
dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. (2) Penetapan
batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan
peraturan perundangan didalam waktu yang singkat. (3) Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal
ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tercapainya batas minimum termaksud
dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan
perundangan, *2589 dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan Undang-undang.

Bagian II
Pendaftaran tanah
Pasal 19
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan
mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan
Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya
yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas,
dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.

Bagian III
Hak milik
Pasal 20
(1) Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 21
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh
Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya
Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat
atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak
itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut
atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus
karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain *2590 yang membebaninya tetap berlangsung. (4)
Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai
kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 22
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini hak milik terjadi karena :
a.penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
b.ketentuan Undang-undang.

Pasal 23
(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. (2) Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur
dengan peraturan perundangan.

Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.

Pasal 26
(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan
untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang
asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan
hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21
ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,
dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 27
Hak milik hapus bila:
a.tanahnya jatuh kepada negara,
1.karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.karena diterlantarkan;
4.karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b.tanahnya musnah.

Bagian IV
Hak guna-usaha
Pasal 28
(1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam
pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. (2)
Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5
hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik,
sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Hak guna-usaha dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 29
(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. (2)
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. (3) Atas permintaan
pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan
waktu yang paling lama 25 tahun.

Pasal 30
(1) Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah.
a.warga-negara Indonesia;
b.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia, (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha
dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat
(1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan
ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika
ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna-usaha, yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu
tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 32
(1) Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 33
Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.

Pasal 34
Hak guna-usaha hapus karena:
a.jangka waktunya berakhir;
b.dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c.dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.dicabut untuk kepentingan umum;
e.diterlantarkan;
f.tanahnya musnah;
g.ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Bagian V
Hak guna-bangunan
Pasal 35
(1) Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas permintaan pemegang hak
dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 20 tahun. (3) Hak guna-bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 36
(1) Yang dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah
a.warga-negara Indonesia;
b.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak
guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut
dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan
atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak
guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
Hak guna-bangunan terjadi:
a.mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan
Pemerintah;
b.mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik
antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak
tersebut.

Pasal 38
(1) Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan
hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.

Pasal 39
Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.

Pasal 40
Hak guna-bangunan hapus karena:
a.jangka waktunya berakhir;
b.dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c.dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.dicabut untuk kepentingan umum;
e.diterlantarkan;
f.tanahnya musnah;
g.ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

Bagian VI
Hak pakai
Pasal 41
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini. (2) Hak pakai dapat diberikan:
a.selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan yang tertentu;
b.dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah
a.warga-negara Indonesia;
b.orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia;
d.badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 43
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka
hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat
yang berwenang. (2) Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.

Bagian VII
Hak sewa untuk bangunan
Pasal 44
(1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa. (2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan
a.satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b.sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. (3) Perjanjian sewa
tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 45
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
a.warga-negara Indonesia;
b.orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia;
d.badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Bagian VIII
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Pasal 46
(1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat ipunyai
oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak
dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Bagian IX
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Pasal 47
(1) Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu
dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. (2) Hak guna-air
serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian X
Hak guna ruang angkasa
Pasal 48
(1) Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga
dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
(2) Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Pasal 49
(1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang
dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan
dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah
yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan
sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya
sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain
Pasal 50
(1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan
Undang-undang.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan
diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha
dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan
Undang-undang.

BAB III
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 52
(1)Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15
dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
(2)Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam
pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat
(2) dapat memberikan ancaman pidana atas *2596 pelanggaran
peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
(3)Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
BAB IV

KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal
16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi
sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak
tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat. (2) Ketentuan
dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 54
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika
seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonenesianya mempunyai
kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak
kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut
peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya
berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).

Pasal 55
(1) Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV
dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku
untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka
waktu paling lama 20 tahun. (2) Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan
hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum
yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu
diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional
semesta berencana.

Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal
50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 57
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51
belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai
hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam *2597 Staatsblad .1908 No. 542
sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.

Pasal 58
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum
terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.

B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam
Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian
..bumi" dan "tanah", sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan
pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan "tanah" ialah permukaan bumi.
Perluasan pengertian "bumi" dan "air" dengan ruang angkasa adalah
bersangkutan dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan ke-
mungkinan-kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang.

Pasal 2
Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2). Ketentuan dalam
ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan
pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah
merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut
keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan
sumber keuangan bagi daerah itu.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah
apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht".
Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3).

Pasal 4
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1).

Pasal 5
*2609 Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria
yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).

Pasal 6
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).

Pasal 7
Azas yang menegaskan dilarangnya "groot-grondbezit" sebagai yang telah
diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu
diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada
pengecualiannya.

Pasal 8
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu
hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang
yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam
yang terkandung didalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena
itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan
pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi
perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.

Pasal 9
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan
dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan
2.

Pasal 10
Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata- kata
"pada azasnya" menunjuk pada kemungkinan diadakannya
pengecualian-pengecualian sebagai yang disebutkan sebagai misal
didalam Penjelasan Umum itu. Tetapi pengecualian-pengecualian itu
perlu diatur didalam peraturan perundangan (Bandingkan penjelasan
pasal Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih dimungkinkan
oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.

Pasal 11
Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis
lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa
warganegara asli keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat
Penjelasan Umum (III angka 2).

Pasal 12
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan- ketentuan dalam
pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini
adalah bentuk koperasi dan bentuk- bentuk gotong-royong lainnya.
Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan diadakannya suatu "usaha
bersama" antara Negara dan Swasta dalam bidang agraria. Yang dimaksud
dengan "fihak lain" itu ialah pemerintah daerah, pengusaha swasta yang
bermodal nasional atau swasta dengan "domestic capital" yang
progresip.

Pasal 13
Ayat 1, 2 dan 3.
*2610 Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6). Ketentuan
dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan dalam bidang agraria.

Pasal 14
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan
dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian
Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai
peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu
diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1
huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah
untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan,
tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan
Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum ((II angka 4). Tanah wajib
dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim
dikerjakan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk
dari Jawatan-Jawatan yang bersangkutan.

Pasal 16
Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai
dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang
Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah
dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum
adat. Dalam pada itu hak guna- usaha dan hak-guna-bangunan diadakan
untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya
ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak opstal.
Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya
ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi
berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat
dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo
pasal 53).

Pasal 17
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang di-tentukan
dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam
waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi
akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah
tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang
membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas
pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah
itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar
harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan
disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak
terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang
mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk *2611 melepaskan
tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk
mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut.
Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi,
pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya
batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang
dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang
belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar
sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala
keluarga.

Pasal 18
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan
syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang
layak.

Pasal 19
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana
dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan
(Lihat Penjelasan Umum IV).

Pasal 20
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang
membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang
"terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian
sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut
pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang
bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap
hak. Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu bermaksud untuk
membedakannya dengan hak guna-usha, hak guna-bangunan, hak pakai dan
lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas
tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter" (artinya :
paling)-kuat dan terpenuh.

Pasal 21
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Dalam
ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara
dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara- cara yang diserbut dalam
ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu
tindakan positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak
itu. Sudah selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara
membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan
dri warganegara Indonesia lainnya.

Pasal 22
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah
pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi
hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara.

Pasal 23
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).

Pasal 24
*2612 Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10.
Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah
misalnya : sewa, bagi-hasil, pakai atau hak guna-bangunan.

Pasal 25
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan
pemiliknya. Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk
sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam
pasal 53. Didalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai.

Pasal 26
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II
angka 6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah.
Dalam Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara
warganegara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan
lemah. Fihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak
asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2 adalah akibat daripada
ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat memiliki
tanah.

Pasal 27
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.

Pasal 28
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan
miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
Bedanya dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat
diberikan untuk keperluan diatas itu dan atas tanah yang luasnya
paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan hak pakai maka hak
guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada fihak lain dan dapat
dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun tidak dapat
diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum
yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan
dalam pasal 55. Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan
tanahnya dilakukan secara yang tidak baik, karena didalam hal yang
demikian hak guna-usahanya dapat dicabut (pasal 34).

Pasal 29
Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah hak yang waktu
berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan
memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk
keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan
jangka-waktu 35 tahun misalnya mengingat pada tanaman kelapasawit.

Pasal 30
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan
hukum yang dapat mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang
bermodal nasional yang progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi
badan-badan hukum yang bermodal *2613 asing hak guna-usaha hanya
dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh
Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana
(pasal 55).

Pasal 31 s/d 34
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan dalam
pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).

Pasal 35
Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak
mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik
seseorang.

Pasal 36
Penjelasannya sama dengan pasal 30.

Pasal 37 s/d 40
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang
ditentukan dalam pasal 38 sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum
(angka IV).

Pasal 41 dan 42
Hak pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari
pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama,
yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah
sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai
yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan
sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut
dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk
gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak
pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan
untuk itu. Orang-orang dan badan- badan hukum asing dapat diberi
hak-pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.

Pasal 43
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 44 dan 45
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang
mempunyai sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya
disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10
ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara
(pasal 16 yo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara
bukan pemilik tanah.

Pasal 46
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam
hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada
kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.

Pasal 47
Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai
air yang tidak berada diatas tanah miliknya *2614 sendiri. Jika
mengenai air yang berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal
itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak
guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata
air yang berada diluar tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah
termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah
hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada
diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya,
rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang
diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain
dan air yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula
(dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut
tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan
dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.

Pasal 48
Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik
dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.

Pasal 49
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini
memberi ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya dalam hukum agraria
yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hubungan pula
dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal 14 ayat 1 hurub b.

Pasal 50 dan 51
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini
hanya dimuat pokok-pokoknya saja dari hukum agraria yang baru.

Pasal 52
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada
peraturan-peraturan serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan
dari Undang-undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana
sebagai yang ditentukan dalam pasal ini.

Pasal 53
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.

Pasal 54
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21
dan 26. Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C.
tetapi pada tanggal mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat
pengesahan akan terkena oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal
II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah pengesahan penolakan itu
diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan untuk memperoleh hak
atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan didalam pasal 12
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh
pengesahan dari instansi yang berwenang.

Pasal 55
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30. Ayat 1 mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal asing baru. Sebagaimana telah di- tegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu
diperlukan oleh undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana.

Kedua : Hak-hak yang ada sekarang ini menurut ketentuan konversi ini
semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria. Hak
guna-usaha dan hak guna-bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III,
IV dan V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam
Peraturan yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus
yang bersangkutan dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan
dalam akta haknya yang di- konversi itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturannya yang baru.
Ketiga : Perubahan susunan pemerintahan
desa perlu diadakan untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya
dari- pada perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini.
Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang
sangat penting.
Keempat : Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak-
hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini.

Termasuk Lembaran-Negara No. 104 tahun 1960.

--------------------------------

CATATAN

*)Disetujui D.P.R.G.R. dalam rapat pleno terbuka ke-8 pada hari Rabu
tanggal 14 September 1960, P.6/1960

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________

Tidak ada komentar: