Minggu, 11 Mei 2008

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusaha Hutan Tanaman Industri

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 7 TAHUN 1990
TENTANG
HAK PENGUSAHA HUTAN TANAMAN INDUSTRI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, yang perlu
dimanfaatkan secara maksimal dan isteri bagi Pembangunan Nasional secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. bahwa untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang kurang produktif, meningkatkan kwalitas lingkungan hidup serta menjamin tersedianya secara lestari bahan baku industri hasil hutan perlu dilaksanakan pengusahaan hutan tanaman berdasarkan asas kelestarian dengan menerapkan silvikultur intensif;
c. bahwa pelaksanaan pengusahaan hutan tanaman tersebut dalam butir b di atas, perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan cara pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas maka perlu mengatur ketentuan-ketentuan tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara tahun 1967 nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 ( Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah ( Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3216);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan ( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2844);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2945);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan ( Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3055);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3338).

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Di dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Hutan Tanaman Industri selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah ini disebut HTI adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur itensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
2. Hak Pengusahaan HTI adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.
3. Areal Kerja Pengusahaan HTI adalah kawasan hutan yang dibebani Hak Pengusahaan HTI.
4. Rencana Karya Pengusahaan HTI adalah suatu rencana umum yang memuat dasar-dasar, arahan dan pegangan bagi pengelolaan unit HTI.
5. Rencana Karya Tahunan HTI adalah rencana kerja tahunan pembangunan HTI yang memuat kegiatan fisik dan jadwal pelaksanaan dalam satu tahun.
6. Penataan Batas Areal Kerja HTI adalah kegiatan pembuatan tata batas areal yang meliputi proyeksi batas, pemancangan batas, pengukuran, pemasangan patok batas dan pemetaan serta pembuatan berita acara tata batas.
7. Unit HTI adalah satu kesatuan pengusahaan hutan tanaman di dalam kawasan hutan produksi tetap.
8. Kelas Perusahaan adalah kesatuan pengelolaan dalam pengusahaan hutan untuk jenis tanaman pokok tertentu.
9. Tanaman Pokok adalah jenis tanaman hutan yang memiliki luas dan/atau nilai ekonomi yang
dominan.
10. Daur tanaman adalah jangka waktu yang diperlukan bagi suatu jenis tanaman sejak mulai penanaman sampai mencapai umur tebang.
11. Menteri adalah Menteri yang diserahi urusan kehutanan.

BAB II
TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 2
Pengusahaan Hutan Tanaman Indutri bertujuan untuk :
1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa.
2. Meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup.
3. Memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.

BAB III
PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 3
1. Hutan tanaman Industri dikelola secara profesional dan diusahakan berdasarkan asas manfaat, asas kelestarian, dan asas perusahaan.
2. Unit HTI merupakan unit pengusahaan yang dapat terdiri dari satu atau lebih kelas perusahaan.

Pasal 4
1. Sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan HTI adalah tebang habis dengan penanaman kembali.
2. Jenis tanaman dalam pembangunan HTI dapat terdiri dari tanaman pokok dan tanaman lain.

BAB IV
AREAL DAN LOKASI HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 5
1. Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.
2. Menteri menetapkan lokasi areal hutan untuk pembangunan HTI.

Pasal 6
Luas areal setiap unit HTI diatur sebagai berikut :
a. Untuk mendukung industri pulp ditetapkan seluas-luasnya 300.000 Ha.
b. Untuk mendukung industri kayu pertukangan atau industri lainnya ditetapkan seluas-luasnya 60.000Ha.

BAB V
PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 7
1. Hak Pengusahaan HTI dapat diberikan kepada badan usaha negara, swasta dan koperasi.
2. Hak Pengusahaan HTI tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri.
3. Hak Pengusahaan HTI tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Pasal 8
1. Kepada pemohon yang memenuhi persyaratan diberikan Hak Pengusahaan HTI oleh Menteri untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima ) tahun ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan.
2. Hak Pengusahaan HTI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan oleh Menteri setiap
mendengar saran dan pertimbangan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
3. Luas dan lokasi kawasan hutan yang diberikan kepada pemohon sebagai areal kerja Hak Pengusahaan HTI ditetapkan oleh Menteri dan dilukiskan pada peta lampiran Keputusan pemberian Hak Pengusahaan HTI.

Pasal 9
1. Untuk memperoleh Hak Pengusahaan HTI kepada pemohon dipersyarakan telah menyusun Studi Kelayakan.
2. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon dapat diwajibkan untuk
melakukan percobaan penanaman.
3. Tata cara dan persyaratan Permohonan Hak Pengusahaan HTI diatur oleh Menteri.

Pasal 10
1. Hak Pengusahaan HTI yang jangka waktunya telah berakhir dapat diperpanjang.
2. Perpanjangan Hak Pengusahaan HTI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan apabila
menurut penilaian Menteri Pengusahaan HTI yang dilaksanakannya berjalan baik.
3. Kriteria dan tata cara penilaian dalam rangka perpanjangan Hak Pengusahaan HTI ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI
HAK PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 11
1. Pemegang Hak Pengusahaan HTI berhak mengusahakan HTI di areal kerjanya dan memanfaatkan hasil hutannya pada akhir daur berdasarkan Hak Pengusahaan HTI yang diberikan kepadanya.
2. Hak Pengusahaan HTI tidak memberikan pemilikan hak dan pengusahaan atas tanah.

BAB VII
KEWAJIBAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 12
Pemegang Hak Pengusahaan HTI berkewajiban membangun HTI di areal kerjanya yang telah ditetapkan,dan melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
1. Membuat Rencana Karya Pengusahaan HTI selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Hak Pengusahaan HTI.
2. Membuat Rencana Karya Tahunan HTI sesuai dengan pedoman yang ditetapkan.
3. Melaksanakan penataan batasan areal kerjanya.
4. Mengelola areal Pengusahaan HTI berdasarkan Rencana Karya serta mentaati segala ketentuan di bidang kehutanan yang berlaku.
5. Membayar iuran Hak Pengusahaan HTI dan iuran hasil hutan atas hasil hutan yang dipungut dari areal kerjanya.
6. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terbitnya Surat Keputusan Hak
Pengusahaan HTI, pemegang hak harus sudah membuat tanaman sedikit-dikitnya sepersepuluh dari luas areal yang diberikan.
7. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, seluruh areal Hak Pengusahaan HTI yang telah diberikan harus sudah ditanami.
8. Segera menanami kembali setelah melakukan penebangan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 13
1. Pemegang Hak Pengusahaan HTI diwajibkan untuk mempekerjakan secukupnya tenaga-tenaga ahli kehutanan yang memenuhi persyaratan menurut penilaian Menteri di bidang:
a. Perencanaan Hutan;
b. Silvikultur;
c. Pengelolaan hutan.
2. Ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

BAB VIII
P E N D A N A A N
Pasal 14
1. Biaya yang berhubungan dengan permohonan Hak Pengusahaan HTI dan pelaksanaan pembangunan HTI menjadi tanggung jawab Pemohon.
2. Pemerintah dapat turut membiayai pembangunan HTI dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) atau bentuk lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

BAB IX
PEMUNGUTAN HASIL HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 15
1. Pemungutan hasil hutan tanaman industri selain penebangan pada akhir daur dapat dilakukan dalam bentuk penjarangan dalam rangka pemeliharaan.
2. Ketentuan tentang penjarangan dan penebangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB X
HAPUSNYA HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pasal 16
1. Hak Pengusahaan HTI hapus karena :
a. Jangka waktu yang diberikan telah berakhir dan tidak diperpanjang.
b. Dicabut oleh Menteri sebagai sanksi yang dikenakan kepada Pemegang Hak Pengusahaan HTI.
c. Diserahkan kembali oleh Pemegang HakPengusahaan HTI kepada Pemerintah sebelum jangka
waktu yang diberikan berakhir.
2. Hapusnya Hak Pengusahaan HTI atas dasar ketentuan ayat (1) tetap mewajibkan Pemegang Hak Pengusahaan HTI untuk :
a. Melunasi Iuran Hak Pengusahaan HTI dan Iuran Hasil Hutan.
b. Melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri dalam rangka hapusnya Hak
Pengusahaan HTI.

Pasal 17
1. Pada saat hapusnya Hak Pengusahaan HTI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) maka :
a. Prasarana dan sarana yang telah dibangun di dalam areal kerjanya menjadi milik Negara.
b. Tanaman yang ada menjadi milik Negara.
2. Ketentuan yang mengatur pelaksanaan ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

BAB XI
S A N K S I
Pasal 18
Hak Pengusahaan HTI dapat dicabut apabila :
1. Pemegang Hak Pengusahaan HTI tidak melaksanakan usahanya secara nyata selambat-lambatnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan HTI.
2. Pemegang Hak Pengusahaan HTI tidak menyerahkan Rencana Karya Pengusahaan HTI dan/atau Rencana Karya Tahunan HTI menurut ketentuan Pasal 12 butir 1 dan 2.
3. Pemegang Hak Pengusahaan HTI menghentikan pekerjaannya dan meninggalkan arealnya selama 24 (dua puluh empat) bulan terus menerus sebelum Hak Pengusahaan HTI berakhir.
4. Pemegang Hak Pengusahaan HTI tidak membayar iuran hasil hutan untuk iuran hasil hutan yang telah dikeluarkan dari areal pengusahaan HTI sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5. Berdasarkan penilaian Menteri setelah lebih dari 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya Surat Keputusan Hak Pemegang Pengusahaan HTI, pembangunan HTI yang dilaksanakannya tidak berhasil yang disebabkan oleh kelalaian pemegang Hak Pengusahaan HTI.
6. Pemegang Hak Pengusahaan HTI dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 butir 8.

Pasal 19
Apabila menurut penilaian Menteri,kemampuan pemegang Hak Pengusahaan HTI untuk melaksanakan penanaman tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 12 butir 6 dan 7 ,maka luas areal kerjanya dapat dikurangi dan/atau disesuaikan.

Pasal 20
1. Tindakan yang menyalahi ketentuan yang berlaku dan kelalaian - kelalaian oleh Pemegang Hak yang mengakibatkan kerusakan hutan tanaman,dikenakan denda sesuai dengan berat serta intensitas kerusakan yang ditimbulkan.
2. Ketentuan mengenai tindakan,kelalaian dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Pengusahaan HTI yang telah dilasanakan sebelum Pereturan pemerintah ini ditetapkan,tetap berlangsung dengan ketentuan disesuaikan dengan jiwa Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
t t d
S O E H A R T O

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 1990
MENTERI/SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1990 NOMOR 11

PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1990
TENTANG
HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

UMUM
Hutan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya dalam melestarikan lingkungan hidup.
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam telah memberikan hasil dan peranannya dalam pembangunan nasional melalui pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam maupun hutan tanaman.
Peranan strategis hutan dalam pembangunan nasional selama ini hampir sepenuhnya bertumpu pada hutan alam yang harus mampu menyediakan bahan baku bagi industri yang telah ada . Pengaturan pengusahaanhutan alam tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan dan Hak Pemungutan hasil Hutan jo.Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975. Perkembangan industri hasil hutan menuntut kebutuhan bahan baku yang makin besar,namun hal itu makin sulit dipenuhi dari potensi hutan alam yang ada,sekalipun efisiensi pemungutan dan pemanfaatnnya telah ditingkatkan.Menurunnya potensi hutan akibat kebakaran dan sebab-sebab lain oleh luas yang makin berkurang,kerusakan hutan akibat kebakaran dan sebs-sebab lain,sebum sepenuhnya dapat ditanggulangi.
Karena produktivitasnya yang rendah,hutan alam tidak dapat diandalkan sebagai pemasok bahan baku jangka panjang,sehingga potensi dan produktivitasnya harus ditingkatkan.Selain penerapan sistim Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) secara lengkap dan benar pada hutan alam,maka pembangunan Hutan Tanaman Industri(HTI) merupakan upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Pembangunan HTI tersebut tidak semata-mata ditujukan untuk mendukung industri hasil hutan,melainkan sekaligus juga bertujuan untuk melestarikan lingkungan hidup melalui konservasi hutan.
Wilayah hutan yang merupakan sasaran utama pembangunan HTI adalah wilayah hutan yang tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap sesuai dengan Undangundang nomor 5.

Tidak ada komentar: