Senin, 21 April 2008

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
memberikan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di kecamatan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kecamatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesig Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republi Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 4741);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KECAMATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah
kabupaten/kota.
6. Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai
kecamatan di kabupaten/kota.
7. Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah
kabupaten/kota.
8. Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada
kecamatan lain.
9. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan.

BAB II
PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1) Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah berpedoman
pada Peraturan Pemerinta ini,
(2) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau
penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan.

Pasal 3
Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Pasal 4
Syarat administratif pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
meliputi:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;
b. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk
menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum
Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik
yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang
persetujuan pembentukan kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau nama
lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang akan menjadi cakupan
wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan
kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.

Pasal 5
Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Pasal 6
(1) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling
sedikit terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5
desa/kelurahan.
(2) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata
ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,
sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi
bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 7
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimakaud dalam Pasal 3 meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah;
c. rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
d. aktivitas perekonomian;
e. ketersediaan sarana dan prasarana.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian
yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indikator sebagaimana tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 8
(1) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk kecamatan di wilayah yang mencakup
satu atau lebih pulau, yang persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau terpencil dan/ atau terluar.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah.

Pasal 9
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah kabupaten/kota tertentu melalui
gubernur selaku wakil Pemerintah untuk membentuk kecamatan dengan mengecualikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pertimbangan
kepentingan nasional dan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.

Pasal 10
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama kecamatan;
b. nama ibukota kecamatan;
c. batas wilayah kecamatan; dan
d. nama desa dan /atau kelurahan.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri peta kecamatan
dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat.

Pasal 11
Perubahan nama dan/ atau pemindahan ibukota kecamatan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.

BAB III
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN
Pasal 12
(1) Kecamatan dihapus apabila:
a. jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari penduduk
yang ada; dan/atau
b. cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari jumlah
desa/kelurahan yang ada.
(2) Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan kecamatan yang
bersandingan setelah dilakukan pengkajian.

Pasal 13
Penghapusan dan penggabungan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

BAB IV
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 14
(1) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis
kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2) Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah.

Pasal 15
(1) Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a. perizinan;
b. rekomendasi;
c. koordinasi;
d. pembinaan;
e. pengawasan;
f. fasilitasi;
g. penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
(3) Pelaksanaan kewenangan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(4) Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 16
Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan
lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di
desa/kelurahan dan kecamatan;
b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik
pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c. melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah
kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d. melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
e. melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan
kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.

Pasal 17
Tugas Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara
Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b. melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan
untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah
kecamatan; dan
c. melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/
walikota.

Pasal 18
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
c. melaporkah pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.

Pasal 19
Tugas Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal
yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;
b. melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan
prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c. melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.

Pasal 20
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di
bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b. melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat
daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c. melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d. melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada
bupati/walikota.

Pasal 21
Tugas Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, meliputi:
a. melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa
dan/atau kelurahan;
b. memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi
desa dan/atau kelurahan;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e. melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat
kecamatan; dan
f. melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.

Pasal 22
Tugas Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, meliputi:
a. melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b. melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di kecamatan;
d. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah
kecamatan;
e. melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan
kepada Bupati/Walikota.

BAB V
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 23
(1) Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
(3) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB VI
PERSYARATAN CAMAT
Pasal 24
Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari
pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25
Pengetahuan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi:
a. menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana
pemerintahan; dan
b. pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.

Pasal 26
(1) Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Pelaksanaan pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

BAB VII
TATA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 27
(1) Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan disekitarnya.
(2) Camat mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan.
(3) Camat melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
kecamatan.

Pasal 28
(1) Hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat
koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional.
(2) Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya, bersifat
koordinasi teknis fungsional.
(3) Hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai
politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat
koordinasi dan fasilitasi.

BAB VIII
PERENCANAAN KECAMATAN
Pasal 29
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, disusun perencanaan
pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa/Kelurahan.
(2) Perencanaan pembangunan kecamatan merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan secara
partisipatif.
(4) Mekanisme penyusunan rencana pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 30
(1) Kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana anggaran satuan
kerja perangkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana kerja kecamatan.
(3) Rencana kerja kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan
rencana strategis kecamatan.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan
dilaksanakan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32
(1) Setiap tahun pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi terhadap kinerja
kecamatan yang mencakup:
a. penyelenggaraan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan untuk
melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah;
b. penyelenggaraan tugas umum pemerintahan; dan
c. penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada camat.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh bupati/walikota
kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
(3) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.

BAB X
PENDANAAN
Pasal 33
Pendanaan tugas camat dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pelaksanaan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.

Pasal 34
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan kecamatan dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Pengaturan kecamatan di Pemerintahan Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur daerah bersangkutan.

Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, dan tanda jabatan camat
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pegawai negeri sipil yang telah
diangkat sebagai camat dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 40


PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN
TENTANG
KECAMATAN

I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan undang-undang. Hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan
mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang
luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah
harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada
kepentingan masyarakat. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus
diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju
pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah
telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional
maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan,
tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat
wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi
perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat
daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan
kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan,
kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Sebagai perangkat daerah, Camat mendapatkan pelimpahan
kewenangan yang bermakna urusan pelayanan masyarakat. Selain itu
kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum
pemerintahan.
Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah
kabupaten/kota. Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/walikota
melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif.
Pengertian melalui bukan berarti Camat merupakan bawahan langsung
Sekretaris Daerah, karena secara struktural Camat berada langsung di
bawah bupati/walikota.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak
memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan
tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas
atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi
pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban, penegakan peraturan perundang-undangan, pembinaan
penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan
tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan
desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan.
Oleh karena itu, kedudukan camat berbeda dengan kepala instansi
pemerintahan lainnya di kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi
pemerintahan lainnya di kecamatan harus berada dalamkoordinasi Camat.
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan
dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan asas desentralisasi.
Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban mengintegrasikan nilainilai
sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik,
ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan
ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta
masyarakat dalam kerangka membangun integritas kesatuan wilayah.
Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada
masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah.
Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari
aspek sarana prasarana, sistem administrasi, keuangan dan kewenangan
bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di
kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi
strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan
kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan dengan
itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber
yakni: pertama, bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum
pemerintahan; dan kedua, kewenangan bidang pemerintahan yang
dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah.
Dengan demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan
lebih sebagai pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan. Atas
dasar pertimbangan demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan
dipandang masih relevan untuk menggunakan tanda jabatan khusus sebagai
perpanjangan tangan dari bupati/walikota di wilayah kerjanya.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian pembentukan kecamatan dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri
terdekat yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang
bersangkutan.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan persetujuan diajukan oleh bupati/walikota kepada
gubernur sebelum penyusunan rancangan peraturan daerah tentang
pembentukan kecamatan dimaksud.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ibukota kecamatan adalah pusat
penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lampiran peta digambarkan dengan skala 1:50.000.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian penghapusan dan/atau penggabungan kecamatan dilakukan
oleh pemerintah kabupaten/kota dengan melibatkan perguruan
tinggi negeri terdekat yang ada di kabupaten/kota atau provinsi
yang bersangkutan.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”eksternalitas” adalah kriteria pelimpahan
urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal kecamatan,
maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan ”efisiensi” adalah kriteria pelimpahan
urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi
yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan
lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut
menjadi kewenangan camat.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Koordinasi yang dilakukan oleh camat adalah untuk mencapai
keserasian, keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi, dan integrasi
keseluruhan kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan di
kecamatan, guna mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
kecamatan yang efektif dan efisien.

Pasal 28
Koordinasi dimaksud dapat berbentuk rapat koordinasi, permintaan/
penyampaian data, pemberian informasi, konsultasi, dan bentuk
lainnya.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Tidak ada komentar: