Rabu, 21 Mei 2008

Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 ttg Penyelenggaraan Telekomunikasi

PP Nomor 52 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Presiden Republik Indonesia

Menimbang :

Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Mengingat :

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881).

Memutuskan :
Menetapkan :

Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Telekomukasi.

Bab I
Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;

2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;

4. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;

5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

6. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;

7. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;

8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

9. Penyelenggara jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

10. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

11. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukkan dan pengoperasiannya khusus;

12. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda;

13. Kewajiban pelayanan universal adalah kewajiban yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian masyarakat yang belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi;

14. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

Bab II
Penyelenggaraan Jaringan
dan Jasa Telekomunikasi

Bagian Pertama :
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2

Penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi.

Pasal 3

Penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

Pasal 4

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. Koperasi.

Pasal 5

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan oleh:
a. Perseorangan;
b. Instansi pemerintah; atau
c. Badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.

Bagian Kedua :
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal 6

(1) Dalam penyelenggaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.

(2) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun jaringan telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.

(4) Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 7

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang diselenggarakannya.

Pasal 8

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.

(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.

(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggara jasa telekomunikasi dari Menteri.

Pasal 9

(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri dari:
a. Penyelenggaraan jaringan tetap;
b. Penyelenggaraan jaringan bergerak;

(2) Penyelenggaraan jaringan tetap dibedakan dalam:
a. Penyelenggaraan jaringan tetap lokal;
b. Penyelenggaraan jaringan tetap sambungan langsung jarak jauh;
c. Penyelenggaraan jaringan tetap sambungan internasional;
d. Penyelenggaraan jaringan tetap tertutup.

(3) Penyelenggaraan jaringan bergerak dibedakan dalam:
a. Penyelenggaraan jaringan bergerak terestrial;
b. Penyelenggaraan jaringan bergerak seluler;
c. Penyelenggaraan jaringan bergerak satelit.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 10

(1) Penyelenggara Jaringan Tetap lokal atau penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak satelit harus menyelenggarakan jasa teleponi dasar.

(2) Penyelenggara Jaringan Tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar wajib menyelenggarakan jasa telepon umum.

(3) Penyelenggara Jaringan Tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa telepon umum dapat bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pasal 11

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri sesuai dengan izin penyelenggaranya.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.

Pasal 12

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.

Bagian Ketiga :
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
Pasal 13

Dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, Penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Pasal 14

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi terdiri dari:
a. Penyelenggaraan jasa telepon dasar;
b. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. Penyelenggaraan jasa multimedia.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri.

Pasal 15

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik.

(2) Penyelenggara jasa telekomuniakasi wajib memberikan pelayanan yang sama kepada penggunna jasa telekomunikasi.

(3) Dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana DasarTeknis.

(4) Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 16

(1) Penyelenggara jasa teleomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa teelekomunikai yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi

(2) Apabila penguna memerlukan catatan atau rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.

Pasal 17

(1) Catatan atau rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disimpan sekurang kurangnya 3 (tiga) bulan.

(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak memungut biaya atas permintaan catatan atau rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.

Pasal 18

(1) Pelanggan jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri perangkat teminal pelanggan jas telekomunikasi.

(2) Instalasi perangkat akses di rumah dan atau gedung dapat dilaksanakan oleh instalatur yang memenuhi persyaratan.

Pasal 19

Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa telekomunikasi sepanjang akses jasa telekomunikasi tersedia.

Bagian Keempat : Interkoneksi
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal 20

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin tersedianya interkoneksi

(2) interkoneksi antar jaringan telekomunikasi dilaksanakan pada titik interkoneksi

(3) Pelaksanaan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan atas dasar permintaan dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

Pasal 21

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dilarang melakukan diskriminasi dalam penyediaan interkoneksi

(2) Dalam pelaksanaan interkoneksi, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib saling memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat pelayanan yang disepakati.

Pasal 22

(1) Kesepakatan interkoneksi antarpenyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.

(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan atau terjadi perselisihan antar penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam pelaksanaan interkoneksi, para pihak dapat meminta penyelesaiannya kepada Menteri.

(3) Upaya penyelesaian oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi hak para pihak untuk melakukan upaya hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

(1) Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi.

(2) Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

(3) Biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomuniksai asal.

(4) Apabila terjadi perbedaan penghitungan besarnya biaya penggunaan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam aat (3) para penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat melakukan penyelesaian upaya hukum melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

Pasal 24

Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.

Pasal 25

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak mempunyai hubungan langsung ke jaringan telekomunikasi di wilayah tujuan di dalam negeri dan / atau luar negeri, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyalurkan trafik melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

(2) Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk menyalurkan trafik berhak untuk mendapatkan baggian biaya interkoneksi yang besarnya disepakati bersama.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga dalam hal kapasitas saluran langsung yang dimiliki penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak mencukupi.

(4) Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyallurkan kelebihan trafik dari penyelenggara satu ke penyelenggara lainnya.

Bagian Kelima :
Kewajiban Pelayanan Universal
Pasal 26

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomuniksi dikenakan kontibusi pelayanan universal.

(2) Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a. Penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
b. Kontribusi dalaam bentuk komponen biaya interkoneksi; atau
c. Kontribusi lainnya.

Pasal 27

Untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal Menteri menetapkan :

a. Wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal.

b. Jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal.

c. Jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal.

d. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayak pelayanan universal.

Pasal 28

(1) Kewajiban membangun dan menyelenggarakan jaringan di wilayah pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.

(2) Kontribusi pelayaanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan lainnya yang menyalurkan trafik ke penyelenggara jaringan tetap lokal.

(3) Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk pembayaran komponen biaya interkoneksi yang diterima oleh penyelenggara jaringan tetap lokal.

(4) Kontribusi kewajiban pelayanan universal lainnya dibebankan kepada penyelenggar ajaringan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dan kepada penyelenggara jasa lainnya.

Pasal 29

(1) Setiap penyelenggara jaringan dan / atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan pencataatn atan pendapatan dari ahsil kontribusi kewajiban pelayanan universal yang berasal dari pendapatan interkoneksi.

(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan secara berkala kepada kepada Menteri.

Pasal 30

Ketentuan mengenai besarnya kontribusi kewajiban pelayanan univerasal dan tata cara pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 31

Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan kewajiban pelayanan universal.

Bagian Keenam :
Biaya Hak Penyelenggaran (BHP) Telekomunikasi
Pasal 32

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membeayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi.

(2) Tarif Biaya Hak Penylenggaraan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

Setiap penyelenggara jaringan atau penyelenggara jada telekomunikasi yang tidak atau terlambat membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan perunfang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketujuh :
Tarif Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 34

(1) Tarif Penyelengaaraan Telekomunikasi terdiri dari tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

(2) Susunan tarif penyelenggaraan telekomunikasi terdiri atas jenis dan struktur tarif.

Pasal 35

(1) Jenis penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri atas :
a. Tarif sewa jaringn;
b. Biaya interkoneksi.

(2) Jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomuniaksi yang disalurkan melalui jaringan tetap tersiri atas :
a. Tarif jasa teleponi dasar sambungan lokal, sambunga langsung jarak jauh (SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI);
b. Tarif jasa niali tambah telepon;
c. Tarif jasa multimedia.

(3) Jenis tarif penyelenggaran jasa telekomunikasi yang disalurkan ,elalui jaringan bergerak terdiri atas :
a. Tarif air-time;
b. Tarif jelajah;
c. Tarif jasa multimedia.

Pasal 36

(1) Struktur tarif jaringan telekomunikasi terdiri atas :
a. Biaya akses;
b. Biaya pemakaian;
c. Biya kontribusi pemakaian universal.

(2) Struktur tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri atas :
a. Biaya aktivasi;
b. Biaya berlangganan bulanan;
c. Biaya penggunaan.

Pasal 37

(1) Besaran tarif ditetapkan berdasarkan formula.

(2) Penetapan formula penghitungan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan biaya.

(3) Ketentuan formula tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bab III
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus

Bagian Pertama :
Umum
Pasal 38

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan untuk keperluan:
a. Sendiri;
b. Pertahanan keamanan negara.
c. Penyiaran.

Bagian Kedua : Penyelenggaraan
Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Sendiri
Pasal 39

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 huruf a dilakukan untuk keperluan:
a. Perseorangan;
b. Instansi pemerintah;
c. Dinas khusus;
d. Badan hukum.

Pasal 40

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a maliputi :
a. Amatir radio;
b. Komunikasi radio antar penduduk.

Pasal 41

(1) Kegiatan amatir radio sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huuf a digunakan untuk saling berkomunikasi tentang ilmu pengetahuan, penyelidikan teknis, dan informasi yang berkaitan dengan teknik radio dan elektronika.

(2) kegiatan amatir radio dapat digunakan untuk penyempaian berita mara bahaya, bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR)

Pasal 42

(1) Kegiatan komunikasi radio antar penduduk sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf b digunakan untuk saling berkomunikasi tentang kegiatan kemasyarakatan

(2) Kegiatan komunikasi radio antar penduduk dapat digunakan untuk penyampaian berita mara bahaya, bencan alam, pencarian dan pertolongan (SAR)

Pasal 43

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam psal 39 huruf b dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mendukung kegiatan pemerintah.

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah dapat diselenggarakan jika:

a. Keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi;

b. Lokasi kegaiatannya belum terjangkau oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi; dan atau

c. Kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.

Pasal 44

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 huruf c dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mendukung kegiatan dinas yang bersangkutan.

Pasal 45

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum sebagaiman dimaksud dalam Pasal 39 huruf d dilaksanakan oleh badan hukum untuk mendukung kegiatand an atau jasanya.

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum dapat diselenggarakan jika :

a. Keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi;

b. Lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi; dan / atau;

c. Kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.

Pasal 46

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaiman dimaksud dalam pasal 38 huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan ijin Menteri.

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimaan dimaksud dlaam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan-ketentauan mengenai penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.

(3) Dalam hal penyelenggara jaringa telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimasksud tetap dapat menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi.

Bagian Ketiga : Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
untuk Keperluan Pertahanan Keamanan Negara
Pasal 47

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan dan keamana negara sebagaimana dimksud dalam Pasal 38 huruf b adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, bentuk dan kegunaannya diperuntukkan khusus bagi keperluan pertahanan keamanan negara yang dilaksanakan oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahaan negara diatur dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jaab di bidang pertahanan.

(3) Ketentuan mengenai tat cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 48

(1) Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khussu untuk keperluan pertahaan keamanan negara dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di buidang pertahanan negara.

(2) Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khusu untuk keperluan keamaanan negara dilaksanakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 49

(1) Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperlusn pertahaan negara belum atau tidak mampu mendukung kegiatan pertahanana negara dpat menggunakan atau memanfaatkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus lainnya.

(2) Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara belum atau tidak mempu mendukung kegiatan keamanan negara, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperlua kemanan negara dapat menggunkan atau memanfaatkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus lainnya.

(3) Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara wajib mengikuti ketentuan penggunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang berlaku.

(4) Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi milik penyelenggara jasa telekomunikasi lain, penyelenggara khusus untuk keperluan keamanan negara wajib mengikuti ketentuan penggunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang berlaku.

(5) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan emanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 50

Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39, pasal 40, pasal 41, pasal 43, pasal 44, dan pasal 45 dilarang untuk :

a. Menyelenggarakan telekomunikasi di luar peruntukkannya;

b. Menyambungkan atau mengadakan interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi lainnya; dan

c. memungut biaya dalam bentuk apapun atas penggunaan dan atau pengoperasiannya, kecuali untuk telekomunikasi khussu yang berkenaan dengan ketentuan internasional yang telah diratifikasi.

Bagian Keempat : Penyelenggaraan
Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Penyiaran
Pasal 51

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 huruf c adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, bentuk dan kegunaannya diperuntukkan khusus bagi keperluan penyiaran.

Pasal 52

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dilaksanakan oleh penyelenggara penyiaran guna memenuhi kegiatan penyiaran.

Pasal 53

(1) Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib membangun sendiri jaringan sebagai sarana pemancran dan sarana transmisi untuk keperluan penyiaran.

(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang menyewakan jaringannya kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya.

Pasal 54

(1) Jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dapat disambungkan ke jaringan telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan khusus untuk keperluan penyiaran.

(2) Dalam hal jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran disambungkan ke jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib mengikuti ketentuan penggunaan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.

Bab IV
Perizinan

Pasal 55

(1) Untuk penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin melalui tahapan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan dan dinas khusus tidak memerlukan arsip.

(3) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara tidak memerlukan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.

Pasal 56

(1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.

(2) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan hanya untuk 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun.

(3) Izin prinsip tidak dapat dipindahtangankan.

Pasal 57

(1) Untuk menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi , pemohon wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri.

(2) Dalam menyelenggarakan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon wajib memenuhi persyaratan :

a. Berbentuk badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi;

b. Mempunyai kemampuan sumber dan adan sumberdaya manusia di bidang telekomunikasi.

(3) Tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58

(1) Menteri mengumumkan peluang usaha untukmenyelenggarakan jringan dan atau jasa telekomunikasi kepada massyarakat secara terbuka.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. Jenis penyelenggaraan;
b. Jumlah penyelenggara;
c. Lokasi dn cakupan pnyelenggaraan;
d. Persyaratan dan tata cara permohonan izin;
e. Tempat dan waktu pengajuan permohonan izin;
f. Biaya-biaya yang harus dibayar;
g. Kriteria seleksi dan evaluasi untuk penetapan calon penyelenggara telekomunikasi;

(3) Pemberian izin untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dilakukan melalui evaluai dan seleksi.

(4) Persyaratan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d sekurang-kurangnya terdiri atas :
a. Profil perusahan;
b. Rencana pembangunan jaringan atau jasa;
c. Rencana usaha.

(5) Ketentuan mengenai tata cara evaluasi atau seleksi sebagaimana dimaksud dlaam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 59

Untuk menyelenggarakan telekomunikasi khusus, pemohon wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri.

Pasal 60

(1) Dalam pengajuan permohonan izin telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran, pemohon wajib memenuhi persyaratan :

a. Berbentuk badan hukum indonesia yang bergerak di bidang penyiaran;

b. Mempunyai kemampuan sumberdan dan sumberdaya manusia di bidang penyiaran

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri.

Pasal 61

(1) Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran, Menteri mengumumkan peluang usaha dalam menyelenggarakan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran kepada masyarakat secara terbuka.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang kurangnya memuat :
a. Jumlah penyelenggara;
b. Lokasi dan cakupan penyelenggaraaan;
c. Persyaratan dan tata cara permohonan;
d. Tempat dan waktu pengajuan permohonan ;
e. Biaya-biaya yang harus dibaya;
f. Kriteria seleksi untuk penetapan calon penyelenggara telekomunikasi.

(3) Penetapan izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dilakuakn melalui seleksi.

(4) Ketentuan mengenai tata cara seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur denagn Keputusan Menteri.

Pasal 62

(1) Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan dinamakan izin amatir radio dan izin komunikasi radio antar penduduk.

(2) Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus dinamakan izin stasiun radio.

Pasal 63

Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan ssendiri oleh badan hukum yang enggunakan sistem komunikasi radio lingkup terbatas dan sistem komunikasi radio dari titik ke titik dinamakan stasiun radio.

Pasal 64

(1) Menteri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima secara lengkap wajib memberikan keputusan mengenai pemberian atau penolakan izin prinsip.

(2) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja Menteri tidak memberikan keputusan penolakan atau pemberian izin, permohonan izin prinsip dianggap disetujui.

Pasal 65

(1) Pemegang prinsip wajib mengajukan permohonan uji laik operasi untuk saran dn prasarana yang telah selesai dibangun kepada lembaga yang berwenang untuk melaksanakan uji laik operasi.

(2) Ketentuan mengenai tata cara uji laik operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatu dengan Keputusan Menteri.

Pasal 66

Menteri menerbitkan izin penyelenggaraan telekomunikasi setelah sarana dan prsarana yang dibangun dinyatakan laik operasi.

Pasal 67

(1) Izin penyelenggaraan telekomunikasi diberikan tanpa batas waktu dan setiap 5 (lima) tahun dilakukan evaluasi.

(2) Terhadap hasil evalusi yang tidak lagi memenuhi persyaratan sesuai izin yang telah diberikan, Menteri menerapkan sanksi administrasi.

(3) Ketentuan mengenai tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bab V
Ganti Rugi

Pasal 68

(1) Atas kesalaahn dan atau kelalaian penyelenggaran telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.

(2) Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dlam ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebutbukan dikaibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.

(3) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas kepada kerugian langsung yang diderita atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi.

Pasal 69

(1) Penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 68 dapat dilaksanakan melalui proses pengadilan atau di luar pengadilan.

(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 70

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.

(2) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan keruian atas terhentinya kegiatan penyelenggaraan jasa telekomunikasi pada jaringan telekomunikasi dan berdasarkan kesepakatan para pihak.

(3) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi beban dan tanggung jawab instansi / departemen / lembaga atau pihak lain yang melakukan kegiatan atau menghendaki adanya pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi.

Bab VI
Persyaratan Teknis Alat dan
Perangkat Telekomunikasi

Pasal 71

(1) Setiap alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan, untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis.

(2) Persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan tknis alat dan perangkat telekomunikasi untuk keperluan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

Pasal 72

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 71 dimaksudkan dalam rangka :

a. Menjamin keterhubungan dalam jaringan telekomunikasi.

b. Mencegah saling mengganggu antar alat dan perangkat telekomunikasi.

c. Melindungi masyarakat dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan akibat pemakaian alat dan perangkat telekomunikasi;

d. Mendorong bekembangnya industri, inovasi dan rekaya tekhnologi telekomunikasi nasional.

Pasal 73

(1) Menteri menetapakn persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi yang belum memiliki standar nasional Indonesia setelah memperhatiakn pertimbangan pertimbangan pihak dan instnsi terkait.

(2) Pesyaratan teknis dan perangkat sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dirumuskan berdasarkan :
a. Adopsi standar internasional atau standar regional;
b. Adaptasi standar internasional atau standar regional; atau;
c. Hasil pengembangan industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi nasional.

(3) Persyaratan teknis yang telh ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diusulkan menjadi Standar Nasional Indonesia.

Pasal 74

(1) Menteri menerbitkan sertifikat untuk tipe alat dan perangkat telekomunikasi yang telah mememuhi persyaratan teknis dan berdasarkan hasil pengujian.

(2) Pengujian alat dn perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakuakn oleh balai uji yang telah memiliki akreditasi dari lembaga yang berwenang dan ditetapkan oleh Menteri.

(3) Menteri dapat menunjuk balai uji yang telah diakreditasi untuk menerbitkan sertifikat.

(4) Persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) tidak berlaku untuk alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memiliki standar internasional.

(5) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan penerbitan sertifikat dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta jangka waktu berlakunya diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Menteri dapat melakukan saling pengakuan penerapan persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi dengan negara lain.

(2) Saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikuti ketentuan yang berlaku.

Pasal 76

(1) Dalam penerapan persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi, dikenakan biaya sertifikat.

(2) Biaya sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 77

(1) Alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memperoleh sertifikat wajib diberi label.

(2) Ketentuan mengenai label alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Keputusan Menteri.

Bab VII
Pengamanan dan Perlindungan
Penyelenggaraan Telekomunikasi

Pasal 78

Jenis gangguan telekomunikasi terdiri atas :

a. Gangguan fisik yaitu gangguan secara fisik pada jaringan telekomunikasi, saran adan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi.:

b. Gangguan elektromagnetik yaitu gangguan secara elektromagnetik pada jaringan pada jaringan telekomunikasi dan atau sarana dan prasaran telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 79

Pengamanan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi untuk mengamankan dan melindungi saran dan prasarana telekomunikasi, jaringan telekomunikasi, sumber daya manusia, dan informasi.

Pasal 80

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus wajib membuat peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi yang digunakannya.

(2) Peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disebarluakan kepada instansi terkait.

Pasal 81

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus wajib memasang tanda-tanda keberadaan jaringan telekomunikasi.

(2) Ketentuan mengenai tanda-tanda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 82

Setiap jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi harus dilengkapi dengan sarana dan pengamanan dan perlindungan agar terhindar dri gangguan telekomunikasi.

Pasal 83

Penyelenggara telekomunikasi harus memasang perangkat deteksi dini, perangkat pemantau, dan perangkat pencegah terjadinya gangguan penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 84

(1) Instansi pemerintah yang berwenag mengeluarkan izin mendirikan bangunan, instalasi dan atau prasarana lainnya wajib memperhatikan peta dn gambar jaringan telekomunikasi.

(2) Pihak yang melakukan kegiatan pembangunan atas dasar izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghindari terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 85

Setiap orang yang bekerja di lingkungan penyelenggaraan telekomunikasi wajib mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi maupun informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.

Pasal 86

Penyelenggara telekomunikasi wajib menyediakan, mendidik dan melatih tenaga yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pengamanan dan perlindungan sarana dan prasarana telekomunikasi.

Pasal 87

Dalam hal untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisisan Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 88

Permintaan perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 disampaikan secara tertulis dan sah kepada penyelenggara jasa telekomunikasi dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 89

(1) Permintaan tertulis perekaman dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 sekurang-kurangnya memuat :
a. Obyek yang direkam;
b. Masa rekaman; dan
c. Periode waktu laporan hasil rekaman.

(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memenuhi permintaan perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat lambatnya dalam waktu 1 kali 24 jam terhitung sejak diterima.

(3) Dalam hal teknis rekaman tidak dimungkinkan, penyelenggara jasa telekomunikasi seagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib memberitahukan pada Jaksa Agung, Kepala Kepolisisan Republik indonesia dan atau Penyidik.

(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan selambat-lambatnay 6 (enam) jam setelah diterimanya permintaan sebagaimaan dimaksud dalam ayat (1).

(5) Hasil rekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan secara rahasia kepada jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisisan dan atau Penyidik.

Bab VIII
Peran Serta Masyarakat
di Bidang Telekomunikasi

Pasal 90

(1) Dalam rangka melibatkan peran serta masyarakat dibentuk lembaga [peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi.

(2) Lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk berdasarkan konsensus antara pelaku industri telekomunikasi.

(3) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 91

(1) Keanggotaan lembaga peran serta masyarakat berasal dati pelaku industri telekomunikasi yang terdiri dari :
a. Asosiasi di bidang usaha telekomunikasi;
b. Asosiasi profesi telekomunikasi;
c. Asosiasi produsen peralatan telekomunikasi;
d. Asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi; dan
e. Masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.

(2) Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat dipilih dan diangkat dari anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikukuhkan oleh Menteri.

(4) Pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan setelah memperhatikan AD/ART lembaga peran serta masyarakat.

Pasal 92

(1) Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai tugas menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam mesyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan , pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.

(2) Pemikiran dan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pemerintah baik diminta maupun tidak diminta.

(3) Pemerintah harus mempertimbangkan dengan seksama pemikiran dan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 93

Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai fungsi :

a. Menghimpun pendapat, pemikiran, dan pandangan masyarakat tentang pengembangan pertelekomunikasian;

b. Mengkaji dan merumuskan pendapat yang berkembang di masyarakat sebagai bahan ususlan kebijakan dan atau peraturan yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan, dan penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 94

(1) Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi dalam melaksansakan kegiatannya dibiayai secara swadana.

(2) Lembaga peran serta masyarakat di bdiang telekomunikasi memperoleh keuangan dari sumber-sumber yang sah.

Bab IX
Sanksi

Pasal 95

(1) Pelanggaran terhadap pasal 6, pasal 7, pasal 8 ayat (3), pasal 10 ayat (2), pasal 12, pasal 15, pasal 16, pasal 19, pasal 20 ayat (1), pasal 21, pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (4); Pasal 26 ayat (1), pasal 28, pasal 29, pasal 32 ayat (1), pasal 46 ayat (2), pasal 49 ayat (3), ayat (4), pasal 50, pasal 53, pasal 54, pasal 57, pasal 60, pasal 65 ayat (1), dikenakan sanksi admisnistrasi berupa pencabutan izin.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah diberikannya peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut yang mana masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 (tujuh) hari kerja.

Bab X
Ketentuan Peralihan

Pasal 96

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan dan Pengamanan Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Bab XI
Ketentuan Penutup

Pasal 97

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio Amatirisme di Indonesia (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2843) jo Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1980 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio Amatirisme di Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 30);

b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 75, tambahan Lembaran Negara Nomor 2952);

c. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan Dan Pengamanan Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 nomor 46, Tambahan Laembaran Negara Nomor 3446);

d. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Untuk Keperluan Pertahanan Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3466);

e. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun 1993 Nomor 12, tambahan Lembaran negara 3514); dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 98

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 8 September 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 11 Juli 2000

Presiden Republik Indonesia

ttd

Abdurrahman Wahid

Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 11 Juli 2000

Sekretaris Negara Republik Indonesia

ttd

Djohan Effendi

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107

Salinan sesuai dengan aslinya.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia,
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I

ttd

Lambock V. Nahattands






Tidak ada komentar: