Sabtu, 12 April 2008

Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya

UU 20/1961, PENCABUTAN HAK HAK TANAH DAN BENDA BENDA YANG ADA DIATASNYA *)

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:20 TAHUN 1961 (20/1961)

Tanggal:26 SEPTEMBER 1961 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PENCABUTAN HAK-HAK TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA *)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai yang dimaksud dalam
pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960; Lembaran-Negara Tahun 1966 Nomor 104), terutama dalam rangka
melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara;
b.bahwa dengan adanya peraturan yang baru tersebut diatas
"Onteigeningsordonnantie" (S. 1920-574) sebagai yang telah beberapa
kali diubah dan ditambah, dapat dicabut kembali;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (1) jo. pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA
YANG ADA DIATASNYA.

Pasal 1.

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepenngan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada diatasnya.

Pasal 2.

(1)Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/ atau
benda tersebut pada pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada
Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi
Agraria yang bersangkutan.

*2798 (2)Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang
berkepentingan disertai dengan :

a.rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan
umum harus dilakukan pencabutan hak itu. b.keterangan tentang nama
yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah
yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
c.rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan
kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah
yang bersangkutan.

Pasal 3.

(1)Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam pasal 2 maka Kepala
Inspeksi Agraria segera :

a.meminta kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan untuk memberi
pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya,
bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan
tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2
ayat 2 huruf c.

b.meminta kepada Panitya Penaksir tersebut pada pasal 4 untuk
melakukan penaksiran tentang ganti-kerugian mengenai tanah dan/atau
benda-benda yang haknya akan dicabut itu.

(2)Di dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya
permintaan Kepala Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini maka
:

a.para Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya
kepada Kepala Inspeksi Agraria. b.Panitya Penaksir harus sudah
menyampaikan taksiran ganti-kerugian yang dimaksudkan itu kepada
Kepala Inspeksi Agraria.

(3)Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para Kepala
Daerah dan taksiran ganti-kerugian sebagai yang dimaksud dalam ayat 2
pasal ini, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan
pencabutan hak itu kepada Menteri Agraria, dengan disertai
pertimbangannya pula.

(4)Jika di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan
dan/atau taksiran ganti-kerugian itu belum diterima oleh Kepala
Inspeksi Agraria, maka permintaan untuk melakukan pencabutan hak
tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak menunggu
pertimbangan Kepala Daerah dan/atau taksiran ganti-kerugian Panitya
Penaksir.

(5)Dalam hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi
Agraria di dalam pertimbangannya mencantumkan pula keterangan tentang
taksiran ganti-kerugian itu.

(6)Oleh Menteri Agraria permintaan tersebut diatas dengan disertai
pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta pertimbangan
Menteri yang bersangkutan, segera diajukan kepada Presiden untuk
mendapat keputusan. *2799 Pasal 4.

Susunan, Honorarium dan tatakerja Panitya Penaksir yang dimaksud dalam
pasal 3 ditetapkan oleh Menteri Agraria.

Pasal 5.

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6 dan 8 ayat 3, maka
penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan baru dapat
dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden
sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 1 dan setelah dilakukan
pembayaran ganti-kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam
surat-keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 2 huruf c.

Pasal 6.

(1)Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat
mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang
bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan Kepala
Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan
hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai
taksiran ganti-kerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan
tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.

(2)Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria
dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan
keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan
untuk melakukan pencabutan hak itu.

(3)Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut
pada ayat 2 pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan
haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah
dan/atau benda-benda yang bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau
memberi ganti-kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.

Pasal 7.

(1)Surat-keputusan tentang pencabutan hak tersebut pada pasal 5 dan 6
dan tentang perkenan untuk menguasai tersebut pada pasal 6 ayat 1
diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya
disampaikan kepada yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang
haknya dicabut itu. Isinya diumumkan pula melalui surat-surat kabar.

(2)Biaya pengumuman tersebut pada ayat 1 pasal ini ditanggung oleh
yang berkepentingan.

Pasal 8.

(1)Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya
dicabut itu tidak bersedia menerima ganti-kerugian sebagai yang,
ditetapkan dalam surat-keputusan Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6,
karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, maka *2800 ia dapat minta
banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi
tempat letak tanah dan/ benda tersebut, agar pengadilan itulah yang
menetapkan jumlah ganti-kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutus soal
tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.

(2)Acara tentang penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan Tinggi
sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

(3)Sengketa tersebut pada ayat 1 pasal ini dan sengketa-sengketa
lainnya mengenai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak
menunda jalannya pencabutan hak dan penguasannya.

(4)Ketentuan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini berlaku pula, jika yang
bersangkutan tidak menyetujui jumlah ganti -kerugian yang dimaksudkan
dalam pasal 6 ayat 3.

Pasal 9.

Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak tersebut pada
pasal 5 dan 6 dan setelah dilakukannya pembayaran ganti-kerugian
kepada yang berhak, maka tanah yang haknya dicabut itu menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk segera diberikan kepada yang
berkepentingan dengan suatu hak yang sesuai.

Pasal 10.

Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut diatas dapat dicapai
persetujuan jual-beli atau tukar-menukar, maka penjelasan dengan jalan
itulah yang ditempuh, walaupun sudah ada surat-keputusan pencabutan
hak.

Pasal 11

Jika telah terjadi pencabutan hak sebagai yang dimaksudkan dalam pasal
5 dan 6, tetapi kemudian ternyata, bahwa tanah dan/ atau benda yang
bersangkutan tidak dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya,
yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang
yang semula berhak atasnya diberi prioritet pertama untuk mendapatkan
kembali tanah dan/ atau benda tersebut.

Pasal 12.

Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Onteigeningsordonnantie
(Staatsblad 1920 Nomor 574), sebagai yang telah beberapa kali diubah
dan ditambah dicabut kembali.

Pasal 13.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatan di dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1961. *2801 Presiden
Republik Indonesia,

SOEKARNO.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1961. Sekretaris
Negara,

MOHD. ICHSAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TH 1961 TENTANG PENCABUTAN
HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA. PENJELASAN
UMUM.

(1) Menurut pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria maka untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan Undang-undang. (2) Pada azasnya maka jika diperlukan tanah
dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan
haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan
persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual-beli, tukar-menukar
atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat
membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya
meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali
untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Oleh karena kepentingan
umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang, maka jika
tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan
umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak
dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada
Pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak
sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria
tersebut di atas. Teranglah kiranya, bahwa pencabutan hak adalah jalan
yang terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang
diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam pada itu di dalam menjalankan
pencabutan hak tersebut kepentingan daripada yang empunya, tidak boleh
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu maka selain wewenang untuk
melakukan pencabutan hak, di dalam pasal 18 tersebut dimuat pula
jaminan-jaminan bagi yang empunya. Yaitu bahwa pencabutan hak harus
disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. (3) Kini peraturan yang
memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai pencabutan hak, yang
bertingkat Undang-undang, termuat dalam Staatsblad 1920 No. 574,
terkenal dengan sebutan "Onteigenings-ordonnantie" Ordonansi tersebut
telah beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan
Staatsblad 1947 No. 96, dengan maksud untuk menyesuaikannya dengan
perubahan keadaan dan keperluan. Tetapi biarpun demikian
Onteigenings-ordonnantie tetap tidak sesuai lagi dengan keperluan
dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak
"eigendom" yaitu hak perseorangan yang *2802 tertinggi menurut hukum
barat yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu
Onteigenings-ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi
perlindungan yang berlebih-lebihan atas hak-hak perseorangan.
Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut
ordonansi tersebut harus dilalui jalan yang panjang dan diperlukan
waktu yang lama, karena harus melalui, baik instansi legislatip,
eksekutip maupun pengadilan. Hanya dalam hal-hal tertentu (dalam
keadaan darurat dan untuk pembangunan perumahan rakyat) yaitu diadakan
acara yang lebih singkat. Hukum agraria baru yang bersumber pada
Undang-undang Pokok Agraria tidak lagi didasarkan atas hak
perseorangan, yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat itu.
Melainkan didasarkan atas pengertian, bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti, bahwa kepentingan
bersamalah yang harus didahulukan. Kepentingan persorangan harus
tunduk pada kepentingan umum. Berhubung dengan apa yang diuraikan
ditas, maka teranglah bahwa ketentuan-ketentuan
Onteigenings-ordonnantie harus diganti dengan peraturan baru, agar
sesuai dengan kadaaan dewasa ini. Lebih-lebih dalam melaksanakan
usaha-usaha pembangunan Negara dalam rangka menyelesaikan Revolusi
Nasional diperlukan adanya tindakan-tindakan dan penyelesaian yang
cepat. (4) a. Menurut peraturan yang baru ini penyelenggaraan
pencabutan hak tidak perlu melalui 3 instansi tersebut di atas, tetapi
segala sesuatu diputuskan oleh instansi Pemerintah, dalam hal ini
Presiden. Ini berarti bahwa Presidenlah (setelah mendengar
pertimbangan instansi-instansi daerah, Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan) yang mempertimbangkan dan
menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya
pencabutan hak. Presidenlah yang memutuskan dilakukannya pencabutan
hak itu dan menetapkan besarnya ganti-kerugian yang harus dibayar
kepada yang berhak. Hanya jika yang berhak itu tidak bersedia menerima
ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggapnya
kurang layak, maka ia dapat minta bantuan kepada Pengadilan Tinggi,
agar Pengadailan itulah yang menetapkan jumlah ganti kerugian
tersebut. Tetapi bagaimanapun juga pencabutan hak itu sendiri tidak
dapat diganggu gugat di muka pengadilan ataupun dihalang- halangi
pelaksanaannya. Mempertimbangkan dan memutuskan hal tersebut adalah
semata-mata wewenang Presiden. b. Umumnya pencabutan hak diadakan
untuk keperluan usaha-usaha Negara (Pemerintah Pusat dan Daerah),
karena menurut Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria hal itu hanya
dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Tetapi biarpun demikian,
ketentuan-ketentuan Rancangan Undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan
hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar
untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang
diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu
usaha swasta tersebut rencanya harus disetujui Pemerintah dan sesuai
dengan pola pembangunan nasional semesta berencana. Contoh dari pada
kepentingan umum itu misalnya *2803 pembuatan jalan raya, pelabuhan,
bangunan untuk industri dan pertamabangan, perumahan dan kesehatan
rakyat serta lain-lain usaha dalam rangka pelaksanaan pembangunan
nasional semesta berencana. Jika untuk menyelesaikan sesuatu soal
pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat, Pemerintah memandang perlu
untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya, maka, jika
pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan atas
dasar musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu
kepentingan umum untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak. c.
Rancangan Undang-undang ini memuat 2 macam acara pencabutan hak, yaitu
acara biasa dan acara untuk keadaan yang sangat mendesak, yang
memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan
dengan segera. Dalam acara biasa maka: 1 .Yang berkepentingan harus
mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu kepada
Presiden, dengan perantaraan Menteri agraria, melalui Kepala Inspeksi
Agraria yang bersangkutan.

2. Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu
diperlengkapi dengan pertimbangan para Kepala Daerah yang bersangkutan
dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran itu dilakukan oleh suatu
Panitya Penaksir, yang anggota-anggotanya mengangkat sumpah. Di dalam
pertimbangan tersebut dimuat pula soal penampungan orang-orang yang
haknya akan dicabut itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan
orang-orang yang menempati rumah atau menggarap tanah yang
bersangkutan. Yaitu orang-orang yang karena pencabutan hak tersebut
akan kehilangan tempat tinggal dan/atau sumber nafkahnya.

3. Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala Daerah
dan taksiran ganti kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala Inspeksi
Agraria kepada Menteri Agraria, disertai pertimbangannya pula.

4. Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden untuk
mendapat keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan pertimbangan
Menteri Kehakiman serta Menteri yang bersangkutan, yaitu Menteri yang
bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan
hak itu. Menteri Kehakiman terutama akan memberi pertimbangan ditinjau
dari segi hukumnya, sedang Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi
usaha yang meminta dilakukannya pencabutan yang diminta itu
benar-benar, diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh di
tempat lain.

5. Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat
dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden dan
setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang ditetapkan oleh
Presiden serta diselenggarakannya penampungan orang-orang yang
dimaksudkan di atas. Dalam keadaan yang sangat mendesak yang
memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan
dengan segera, maka pencabutan hak khususnya penguasaan tanah dan/atau
benda itu dapat diselenggarakan melalui acara khusus yang lebih cepat,
keadaan yang sangat mendesak itu misalnya, jika terjadi wabah atau
bencana alam, yang memerlukan penampungan para korbannya dengan
segera. Dalam hal ini maka permintaan untuk melakukan pencabutan hak
diajukan oleh Kepala Inspeksi Agraria kepada Menteri Agraria *2804
tanpa disertai taksiran ganti kerugian Panitya Penaksir dan kalau
perlu dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
Menteri Agraria kemudian dapat memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk segera menguasai tanah dan/atau benda tersebut,
biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan pencabutan haknya dan
ganti kerugiannyapun belum dibayar. (6) Sebagaimana telah dikemukakan
diatas, maka kepada yang berhak atas tanah dan/atau benda yang haknya
dicabut itu akan diberikan ganti-kerugian, yang ditetapkan oleh
Presiden, atas usul suatu Panitya Penaksir, yang anggota-anggotanya
mengangkat sumpah. Jumlah ganti kerugian itu menurut pasal 18
Undang-undang Pokok Agraria haruslah layak. Ganti kerugian yang layak
itu akan didasarkan atas nilai yang nyata / sebenarnya dari tanah atau
benda yang bersangkutan. Harga yang didasarkan atas nilai yang
nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga
umum bisa merupakan harga"Catut". Tetapi sebaliknya harga tersebut
tidak pula berarti harga yang murah. Tidak hanya orang yang berhak
atas tanah atau yang haknya dicabut itu saja yang akan mendapat ganti
kerugian. Tetapi orang-orang yang menempati rumah atau menggarap tanah
yang bersangkutan akan diperhatikan pula. Misalnya mereka akan diberi
ganti tempat tinggal atau tanah garapan lainnya. Atau jika itu tidak
mungkin dilaksanakan, akan diberi ganti kerugian berupa uang atau
fasilitet-fasilitet tertentu, misalnya transmigrasi. Pembayaran ganti
kerugian kepada yang berhak perlu dilakukan di muka beberapa orang
saksi, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. (6)
Bagaimanakah kalau yang empunya tidak bersedia menerima ganti kerugian
yang ditetapkan oleh Presiden karena dianggapnya jumlahnya kurang
lauak? Sebagai telah diterangkan di atas maka yang empunya dapat minta
kepada Pengadilan Tinggi agar pengadilan itulah yang menetapkan ganti
kerugian tersebut. Untuk itu akan diadakan ketentuan hukum acara yang
khusus, agar penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan tersebut dapat
diperoleh dalam waktu yang singkat. Tetapi biarpun demikian
penyelesaian soal ganti-kerugian melalui pengadilan itu tidak menunda
jalannya pencabutan hak. Artinya setelah ada keputusan Presiden
mengenai pencabutan hak itu maka tanah dan/atau benda-bendanya yang
bersangkutan dapat segera di kuasai, dengan tidak perlu menunggu
keputusan Pengadilan Negeri mengenai sengketa tersebut. Teranglah
kiranya, bahwa kepentingan dari yang berhak atas tanah dan/atau benda
yang dicabut haknya itu mendapat perhatian pula sebagaimana mestinya.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Oleh karena pencabutan hak itu merupakan tindakan yang sangat penting,
karena berakibat mengurangi hak seseorang, maka yang memutuskannya
adalah penjabat Eksekutip yang tertinggi, yaitu Presiden.

Pasal 2.

Yang dimaksud dengan "yang berkepentingan" ialah fihak untuk *2805
siapa pencabutan hak akan dilakukan. Orang-orang yang karena
pencabutan hak itu akan kehilangan tempat tinggal atau sumber
nafkahnya perlu mendapat penampungan, baik ia itu bekas pemilik tanah
atau rumah yang bersangkutan maupun penggarap atau penyewanya.
Penampungan itu bisa berupa pemberian ganti tempat tinggal atau tanah
garapan lainnya. Jika hal itu tidak mungkin diselenggarakan karena di
daerah yang bersangkutan tidak ada rumah atau tanah yang tersedia,
maka orang-orang tersebut misalnya dapat diberi prioritet untuk
bertransmigrasi, dengan memperhatikan sumber nafkah berdasarkan bakat
dan keahliannya.

Pasal 3.

Pembatasan waktu untuk menyampaikan pertimbangan bertujuan supaya soal
permohonan pencabutan hak dapat diselesaikan di dalam waktu yang
singkat. Di dalam menyiapkan pertimbangannya Kepala Daerah wajib
bermusyawarah dengan instansi-instansi daerah yang bersangkutan .

Pasal 4.

Panitya Penaksir ini anggota-anggotanya akan terdiri dari
penjabat-penjabat yang ahli, misalnya dari Jawatan Pendaftaran Tanah,
Pajak, pekerjaan Umum dan lain sebagainya. Demikian juga akan duduk
sebagai anggota seorang anggota dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Di dalam melaksanakan tugasnya
Panitia wajib mendengar pendapat golongan-golongan rakyat yang
bersangkutan. Misalnya di dalam menaksir harga tanah pertanian harus
didengar pendapat wakil-wakil golongan kerja tani.

Pasal 5.

Sudah diuraikan di dalam Penjelasan Umum.

Pasal 6.

Pasal ini memuat ketentuan mengenai acara pencabutan hak yang khusus
sebagai yang telah diuraikan di dalam Penjelasan Umum. Dalam keadaan
yang sangat mendesak maka dapatlah dilakukan penguasaan tanah a
dan/atau benda yang diperlukan itu dengan segera, dengan tidak perlu
menunggu selesainya acara pencabutan hak seluruhnya. Tetapi penguasaan
sebelum adanya keputusan mengenai pencabutan hak itu ada risikonya
bagi yang berkepentingan, yaitu bilamana permintaan untuk melakukan
pencabutan hak tersebut kemudian tidak dikabulkan. Di dalam hal yang
demikian maka tanah dan/atau benda yang bersangkutan harus
dikembalikan dalam keadaan semula dan/atau harus diberikan ganti
kerugian yang sepadan kepada yang empunya. Oleh karena itu maka
penggunaan kesempatan untuk melaksanakan penguasaan dengan segera
menurut ketentuan-ketentuan pasal 6 ini haruslah atas permintaan yang
bersangkutan sendiri dan keputusan penguasaan tersebut harus segera
diikuti dengan keputusan mengenai dikabulkan atau tidaknya permintaan
pencabutan haknya. Bahwa pemberian perekenan oleh Menteri Agraria
untuk menguasai tanah dan/atau benda yang diperlukan itu tidak selalu
diikuti dengan keputusan-pencabutan hak, disebabkan misalnya, karena
pemberian perkenan tersebut mungkin didasarkan atas *2806 bahan-bahan
yang tidak lengkap, karena keputusannya harus diambil di dalam waktu
yang singkat. Pencabutan hak menurut pasal inipun disertai ganti
kerugian yang layak.

Pasal 7.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 8.

Sudah diuraikan didalam Penjelasan Umum. Yang dimaksud dengan
"sengketa-sengketa lainnya" itu ialah misalnya sengketa mengenai siapa
yang berhak atas tanah dan/atau benda yang haknya dicabut itu. Jika
ada perselisihan mengenai hal itu maka penguasaan tanah dan/atau benda
yang bersangkutan tidak perlu ditangguhkan sampai ada keputusan dari
pengadilan, asal sudah ada keputusan pencabutan hak dari Presiden dan
uang ganti kerugiannya sudah disediakan. Dalam pada itu perlu dicegah
jangan sampai sengketa-sengketa yang diajukan,kepada pengadilan
tersebut menimbulkan ketegangan, yang menyebabkan terlantarnya
orang-orang yang bersangkutan.

Pasal 9.

Oleh karena hak-hak tertentu menurut hukum agraria yang baru tidak
dapat dipunyai oleh setiap orang atau badan (misalnya hak milik hanya
dapat dipunyai oleh badan-badan hukum yang ditunjuk menurut pasal 21
ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria) maka tanah-tanah yang haknya
dicabut itu lebih dahulu dinyatakan menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, yaitu setelah:

a. ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak dan
b. dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak. Baru
kemudian tanah tersebut diberikan kepada yang berkepentingan dengan
suatu hak yang sesuai.

Pasal 10.

Ketentuan dalam pasal ini sesuai dengan apa yang telah diuraikan
didalam Penjelasan Umum, bahwa pencabutan hak adalah jalan yang
terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda-benda yang diperlukan
itu. Oleh karena itu jika dapat dicapai persetujuan dengan yang
empunya, maka sudah sewajarnya, bahwa cara pengambilan yang disetujui
itulah yang ditempuh , sungguhpun acara pencabutan haknya sudah
dimulai atau sudah ada surat keputusan pencabutan hak sekalipun.

Pasal 11.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 12.

Onteigeningsordonnantie tahun 1920 tidak hanya mengatur pencabutan hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, tetapi mengenai pula
benda-benda lainnya, yang dulu disebut "benda-benda bergerak". Oleh
karena dalam keadaan bisa tidak dirasakan adanya keperluan untuk
melakukan pencabutan hak atas benda-benda tersebut, maka *2807
Onteigeningsordonnantie itu dapatlah dicabut seluruhnya. Dalam keadaan
darurat (misalnya jika terjadi bencana alam, peperangan dan lain
sebagainya) pencabutan hak yang dimaksudkan itu dapat dilakukan atas
dasar ketentuan-ketentuan Peraturan Keadaan Bahaya.

Pasal 13.

Tidak memerlukan penjelasan.

--------------------------------

CATATAN

*) Disetujui D.P.R.G.R. dalam rapat pleno terbuka ke-2 pada hari Rabu
tanggal 13 September 1961, P.145/1961

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________

Tidak ada komentar: