Rabu, 30 April 2008

Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman

UU 8/1992, PERFILMAN

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:8 TAHUN 1992 (8/1992)

Tanggal:30 MARET 1992 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a.bahwa Film sebagai media komunikasi massa pandangdengar mempunyai
peranan penting bagi pengembangan budaya bangsa sebagai salah satu
aspek peningkatan ketahanan nasional dalam pembangunan nasional,
b.bahwa perfilman yang merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung
peranan film tersebut di atas memerlukan sarana hukum dan upaya yang
lebih memadai bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia;
c.bahwa Filmordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 507) dan
Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2622) sudah tidak lagi memenuhi tuntutan perkembangan keadaan dan
kebutuhan bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia;
d.bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengatur perfilman dalam Undang-undang;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 32, dan Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, *6408
piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam
segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik, dan/atau lainnya;

2.Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan,
jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan,
dan/atau penayangan film;

3.Jasa teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau
peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha
pembuatan reklame film;

4.Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan
reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh
maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.

BAB II DASAR, ARAH, DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Sesuai dengan dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, perfilman di Indonesia diarahkan kepada: a.pelestarian dan
pengembangan nilai budaya bangsa; b.pembangunan watak dan kepribadian
bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia; c.pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa; d.peningkatan kecerdasan bangsa;
e.pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman; f.keserasian dan
keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman;
g.terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan; h.penyajian
hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha
bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan
dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 4

Perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara dan
mengembangkan budaya bangsa dengan tujuan menunjang terwujudnya tujuan
pembangunan nasional.

BAB III FUNGSI DAN LINGKUP

Pasal 5

Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi
penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan
ekonomi.

Pasal 6

*6409 Lingkup Undang-undang ini meliputi seluruh film, kecuali film
berita yang ditayangkan melalui media elektronik.

Pasal 7

(1)Film merupakan karya cipta seni dan budaya yang dilindungi
berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta. (2)Film terikat kewajiban serah simpan berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam.

BAB IV USAHA PERFILMAN Bagian Pertama Umum

Pasal 8

(1)Usaha perfilman dilaksanakan atas asas usaha bersama dan
kekeluargaan serta asas adil dan merata guna mencegah timbulnya
pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu
kelompok. (2)Usaha perfilman meliputi: a.pembuatan film; b.jasa teknik
film; c.ekspor film; d.impor film; e.pengedaran film; f.pertunjukan
dan/atau penayangan film.

Pasal 9

(1)Usaha perfilman di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh warga
negara Indonesia dalam bentuk badan usaha yang berstatus badan hukum
Indonesia yang bergerak di bidang usaha perfilman. (2)Badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin usaha
perfilman. (3)Izin usaha perfilman berlaku selama badan usaha yang
bersangkutan masih melakukan kegiatan di bidang perfilman.
(4)Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk memperoleh izin usaha
perfilman diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan kode etik yang disusun dan ditetapkan oleh
masyarakat perfilman sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan
penyelenggaraan perfilman.

Pasal 11

Dalam melakukan kegiatan, perusahaan perfilman wajib menggunakan
kemampuan nasional yang telah tersedia.

Pasal 12

*6410 (1)Dalam rangka pengembangan perfilman Indonesia, perusahaan
perfilman dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing
atas dasar izin. (2)Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah kerjasama dalam pembuatan film, termasuk penyediaan jasa
tertentu di bidang teknik film, ataupun penggunaan artis dan karyawan
film asing. (3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam.ayat
(1) dan ayat (2), termasuk syarat dan tata cara memperoleh izin
kerjasama, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pembuatan Film

Pasal 13

(1)Pembuatan film didasarkan atas kebebasan berkarya yang bertanggung
jawab. (2)Kebebasan berkarya dalam pembuatan film sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan
penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan
nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia.

Pasal 14

(1)Usaha pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2). (2)Pembuatan film untuk tujuan khusus dikecualikan dari
ketentuan dalam ayat (1). (3)Pembuatan film oleh pihak asing yang
menggunakan lokasi di Indonesia dapat dilakukan atas dasar izin.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan film sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) serta syarat dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1)Pembuatan reklame film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan
pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang reklame
film maupun oleh perseorangan. (2)Pembuatan reklame film dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
serta memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang direklamekan.

Pasal 16

Dalam pembuatan film, artis dan karyawan film berhak mendapatkan
jaminan sosial dan perlindungan hukum lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehubungan dengan kegiatan
dan peran yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya
dengan perusahaan pembuatan film.

Bagian Ketiga Jasa Teknik Film

Pasal 17

*6411 Usaha jasa teknik film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
jasa teknik film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 18

Usaha jasa teknik film meliputi: a.studio pengambilan gambar; b.sarana
pembuatan film; c.laboratorium pengolahan film; d.sarana penyuntingan
film; e.sarana pengisian suara film; f.sarana pemberian teks film;
g.sarana pencetakan/penggandaan film; h.sarana lainnya yang mendukung
pembuatan film.

Bagian Keempat Ekspor Film

Pasal 19

Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film atau
perusahaan pembuatan film atau perusahaan pengedar film yang memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dengan memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kelima Impor Film

Pasal 20

Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film yang
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dengan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21

(1)Impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan pertunjukan
dan penayangan film di dalam negeri yang jumlahnya harus seimbang
dengan peningkatan produksi film Indonesia. (2)Film impor isinya harus
bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan penyelenggaraan
perfilman serta memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma
yang berlaku di Indonesia.

Pasal 22

Impor film dilakukan melalui kantor pabean di tempat kedudukan lembaga
sensor film.

Pasal 23

(1)Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik atau
badan-badan internasional yang diakui Pemerintah hanya diperuntukkan
bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan dan tidak dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, kecuali atas dasar
izin. (2)Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya
*6412 dapat dilakukan berdasarkan izin. (3)Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemasukan film, syarat, dan tata cara untuk memperoleh izin
pertunjukan dan/atau penayangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Pengedaran Film

Pasal 24

Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar
film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 25

Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan lulus
sensor oleh lembaga sensor film.

Pasal 26

(1)Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai
keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat di
daerah yang bersangkutan. (2)Pengaturan mengenai pengedaran film
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Pertunjukan dan Penayangan Film

Pasal 27

(1)Usaha pertunjukan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
pertunjukan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2). (2)Usaha penayangan film hanya dapat dilakukan olch
perusahaan penayangan film yang memiliki izin usaha perfilman sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28

(1)Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat
yang diperuntukkan bagi pertunjukan film. (2)Pertunjukan film, selain
di tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan bukan oleh
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), hanya dapat
dilakukan untuk tujuan tertentu. (3)Penayangan film dilakukan melalui
stasiun pemancar penyiaran atau perangkat clektronik lainnya yang
khusus ditujukan untuk menjangkau khalayak pemirsa. (4)Ketentuan
mengenai pertunjukan dan penayangan film sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 29

(1)Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan *6413 penggolongan
usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan.
(2)Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3),
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton
yang penayangannya disesuaikan dengan waktu yang tepat.

Pasal 30

Pertunjukan dan penayangan reklame film selain memperhatikan ketentuan
Pasal 29, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang
direklamekan.

Pasal 31

(1)Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran
dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan
gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau'
keselarasan hidup masyarakat. (2)Produser atau pemilik film yang
terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan
pembelaan melalui saluran hukum.

Pasal 32

Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), hanya dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan untuk masyarakat apabila: a.telah
lulus sensor; b.tidak dipungut bayaran.

BAB V SENSOR FILM

Pasal 33

(1)Untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, setiap film dan
reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau
ditayangkan wajib disensor. (2)Penyensoran dapat mengakibatkan bahwa
sebuah film: a.diluluskan sepenuhnya; b.dipotong bagian gambar
tertentu; c.ditiadakan suara tertentu; d.ditolaknya seluruh film;
untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan.
(3)Sensor film dilakukan, baik terhadap film dan reklame film yang
dihasilkan oleh perusahaan pembuatan film maupun terhadap film impor.
(4)Film dan reklame film yang telah lulus sensor diberi tanda lulus
sensor oleh lembaga sensor film. (5)Selain tanda lulus sensor, lembaga
sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang
bersangkutan. (6)Film, reklame film, atau potongannya yang ditolak
oleh lembaga sensor film dilarang diedarkan, diekspor, dipertunjukkan,
dan/atau ditayangkan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan/atau
penegakan hukum. (7)Terhadap film yang ditolak oleh lembaga sensor
film, perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan
atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan pertimbangan
dalam masalah perfilman. *6414 Pasal 34

(1)Penyensoran film dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33, dilakukan oleh sebuah lembaga sensor film. (2)Penyelenggaraan
sensor film dan reklame film dilakukan berdasarkan pedoman dan
kriteria penyensoran. (3)Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan,
tugas, dan fungsi lembaga sensor film, serta pedoman dan kriteria
penyensoran diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 35

(1)Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam berkreasi,
berkarya, dan berusaha di bidang perfilman. (2)Peranserta warga negara
dan/atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan
dan pengembangan mutu perfilman, kemampuan profesi insan perfilman,
apresiasi masyarakat, dan penangkalan berbagai pengaruh negatif di
bidang perfilman nasional.

BA13 VII PEMBINAAN PERFILMAN

Pasal 36

(1)PemerinLah melakukan pembinaan dan pembimbingan yang diperlukan
dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi
perkembangan perfilman. (2)Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
perfilman Indonesia untuk: a.mewujudkan iklim usaha yang mampu
meningkatkan kemampuan produksi dan mutu perfilman; b.menghindarkan
persaingan yang tidak sehat dan mencegah timbulnya pemusatan dan
penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu kelompok yang
merugikan usaha dan perkembangan perfilman pada umumnya; c.melindungi
pertumbuhan dan perkembangan perfilman Indonesia dalam arti yang
seluas-luasnya; d.menjaga agar perkembangan perfilman Indonesia dapat
tetap berjalan sesuai dengan arah penyelenggaraan perfilman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; e.meningkalkan sumber daya
masyarakat perfilman yang profesional melalui pendidikan, sarana, dan
prasarana perfilman sehingga tercipta suasana yang mendorong
meningkatnya kreativitas yang mampu melahirkan karya film yang
bermutu.

Pasal 37

(1)Dalam rangka pembinaan perfilman, Pemerintah membentuk badan yang
berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan serta memberikan putusan atas
keberatan terhadap film yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (7). (2)Susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), *6415 terdiri dari unsur Pemerintah, masyarakat perfilman,
para ahli di bidang pendidikan, kebudayaan, agama, dan perfilman,
serta wakil organisasi perfilman dan organisasi kemasyarakatan lainnya
yang dipandang perlu. (3)Ketentuan mengenai pembentukan, kedudukan,
tugas, fungsi, dan susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII PENYERAHAN URUSAN

Pasal 38

(1)Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang
perfilman kepada Pemerintah Daerah. (2)Ketentuan mengenai penyerahan
sebagian urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PENYIDIKAN

Pasal 39

(1)Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perfilman sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini. (2)Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang: a.melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perfilman; b.melakukan pemeriksaan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perfilman;
c.meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perfilman; d.memeriksa orang
untuk didengar keterangannya sebagai saksi; e.melakukan pemeriksaan
atas alat-alat atau bahan dan barang lain yang berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perfilman; f.melakukan pemeriksaan di tempat tertentu
yang diduga terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perfilman; g.meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perfilman. (3)Pelaksanaan lebih lanjut dari kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 40

*6416 Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :

a.barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan
dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh
lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
b.barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan
dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang
ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (6); atau
c.barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan
dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal 41

(1)Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) :

a.barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin (usaha perfilman)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 24, dan Pasal 27; atau
b.barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan atau
menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1); atau
c.barang siapa melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (2)Ancaman
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah sepertiga jika
perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin usaha perfilman,
mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film
dan/atau reklame film yang tidak memiliki tanda lulus sensor.

Pasal 42

(1)Atas perintah pengadilan, film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf a dan b, disita untuk dimusnahkan, sedangkan film sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf c dan reklame film sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b, dapat disita untuk negara. (2)Film
dan reklame film yang disita untuk negara dapat disimpan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya
Cetak dan Karya Rekam.

Pasal 43

(1)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 adalah kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 adalah
pelanggaran.

Pasal 44

(1)Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan Pasal 41, terhadap perusahaan/badan usaha yang tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14 ayat (3), Pasal
15 ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 33 ayat (5)
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi denda
dan/atau sanksi *6417 administratif. (2)Ketentuan lebih lanjut tentang
sanksi administratif, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45

Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di
bidang perfilman yang dikeluarkan berdasarkan Filmordonnantie 1940
(Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun
1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) serta badan atau lembaga yang
telah ada, tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang
tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB XII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Filmordonnantie 1940
(Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun
1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 47

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1992 PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1992 MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1992
TENTANG PERFILMAN

UMUM

*6418 Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa
kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan
cipta, rasa dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya
upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat
sebagai bangsa serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada
pembangunan nasional dalam segenap kehidupan bangsa. Budaya bangsa
yang merupakan pencerminan nilai-nilai luhur bangsa terus dipelihara,
dibina dan dikembangkan guna. memperkuat penghayatan dan pengamalan
Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, mempertebal rasa harga diri
dan kebanggaan nasional, serta memperkokoh jiwa persatuan dan
kesatuan. Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan
media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya
diarahkan untuk mampu memantapkan nilai-nilai budaya bangsa,
menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh
persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan
bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang pada
gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional. Dengan bertolak dari
pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan
sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat
upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman bukan saja
dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film
Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga
mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan
hiburan. Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila
dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman
Indonesia sudah tidak memadai karena hanya mengatur segi-segi tertentu
dalam kegiatan perfilman secara terpisah, yang seringkali tidak
berkaitan satu dengan yang lain. Maka, berdasarkan hal tersebut,
disusunlah Undang-undang tentang Perfilman. Melalui Undang-undang ini,
upaya pengaturan perfilman Indonesia diusahakan agar tidak saja
menjangkau seluruh aspek perfilman, tetapi juga diarahkan pada
perwujudan tatanan kehidupan perfilman secara utuh. Pengaturan
perfilman dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok
pemikiran sebagai berikut : 1.Menegaskan secara jelas bahwa Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan
konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan
mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah satu
sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu memperkuat
kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan hidup bangsa serta
nilai budaya bangsa.

2.Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu menjaga
keseimbangan antara aspek idiil sebagaimana diarahkan oleh GBHN dan
aspek ekonomi dalam usaha perfilman yang dalam pengembangannya harus
tetap sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

3.Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonesia,
pembinaan dan pengembangan perfilman dilakukan terhadap berbagai
kegiatan perfilman secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi
sampai dengan tahap pertunjukan atau penayangannya dalam suatu mata
rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai
kepentingan, melalui berbagai perizinan sehingga tercapai hasil yang
optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan
perfilman. Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upaya
menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film *6419
Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha
dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya
tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat ataupun
pemusatan pada satu tangan atau satu kelompok.

4.Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap
berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta
melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan, maka
setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau
ditayangkan harus disensor terlebih dahulu.

5.Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka tindak
pidana di bidang perfilman diberi sanksi yang cukup berat. Dengan
latar belakang pemikiran tadi, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun
1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang
Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar
(audio-visual) dalam Undang-undang ini ialah : a.yang dibuat dengan
bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi, yang lazim disebut
film; b.yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video
melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video; c.yang
dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui proses lainnya sebagai
hasil perkembangan teknologi, dikelompokkan sebagai media komunikasi
massa pandang-dengar.

Angka 2 Cukup jelas

Angka 3 Cukup jelas

Angka 4 Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Arah dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan agar
perfilman Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai
dengan fungsinya. Dengan arah tersebut, perfilman Indonesia dibina dan
dikembangkan sehingga terhindar dari ciri-ciri yang merendahkan nilai
budaya, mengganggu upaya pembangunan watak dan kepribadian, memecah
kesatuan dan persatuan bangsa, *6420 mengandung unsur pertentangan
antar suku, agama, ras, dan asal-usul, ataupun menimbulkan gangguan
terhadap ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya. Dengan arah itu
pula, sebaliknya diupayakan agar potensi nasional di bidang perfilman
dapat berkembang dan maju dalam kerangka keserasian dan keseimbangan
usaha antar unsur perfilman pada umumnya.

Pasal 4

Film sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang penting
bagi pengembangan budaya bangsa; untuk itu, perlu terus dipelihara,
dibina, dan dikembangkan sehingga mampu menjadi salah satu sarana
penunjang pembangunan nasional.

Pasal 5

Undang-undang ini mengakui adanya fungsi-fungsi film tersebut sebagai
kenyataan dan keperluan. Lihat pula Penjelasan Umum. Oleh karena itu,
fungsi-fungsi tersebut dikembangkan secara seimbang.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan film berita adalah rekaman kejadian/peristiwa
aktual yang dibuat dalam bentuk film dan ditayangkan melalui media
elektronik. Pengaturan lebih lanjut mengenai film berita diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang tentang Serah Simpan Karya
Cetak dan Karya Rekam, film merupakan salah satu jenis karya rekam
yang salinan rekamannya (copynya) wajib diserahkan kepada
instansi/lembaga penyimpan yang ditunjuk dalam undang-undang tersebut.

Pasal 8

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Pada hakikatnya, usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu
perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman
berskala kecil seperti usaha pertunjukan film secara berkeliling dan
usaha penjualan dan/atau penyewaan rekaman dalam bahan *6421 pita
video atau piringan video, disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)

Izin usaha perfilman dimaksud adalah izin yang dikeluarkan oleh
Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan
perfilman.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 10

Oleh karena banyaknya unsur yang terlibat dalam kegiatan perfilman dan
eratnya keterkaitan antara satu dengan yang lain, wajarlah apabila
kegiatan masyarakat perfilman itu berlandaskan kode etik yang harus
ditaati bersama. Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan
aspek keahlian saling melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat dijangkau
oleh ketentuan yang bersifat formal. Masyarakat perfilman adalah
himpunan sekelompok warga negara Indonesia berdasarkan kesamaan
profesi dan/atau kegiatan di bidang perfilman. Kode etik adalah norma
dan asas yang disepakati dan diterima oleh masyarakat perfilman secara
tertulis sebagai landasan dan ukuran tingkah laku yang harus dipatuhi
oleh insan perfilman dalam menjalankan profesinya masing-masing.

Pasal 11

Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya, baik
manusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia. Sumber
daya manusia, antara lain, terdiri dari produser, karyawan film, dan
artis film. Potensi dan fasilitas, antara lain, dapat berupa kekayaan
dan keindahan alam, jasa teknik, dan hasil budaya bangsa. Ketentuan
ini dimaksudkan agar perusahaan perfilman menghargai, ikut memiliki,
serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan nasional yang tersedia.

Pasal 12

Ayat (1)

Sekalipun ketentuan ini tidak memberikan kesempatan kepada warga
negara asing, tidak tertutup kemungkinan adanya kerjasama di bidang
pembuatan film atau kegiatan lainnya, yang pada dasarnya tidak dalam
arti membentuk perusahaan patungan.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

*6422 Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kebebasan berkarya adalah kebebasan untuk
menghasilkan karya berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa,
ataupun karsa, baik dalam bentuk, makna, ataupun caranya. Dengan
kebebasan berkarya, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas
perfilman dalam rangka pengembangan budaya bangsa. Yang dimaksud
dengan bertanggung jawab adalah mengacu pada akibat yang ditimbulkan
oleh hasil karya tersebut dalam kaitannya dengan arah dan tujuan
penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal
4.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan nilai-nilai keagamaan adalah nilai-nilai
universal yang terdapat dalam setiap agama. Pancantuman nilai-nilai
keagamaan itu tidak dimaksudkan untuk menghambat kreativitas dalam
berkarya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pembuatan film meliputi kegiatan membuat film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, baik dalam bentuk film
cerita maupun film noncerita.

Ayat (2)

Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh instansi
Pemerintah, lembaga, atau organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas
dan fungsinya, seperti film-film penyuluhan pertanian, kesehatan, atau
film yang dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan; misalnya,
film-film acara perkawinan dan ulang tahun.

Ayat (3)

Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia,
baik sebagian maupun seluruhnya dapat dilakukan atas dasar izin dari
Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan
perfilman. Dalam pembuatan film dimaksud, diusahakan sedapat mungkin
untuk mengikutsertakan tenaga-tenaga Indonesia di tempat lokasi.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan reklame film adalah sarana publikasi dan promosi
film, baik yang berbentuk iklan, poster, *6423 stillphoto, slide,
klise, triler, banner, pamflet, brosur, ballyhoo, folder, plakat
maupun sarana publikasi dan promosi lainnya. Pembuatan reklame film
dilakukan oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan lain yang
bergerak di bidang reklame film. Mengingat beberapa jenis dan bentuk
reklame film pada kenyataannya dibuat oleh perseorangan berdasarkan
keahlian, pembuatan reklame film dapat pula dilakukan oleh usaha-usaha
berskala kecil ataupun perseorangan.

Ayat (2)

Pembuatan reklame film wajib memperhatikan kesesuaian isi film yang
direklamekan; dimaksudkan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati
film yang isinya sesuai dengan reklame film yang bersangkutan.

Pasal 16

Artis film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan dari
kegiatan yang berhubungan dengan pemeranan tokoh-tokoh dalam cerita
film. Karyawan film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan
karena melakukan karya kreatif dan artistik dalam pembuatan film dan
reklame film. Hubungan hukum antara artis dan karyawan film dengan
perusahaan pembuatan film dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di
antara mereka. Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya
jaminan dan perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi
bagi artis dan karyawan berkenaan dengan hal-hal yang bertalian dengan
segi-segi profesi ataupun peran yang dimainkannya. Dengan demikian,
setiap perjanjian kerja antara artis atau karyawan dan perusahaan
pembuatan film harus memuat tentang jaminan sosial tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun bentuk
perlindungan hukum lainnya, misalnya, apabila seorang artis merasa
bahwa peran dalam suatu adegan bukanlah karya yang dimainkannya dan
hal tersebut dinilainya merugikan dirinya secara profesi atau moral,
maka artis yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan
perjanjian kerja yang dimilikinya.

Pasal 17

Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan jasa
teknik, namun perusahaan pembuatan film dapat pula melakukan usaha
jasa teknik untuk film produksinya sendiri.

Pasal 18

Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c

*6424 Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film adalah tempat
memproses pita seluloid yang telah berisi rekaman gambar (exposed)
sehingga menjadi film negatif induk.

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas

Huruf f Cukup jelas

Huruf g

Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan dari film
negatif induk menjadi sejumlah salinan rekaman (copy) positif.
Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau piringan video
dan/atau hasil penemuan teknologi lainnya.

Huruf h

Pencantuman sarana lainnya di sini dimaksudkan untuk menampung
perkembangan usaha jasa teknik pada masa yang akan datang sesuai
dengan perkembangan teknologi.

Pasal 19

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran
ekspor film yang sudah lulus sensor, baik oleh perusahaan ekspor
maupun oleh perusahaan yang menjualnya atau perusahaan yang berusaha
di bidang pengedaran film. Di samping memenuhi ketentuan perizinan di
bidang perfilman, perusahaan tersebut tetap harus memenuhi ketentuan
perizinan untuk ekspor.

Pasal 20

Berbeda dengan usaha ekspor film, usaha impor film hanya dapat
dilakukan oleh perusahaan impor yang memiliki izin usaha perfilman.
Hal ini disebabkan karena impor hanya dilakukan atas dasar
pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 21

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Dengan mengimpor film yang bermutu baik dan selaras dengan arah dan
tujuan perfilman diharapkan dapat merangsang pertumbuhan produksi dan
peningkatan mutu film Indonesia.

Pasal 22

*6425 Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan di tempat kedudukan
lembaga sensor film adalah di Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 23

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah film untuk tujuan
tertentu seperti film pendidikan, film instruksi, film untuk keperluan
seminar, atau festival yang tidak bersifat komersial.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 24

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran
pengedaran film secara langsung oleh perusahaan pembuatan film untuk
produksinya sendiri. Yang dimaksud dengan pengedaran meliputi kegiatan
penyebarluasan film dan reklame film kepada konsumen.

Pasal 25

Film yang dimaksud meliputi film dan reklame film, baik hasil produksi
perusahaan pembuatan film dalam negeri maupun film impor.

Pasal 26

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan agar film yang diedarkan tidak menimbulkan
dampak negatif yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan
nilai-nilai sosial budaya masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Pertunjukan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid yang
dilakukan melalui proyektor mekanik dalam gedung atau tempat yang
diperuntukkan bagi pertunjukan film.

Ayat (2)

Penayangan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid, pita
video, dan piringan video yang dilakukan melalui proyektor elektronik
dari stasiun pemancar penyiaran dan/atau perangkat elektronik lainnya.
*6426 Pasal 28

Ayat (1)

Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim disebut gedung
bioskop. Yang dimaksud dengan tempat adalah ruang yang bukan gedung,
yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.

Ayat (2)

Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan
tertentu seperti: a.kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara
perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penerangan/penyuluhan dan
hiburan yang dilakukan oleh Pemerintah atau badan-badan/organisasi
lainnya dengan tidak memungut bayaran; b.pertunjukan film secara
berkeliling dengan memungut bayaran.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Pengaturan penayangan film sesuai dengan penggolongan usia penonton
dilakukan sesuai dengan waktu yang tepat dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan Pemerintah dapat
menarik suatu film dari peredaran, pertunjukan, dan/atau penayangan
terhadap film yang telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan
ternyata menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau
keselarasan hidup masyarakat.

Ayat (2)

Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau
pemilik film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan
mengajukan gugatan terhadap *6427 pemerintah melalui peradilan.

Pasal 32

Untuk dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan bagi masyarakat
Indonesia, diperlukan izin dari departemen yang membidangi pembinaan
perfilman. Apabila pertunjukan dan/atau penayangan di luar lingkungan
perwakilan asing, diperlukan izin keramaian dan pertunjukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33

Ayat (1)

Film dan reklame film yang wajib disensor dalam ketentuan ini termasuk
yang akan ditayangkan oleh stasiun penyiaran televisi. Pengertian
reklame film mencakup film iklan yang memublikasikan/mempromosikan
barang dan jasa kepada khalayak. Tujuan sensor film adalah untuk
melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif pertunjukan
dan/atau penayangan film serta reklame film yang ternyata tidak sesuai
dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3)

Penyensoran terhadap film dan reklame film, baik produksi nasional
(termasuk yang akan diekspor) maupun film impor diperlakukan dengan
pedoman dan kriteria penyensoran yang sama.

Ayat (4)

Tanda lulus sensor, baik untuk film produksi nasional maupun film
impor, diberikan dengan cara dan bentuk yang sama yang akan diatur
oleh lembaga sensor film.

Ayat (5)

Penggolongan usia penonton bagi suatu film dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dari dampak negatif dalam rangka pembinaan
keluarga.

Ayat (6)

Film impor yang ditolak diumumkan di kantor lembaga sensor film. Film
nasional yang ditolak tidak diumumkan. Sebelum film itu ditolak,
lembaga sensor film memberikan kesempatan untuk memperbaiki film
tersebut dan kemudian dapat diajukan kembali untuk disensor.

Ayat (7)

Pengajuan keberatan atau pembelaan terhadap film atau *6428 reklame
film yang ditolak oleh lembaga sensor hanya berlaku bagi perusahaan
pembuatan film nasional.

Pasal 34

Ayat (1)

Kata sebuah dalam ketentuan ini diartikan bahwa lembaga sensor
merupakan lembaga tunggal (satu-satunya) yang sifatnya nasional.

Ayat (2)

Pedoman dan kriteria tersebut dimaksudkan selain untuk objektivitas
penilaian juga agar lembaga sensor mempunyai pegangan dalam
melaksanakan tugasnya.

Ayat. (3)

Lembaga sensor film yang dibentuk oleh Pemerintah bersifat
nonstruktural. Susunan keanggotaannya terdiri dari wakil Pemerintah
dan wakil masyarakat.

Pasal 35

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Wujud peranserta masyarakat dalam pengembangan mutu dan kemampuan
profesi insan perfilman, misalnya dalam pembentukan lembaga pendidikan
dan kritik film. Bentuk peningkatan apresiasi masyarakat, misalnya
festival film dan pekan film.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pembinaan adalah upaya yang dilakukan secara
terus-menerus dan berkesinambungan dalam arti yang seluas-luasnya
terhadap kegiatan perfilman. Pembimbingan diberikan melalui berbagai
kebijaksanaan dan upaya yang mendorong pengembangan dan kemajuan
perfilman Indonesia, seperti meningkatkan manfaat keberadaan
organisasi profesi perfilman, lembaga pendidikan, pengarsipan film,
festival film, kineklub, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film.

Ayat (2)

Tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim dan suasana yang
menguntungkan segi pertumbuhan dan pengembangan bidang usaha perfilman
ini pada dasarnya berada pada Pemerintah. Melalui pembinaan,
Pemerintah mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat, tidak
jujur, atau curang dalam usaha perfilman sehingga perfilman Indonesia
dapat *6429 berkembang sesuai dengan arah pembinaannya. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan pembinaan usaha perfilman dilakukan oleh
Pemerintah secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk mewujudkan arah
dan tujuan pembinaan perfilman.

Pasal 37

Ayat (1)

Pembentukan badan yang dimaksud dalam Undang-undang ini sebagai
penjabaran perlunya interaksi positif antara masyarakat perfilman,
Pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Badan ini bersifat
nonstruktural dan berfungsi sebagai pemberi pertimbangan yang
berkenaan dengan masalah-masalah perfilman kepada Menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Sebagian urusan pemerintahan yang dapat diserahkan adalah terutama di
bidang pembinaan dan perizinan untuk usaha perfilman tertentu,
misalnya izin usaha perfilman di bidang pertunjukan dan/atau
penayangan. Apabila terjadi suatu film dapat menimbulkan gangguan
keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan kehidupan
masyarakat di daerah tertentu, Pemerintah Daerah dapat melarang film
tersebut diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan di seluruh
atau sebagian wilayah administratifnya setelah terlebih dahulu
mendapat pertimbangan dari instansi yang terkait.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

*6430 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Perlakuan terhadap film dan reklame film yang disita untuk negara
cukup jelas, sedangkan film dan reklame film yang tidak disita untuk
negara hanya dapat diedarkan, dipertunjukkan, dan/ atau ditayangkan
setelah lulus sensor serta memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 45

Dalam pengertian ini termasuk segala izin yang telah dikeluarkan
berdasarkan peraturan pelaksanaan tersebut.

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Tidak ada komentar: