Jumat, 30 Mei 2008

Peraturan Presiden RI No. 76 Tahun 2007 Kriteria Penyusunan Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka di Bidang Penanaman Modal

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2007
TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN PENYUSUNAN
BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA
DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;

Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3743);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN PENYUSUNAN BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan:
1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang di lakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.
5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
6. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang di miliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.
8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

BAB II
LINGKUP KEGIATAN DAN TUJUAN

Pasal 2
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup adalah jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal.
(3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu.

Pasal 3
Penentuan kriteria dan persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bertujuan untuk:
1. meletakkan landasan hukum yang pasti bagi penyusunan peraturan yang terkait dengan penanaman modal;
2. menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;
3. memberikan pedoman dalam menyusun dan menetapkan bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;
4. memberikan pedoman dalam melakukan pengkajian ulang atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;
5. memberikan pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.

Pasal 4
(1) Daftar bidang usaha yang tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan rujukan penanam modal dalam melakukan pilihan bidang usaha kegiatan penanam modal.
(2) Pilihan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi persyaratan bentukan badan usaha yang berbadan hukum bagi penanam modal, terutama bagi penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia.

BAB III
PRINSIP-PRINSIP

Pasal 5
Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1. Penyederhanaan 2. Kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional 3. Transparansi 4. Kepastian hukum 5. Kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal.

Pasal 6
(1) Prinsip penyederhanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam ekonomi.
(2) Prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi.
(3) Prinsip transparansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 3 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi-tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu.
(4) Prinsip kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak dapat diubah kecuali dengan Peraturan Presiden.
(5) Prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 5 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.

BAB IV
DASAR PERTIMBANGAN PENGGUNAAN KRITERIA

Pasal 7
Penyusunan kriteria bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. mekanisme pasar tidak efektif dalam mencapai tujuan;
2. kepentingan nasional tidak dapat dilindungi dengan lebih baik melalui instrumen kebijakan lain;
3. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah efektif untuk melindungi kepentingan nasional;
4. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah konsisten dengan keperluan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi pengusaha nasional dalam kaitan dengan penanaman modal asing dan/atau masalah yang dihadapi pengusaha kecil dalam kaitan dengan penanaman modal besar secara umum;
5. manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia.

BAB V
KRITERIA BIDANG USAHA YANG TERTUTUP

Pasal 8
Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya.

Pasal 9
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain:
1. memelihara tatanan hidup masyarakat;
2. melindungi keaneka ragaman hayati;
3. menjaga keseimbangan ekosistem;
4. memelihara kelestarian hutan alam;
5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun;
6. menghidari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan;
7. menjaga kedaulatan negara, atau
8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas.

Pasal 10
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri.

BAB VI
KRITERIA BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN

Pasal 11
Kriteria penetapan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah antara lain:
1. perlindungan sumber daya alam;
2. perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK);
3. pengawasan produksi dan distribusi;
4. peningkatan kapasitas teknologi;
5. partisipasi modal dalam negeri; dan
6. kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.

BAB VII
PERSYARATAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN

Pasal 12
(1) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan terdiri dari:
a. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK.
b. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.
c. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal.
d. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu.
e. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus.
(2) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a hanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan ekonomi untuk melindungi UMKMK.
(3) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis.
(4) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal asing.
(5) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d memberikan pembatasan wilayah administratif untuk penanaman modal.
(6) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dapat berupa rekomendasi dari instansi/lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, dalam bidang usaha tersebut.
(7) Persyaratan yang diberikan kepada penanam modal untuk dapat memulai beroperasi/berproduksi komersial yang bersifat teknis dan yang non teknis diatur dalam Pedoman Tata-cara Perizinan Bidang Usaha yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/pimpinan lembaga yang memiliki kewenangan terkait dengan bidang usaha tersebut.

BAB VIII
PENCADANGAN BIDANG USAHA DAN KEMITRAAN

Pasal 13
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dan bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.

Pasal 14
(1) Penentuan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang-bidang usaha yang merupakan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK tanpa diharuskan menjadi bagian dari daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK.
(3) Bidang usaha berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan "economies of small scale" apabila diusahakan oleh UMKMK, menjadi bagian dari daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK.
(4) Proses penetapan daftar bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan usulan Menteri teknis yang terkait dengan bidang usaha tersebut, setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara Koperasi Usaha Kecil, dan Menengah, dengan memperhatikan prioritas program pembinaan UMKMK.

Pasal 15
(1) Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan merupakan usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
(2) Bidang usaha yang mewajibkan kemitraan penanam modal skala besar dengan UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pola inti plasma, sub kontraktor, dagang umum, keagenan dan bentuk lainnya, tanpa ada perubahan kepemilikan UMKMK, serta dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah persyaratan bagi penanam modal skala besar untuk dapat membentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum.
(4) Di samping kemitraan dalam bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kemitraan dapat dilakukan oleh penanam modal skala besar dengan UMKMK dalam bidang usaha sesuai dengan izin usahanya sebagai persyaratan perijinan untuk beroperasi/berproduksi komersial.

BAB IX
KLASIFIKASI BAKU LAPANGAN USAHA INDONESIA

Pasal 16
Bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan disusun dengan menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan oleh ketersediaan KBLI, atau dengan menggunakan gabungan metode klasifikasi lain pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan.

BAB X
TATA CARA PENYUSUNAN

Pasal 17
(1) Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dievaluasi dan disempurnakan secara berkala sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kepentingan nasional berdasar kajian, temuan dan usulan penanam modal.
(2) Penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
(3) Menteri atau Pimpinan instansi terkait mengusulkan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan beserta alasan pendukung kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menggunakan kriteria dan pertimbangan berdasar Peraturan Presiden ini.
(4) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk tim untuk menilai, menyusun, mengevaluasi dan menyempurnakan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
(5) Badan Koordinasi Penanaman Modal bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan Peraturan Presiden ini.

Pasal 18
Peraturan Presiden ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Tidak ada komentar: