Selasa, 15 April 2008

Undang-Undang No. 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie)

UU 7/1951, PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG UNDANG LALU LINTAS JALAN (WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86)

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:7 TAHUN 1951 (7/1951)

Tanggal:30 JUNI 1951 (JAKARTA)


Tentang:PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN (WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : bahwa untuk menyesuaikan aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-undang Lalu-lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 68) dengan Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia supaya aturan-aturan ini dapat terjamin pelaksanaannya secara praktis, perlu diadakan perubahan dan tambahan dalam Undang- undang Lalu-Lintas Jalan yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatsblad 1940 No. 72; Mengingat : pasal 89, 142, dan 143 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Dengan persetujuan : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Memutuskan

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN (WEGVERKEERSORDONANTIE, STAATSBLAD 1933 No. 86).

Pasal 1.

"Undang-undang Lalu-Lintas Jalan" (Staatsblad 1933 No. 86) sebagaimana Undang-undang itu telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang tanggal 1 Maret 1940 (Staatsblad 1940 No. 72) diubah dan ditambah lagi sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1) dibawah 8 harus dibaca :

8.daerah-daerah otonoom: daerah-daerah yang disebut dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara (Undang- undang No. 7 tahun 1950, Lembaran Negara 1950 No. 56).

Pasal 5ayat (2)harus dibaca :

(2)Seraya mengingat penetapan dalam ayat (1) dan aturan-aturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka dengan atau berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat ditentukan untuk beberapa jalan kecepatan-kecepatan-maksimum yang berlaku untuk semua atau beberapa jenis kendaraan.

ayat (4)harus dibaca :

*216 (4)Penetapan-penetapan yang disebut dalam ayat (2) dan (3) diumumkan di Lembaran Propinsi.

Pasal 8ayat (2)harus dibaca :

(2)Nomor dan huruf atas permohonan diberikan kepada pemilik-pemilik atau pemegang-pemegang kendaraan bermotor oleh Kepala Kepolisian Keresidenan, di dalam wilayah kekuasaan siapa kendaraan-bermotor itu biasanya berada. Jika sesuatu kendaraan-bermotor biasanya berada dalam lebih dari satu wilayah-kekuasaan yang disebut tadi, maka sebagai tempat biasa harus dianggap wilayah-kekuasaan di dalam mana tempat kediaman pimpinan harian perusahaan itu berada.

Dalam pasal II di bawah b, "daerah-pemerintahan" harus dibaca : "wilayah-kekuasaan".

Dalam pasal 14 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat yang berikut : ", atau, jika ini tidak ada, dengan aturan-aturan atau peraturan peraturan Kepolisian seperti disebut dalam pasal 129 Tata Negara Indonesia".

Pasal 14 ayat (3) ditiadakan.

Pasal 16 ayat (2) harus dibaca : ayat (2) Keterangan-keterangan mengemudi diberikan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan.

Pasal 25 ayat (3) ditiadakan.

Dalam pasal 25 ayat (4) kata-kata " mengenai tugas jawatan pemeriksaan" ditambah dan harus dibaca : "mengenai susunan dan tugas jawatan pemeriksaan".

Pasal 25 ayat (5) ditiadakan.

Dalam pasal 27 ditiadakan anak-kalimat yang berikut : ", atau, jika ini tidak ada, dengan aturan peraturan Kepolisian seperti disebut di pasal 129 Tata Negara Indonesia". Dalam pasal 30 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat : ", atau, jika ini tidak ada, digubernemen Yogyakarta dan Surakarta dengan penetapan gubernur dan di tempat dengan penetapan residen".

Pasal 30 ayat (2) harus dibaca : (2) Penetapan-penetapan yang disebut dalam ayat (1) diumumkan di Lembaran Propinsi.

Dalam pasal 31 ayat (1) sebagai pengganti "ayat-ayat (2) dan (2a)" harus dibaca : "ayat (2)".

Pasal 31 ayat (2) harus dibaca (2) Izin yang disebut dalam ayat pertama diberikan :

a.untuk trayek-trayek dalam kota oleh atau atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Kota;
b.untuk semua trayek-trayek yang lain oleh Menteri Perhubungan setelah berunding dengan Gubernur yang bersangkutan.

*217 Pasal 31 ayat-ayat (2a) dan (3) ditiadakan.

Pasal 32 ayat (6) harus dibaca : (6) Izin yang disebut dalam pasal 31 ayat (1) itu tidak diwajibkan untuk pengangkutan yang akan dilakukan hanya sekali atau jarang kali saja. Dalam hal ini dilarang mempergunakan otobis untuk pengangkutan/penumpang ataupun menyuruh atau membiarkannya dipergunakan untuk itu, jika tidak mempunyai izin istimewa dari Inspektur Lalu-lintas dalam wilayah-kekuasaan siapa kendaraan bermotor itu biasanya berada. Jika kendaraan bermotor itu biasanya berada dalam lebih dari satu wilayah kekuasaan yang disebut tadi, maka izin itu diberikan oleh Inspektur Lalu-lintas dalam wilayah kekuasaan siapa tempat kediaman pimpinan harian perusahaan itu berada. Inspektur-inspektur Lalu-lintas berkuasa memberikan izin untuk trayek yang diminta seluruhnya, juga jika trayek ini melewati batas wilayah-kekuasaan mereka. Terhadap penolakan izin, maka dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan hal ini disampaikan kepada pemohon, dapat diminta bandingan Gubernur dan beliaulah yang memberikan izin itu, jika permintaan-bandingan ini dianggap beralasan.

Pasal 32 ayat (7) ditiadakan.

Pasal 37ayat (4) harus dibaca. (4) Terhadap keputusan tentang pemberian, penolakan atau pencabutan sesuatu izin, ataupun tentang perubahan aturan jalan atau biaya pengangkutan yang ditetapkan dengan izin yang disebut dalam pasal 31 ayat (1), orang yang berkepentingan dapat minta bandingan dalam waktu tiga puluh hari setelah keputusan yang bersangkutan itu diumumkan :

a.kepada Menteri Perhubungan, jika keputusan ini diambil oleh atau atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Kota;
b.kepada Dewan Menteri, jika keputusan ini diambil oleh Menteri Perhubungan.

Dalam pasal 40 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat : "ataupun Gubernur yang bersangkutan".

Pasal 40 ayat (4) harus dibaca : (4) Izin yang disebut dalam ayat pertama tidak diwajibkan untuk pengangkutan yang dilakukan sekali atau jarang kali saja. Dalam hal ini dilarang mengangkut barang dengan kendaraan-bermotor ataupun menyuruh atau membiarkan mengangkutnya dengan tak mempunyai izin istimewa dari Inspektur Lalu-lintas, dalam wilayah-kekuasaan siapa kendaraan bermotor itu biasa berada. Jika kendaraan-bermotor itu biasanya berada dilebih dari satu wilayah-kekuasaan yang disebut tadi, maka izin itu diberikan oleh Inspektur Lalu-Lintas dalam wilayah kekuasaan siapa tempat kediaman pimpinan harian perusahaan itu berada. Inspektur-inspektur Lalu-Lintas berkuasa memberikan izin untuk trayek yang diminta seluruhnya, juga jika trayek ini meliwati batas wilayah-kekuasaan mereka. Terhadap penolakan izin, dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan hal ini disampaikan kepada pemohon, dapat minta bandingan Gubernur dan beliaulah yang memberikan izin itu, jika permintaan-bandingan ini dianggap beralasan.

Pasal 43 ayat (7) harus dibaca : (7) Terhadap penolakan permohonan izin yang disebut dalam pasal *218 ini, yang berkepentingan dapat minta bandingan Dewan Menteri, dalam waktu 30 hari sesudah keputusan yang bersangkutan diumumkan.

Pasal 54 ayat (4) di bawah a. ditambah dan harus dibaca

a. menjalankan segala kebijaksanaan, jika perlu dengan memakai kekerasan, supaya tuntutan-tuntutan, perintah- perintah dan petunjuk-petunjuknya sebagai termaksud dalam ayat di muka ini, diturut;

Pasal 54 ayat (5) kata : "di Jawa dan Madura Bupati dan di tempat lain Kepala Pemerintahan setempat" diganti dengan kata "Kepala Kejaksaan".

Pasal 55 ayat (3) harus dibaca : (3) Jikalau pengemudi sesuatu kendaraan melakukan salah satu perbuatan yang terancam dengan hukuman di dalam atau berdasarkan Undang-undang ini, ataupun melanggar salah satu pasal 359, 360, 406, 409, 410 atau 492 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sebagai hukuman tambahan melarangnya mengemudikan beberapa jenis kendaraan, dalam keadaan yang demikian beberapa jenis kendaraan, dalam keadaan yang sedemikian, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk membicarakannya seterusnya sebagai pengemudi kendaraan yang semacam itu dijalan, maka oleh Kepala Kejaksaan dapat disita keterangan mengemudi yang telah diberikan kepadanya atau tanda-penerimaan yang disebutkan dalam ayat (2), sampai perbuatan ini diadili dengan keputusan-hakim yang tak dapat diubah lagi, atau sampai saat penetapan bahwa tidak akan diadakan lagi tuntutan-hukuman. Dalam hal ini tidak diberikan tanda-penerimaan yang disebut dalam ayat (2) itu. Dalam pasal 56 ayat-ayat (1) dan (2) kata-kata "Gubernur Jenderal dan/atau Kepala-kepala Departemen" diganti dengan kata "Menteri". Dalam pasal 57 ayat (2) kata-kata "Gubernur Jenderal" diganti dengan kata : "Presiden".

Pasal II.

Selama dalam pasal I dari Undang-undang ini tidak ada penetapan lain maka dalam "Undang-undang Lalu-lintas Jalan" sebagai pengganti :

a."Gubernur Jenderal" ; "Direktur Perhubungan dan Perairan" harus dibaca : "Menteri Perhubungan";
b."Direktur Pemerintahan Dalam Negeri" harus dibaca "Menteri Dalam Negeri";
c."Regeringsverordening" harus dibaca "Peraturan-Pemerintah;
d."Javase Courant" harus dibaca "Berita Negara".

Pasal III.

Jika di dalam aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan atas "Undang-undang Lalu-Lintas Jalan" disebut :

a."propinsi", "dewan propinsi", "dewan harian propinsi" (College van Gedeputeerden) dan "gubernur", maka dimaksudkan pula dengan itu berturut-turut : "Daerah Istimewa Yogyakarta", sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang nomor 3 dan 19 tahun 1950 dari Republik Indonesia (Negara-Bagian dahulu), serta badan-badan pemerintahan daerah itu *219 yang bersamaan;
b."stadsgemeente" dan "gemeente", maka dengan itu dimaksudkan kota-kota seperti yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 121 dan 123 Tata Negara Indonesia serta "kota-besar" dan "kota-kecil" seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 dari Republik Indonesia (Negara-Bagian dahulu).

Pasal IV.

Pengumuman di Lembaran-lembaran Propinsi atau Lembaran-lembaran Kota yang diharuskan menurut atau berdasarkan "Undang-undang Lalu-lintas Jalan" itu, di tempat-tempat yang belum ada penerbitan Lembaran-lembaran demikian, dilakukan di dalam "Berita Negara".

Pasal V.

Di mana dalam atau berdasar Undang-undang ini ada ketentuan ketentuan yang mengakui hak utama berdasarkan hak sejarah, maka ketentuan ketentuan itu ditiadakan.

Pasal VI.

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1951. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1951. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEKARNO

MENTERI PERHUBUNGAN

DJUANDA

Diundangkan pada tanggal 9 Juli 1951. MENTERI KEHAKIMAN a.i.,

M.A PELLAUPESSY

PENJELASAN UNDANG UNDANG NO 7 TAHUN 1950 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN (WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86)

PENJELASAN UMUM.

Undang-undang Lalu-lintas Jalan, yang berlaku pada 27 Desember 1949, masih tetap berlaku sesudah penyerahan kedaulatan menurut pasal 192 "Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat, pun sesudah penjelmaan Negara-Kesatuan pada 17 Agustus 1950 tetap berlaku menurut pasal 142 "Undang-undang Dasar Sementara". *220 Undang-undang Lalu-lintas Jalan tersebut yang bersifat modern dan yang telah ternyata berguna dipraktek, untuk beberapa waktu tetap dapat berlaku dengan syah, dipandang dari sudut hukum madi (materieel recht). Pemerintah tidak dapat menyangkal, bahwa peninjauan kembali aturan-aturan mengenai ekonomi Lalu-lintas Jalan yang terdapat di dalam perundang-undangan ini sangat perlu untuk menyesuaikannya dengan pendirian-pendirian Umum Pemerintah yang mengenai politik lalu-lintas dan ekonomi pengangkutan, tetapi perobahan yang demikian belum lagi dapat dikemukakan, oleh karena masalah koordinasi-pengangkutan yang serba sulit itu memerlukan penyelidikan yang saksama yang akan memakan jangka waktu yang agak lama. Tetapi peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan Undang undang yang berlaku sekarang mempunyai banyak kelonggaran (elasticiteit), sehingga ketika melaksanakannya Pemerintah tidak terikat kepada politik Pemerintah dahulu, dan dapat mewujudkan pendirian-pendiriannya sementara mengenai hal itu. Sudah tentu hal ini akan dilakukan secara sangat berhati-hati, selama Pemerintah belum menentukan pendiriannya sampai garis-garis kecil mengenai politik yang akan dijalankan. Dapat dikatakan, bahwa sebagai tujuan yang terutama sewaktu menjalankan aturan-aturan tentang pengangkutan, ialah pembangunan alat-pengangkutan nasional yang dibentuk dari perusahaan-perusahaan pengangkutan yang sebagian besar bersifat kebangsaan.

Pemerintah telah senantiasa berusaha ke arah ini. Pada aturan-aturan penyelenggaraan Undang-undang Lalu-lintas Jalan yang juga akan mendapat peninjauan dan perbaikan-sementara, akan segera pula dimasukkan aturan-aturan untuk memperpesatkan penjelmaan tujuan ini.

Selain dari itu untuk sementara Pemerintah berpendapat tidak akan mengadakan perubahan Undang-undang Lalu-lintas Jalan yang prinsipieel, sebelum lembaga-lembaga-negara sudah kokoh dan alat-pemerintahan sampai ke seluruh cabang-cabangnya telah mengembangkan usahanya seluas-luasnya, sehingga dapat dijalankan politik-lalu-lintas yang baru dengan berhasil baik. Organisasi jawatan-jawatan yang diberi tugas untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan Undang-undang Lalu-lintas ini, telah disusun dengan sungguh-sungguh. Tetapi pendidikan pegawai-pegawai ahli, walaupun untuk sementara waktu tidak sesempurna yang dikehendaki, sudah tentu menghendaki waktu juga.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disebut tadi maka perubahan yang diusulkan sekarang hanya bersifat hukum-zahari (formeel recht) saja. Tetapi perubahan-perubahan ini sangat perlu untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang Lalu-lintas Jalan secara praktis. Menurut Undang-undang itu masih ada badan-badan pemerintahan yang diberikan kekuasaan-eksekutip, yang sekarang tidak ada lagi, seperti "Gubernur Jenderal", "Residen", "Asisten-residen", "Kepala Pemerintahan setempat" dan "Magistrat". Walaupun seringkali telah nyata, kepada penjabat-penjabat mana dalam suasana baru ini harus diberikan kekuasaan-kekuasaan yang ada pada badan-badan pemerintahan tadi, tetapi masih perlu hal ini diperkuat dengan Undang-undang, juga mengenai beberapa hal, yang tidak segera dapat dinyatakan badan mana yang ada sekarang ini harus menerima kekuasaan itu.

Penunjukkan badan-badan-eksekutip bersifat sementara dalam beberapa hal, dan harus dianggap sebagai tindakan-peralihan. *221 PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Ayat(1) sub 8. Dari definisi "daerah-daerah otonoom" (Openbare gemenschappen) harus ditiadakan penunjukan ke "Tata-Negara Indonesia" yang dahulu, yang antara lain juga menyebut "daerah-daerah golongan" (groepsgemeenschappen) yang sekarang tidak ada lagi. Lihat juga pasal III.

Pasal 5.

Ayat(2). Dari penetapan ini harus dibuang sebagai badan pemerintahan eksekutip gubernur-gubernur Gubernemen Yogyakarta dan Surakarta, dan residen-residen.

Ayat(4). Penetapan yang ada sekarang mengharuskan pengumuman keputusan-keputusan mengenai penetapan kecepatan-kecepatan maksimum di Lembaran Propinsi, atau Berita Negara. Jika Lembaran-lembaran Propinsi sudah dikeluarkan di mana-mana, maka tidak perlu lagi dilakukan pengumuman di Berita Negara. Lihat selanjutnya pasal II sub d dan pasal IV.

Pasal 8 ayat (2), 11 sub b dan 16 ayat (2). Tanda nomor dan keterangan-mengemudi dikeluarkan oleh para residen. Dipraktek kewajiban ini selalu ditugaskan dan diserahkan seluruhnya kepada Polisi Umum. Bagaimana juga kedudukan Pamong Praja terhadap Polisi akan diatur kelak, tidak ada keberatan, jika segera ditetapkan dengan Undang-undang kekuasaan polisi dalam melaksanakan Undang-undang Lalu-lintas mengenai soal ini, sebab pengawasan lalu-lintas sebenarya adalah bagian yang penting dari tugas-polisi dan dengan sendirinya hal ini harus seterusnya dipercayakan kepada Jawatan Polisi Umum.

Oleh karena organisasi Polisi Umum sambil menunggu diadakan pembagian-ketata-negaraan yang pasti (pembagian propinsi dalam kabupaten-kabupaten)-masih berdasarkan pembagian-pemerintahan dalam keresidenan, maka sebagai akibatnya yang tak dapat dielakkan lagi, ialah, bahwa buat sementara waktu, pengluaran tanda-nomor dan keterangan-mengemudi harus tetap dilakukan secara keresidenan demi keresidenan.

Pasal 14.

Ayat(1). Aturan-aturan dan peraturan-peraturan Polisi yang disebut dalam pasal 129 Tata-Negara Indonesia tidak ada lagi pada susunan baru ini. Ayat(3). Menurut penetapan ini Gubernur Jenderal dapat sementara membatalkan aturan mengenai kewajiban memberi -nomor pada kendaraan-kendaraan tak bermotor untuk daerah-daerah yang mempunyai lalu-lintas-kendaraan yang belum luas. Kekuasaan ini tidak dipergunakan lagi pada tahun-tahun terakhir sebelum perang.

Pasal 25.

Ayat-ayat (3) dan (4). Dalam ayat (3) pemeriksaan-kendaraan-motor diserahkan kepada, selain dari Jawatan-Pemeriksaan-Propinsi, juga kepada Jawatan Pemeriksaan Daerah, daerah golongan dan keresidenan, serta juga kepada Jawatan Pemeriksaan Daerah Perkebunan. Untuk sementara jawatan-jawatan pemeriksaan itu sekarang diatur dari pusat dengan peraturan pemerintah. Hal ini dapat *222 dilakukan berdasarkan ayat (4). Ayat (5). Menurut penetapan ini Gubernur Jenderal mempunyai kekuasaan membebaskan kewajiban pemeriksaan kendaraan motor untuk daerah-daerah yang mempunyai lalu lintas kendaraan motor yang belum luas. Oleh karena hal demikian dianggap bertentangan dengan keamanan, maka penetapan ini sudah lama sebelum perang tidak dijalankan lagi.

Pasal 27. Lihat penjelasan atas pasal 14 ayat (1).

Pasal 30.

Ayat (1). Lihat penjelasan atas pasal 5 ayat (2). Ayat (2). Lihat penjelasan atas pasal 5 ayat (4).

Pasal 31.

Ayat-ayat (1), (2) dan (2a). Oleh karena Pemerintah pemerintah Propinsi belum semua tersusun, dan inspeksi-inspeksi yang akan diberbantukan kepada Pemerintah itu belum semua berjalan, maka kekuasaan (hak) untuk memberikan izin untuk dines otobis umum tetap dipegang Menteri Perhubungan : hal ini adalah tindakan peralihan. Lagi pula sekarang ini pembangunan soal otobis ini sangat perlu diurus dari pusat, sebab perkara ini menghendaki keahlian khusus dan sewaktu mempertimbangkan permintaan izin ini harus diadakan ukuran-ukuran umum. Selanjutnya sewaktu membangun alat pengangkutan otobis itu harus dipergunakan dasar-dasar koordinasi dan ekonomi lalu-lintas yang tertentu, yang belum lagi dikerjakan sampai garis-garis kecil, sehingga belum dapat diumumkan; dan berhubung dengan itulah maka kekuasaan untuk memberikan izin otobis tersebut tidak segera dapat diserahkan kepada Pemerintah-pemerintah daerah.

Pasal 32.

Ayat (6). Izin sekali-sekali (incidenteel) untuk menjalankan otobis umum menurut aturan-aturan yang ada sekarang, diberikan oleh asisten-residen, atau Kepala Pemerintah setempat. Dipraktek ternyata, pembesar-pembesar pemerintah ini tidak mempunyai pemandangan yang cukup dalam perkara ini. Kekuasaan ini diserahkan kepada pegawai-pegawai Pamong Praja, sebab belum perang hanya di Jawa dan Madura saja diadakan Inspeksi Lalu-lintas. Oleh karena sekarang ini di tiap-tiap Propinsi diadakan atau akan diadakan inspeksi lalu-lintas, maka dengan sendirinya jawatan yang ahli ini ditugaskan untuk melaksanakan aturan itu. Ayat (7). Lihat penjelasan atas pasal 14 ayat (3).

Pasal 37.

Ayat (4). Terhadap keputusan-keputusan Direktur Perhubungan dan Pengairan, diberi kesempatan untuk meminta perbandingan kepada Gubernur Jenderal. Walaupun Menteri Perhubungan sekarang berlainan pertanggungjawabnya kepada Parlemen dari pada Direktur Perhubungan dan Perairan yang dahulu mengenai pimpinannya dalam soal lalu-lintas, tetapi buat sementara masih dianggap perlu diadakan instansi yang lebih tinggi kepada siapa orang dapat meminta perbandingan mengenai keputusan-keputusannya; dalam suasana yang baru sekarang Dewan Menteri yang dianggap tepat untuk memberikan putusan dalam perbandingan itu.

Pasal 40.

Ayat (1). Dengan Gubernur dimaksudkan di sini Gubernur *223 gubernur Sumatera, Kalimantan dan Timur Besar dahulu. Ayat (4). Lihat penjelasan atas pasal 32 ayat (6).

Pasal 43. Ayat (7). Lihat penjelasan atas pasal 37 ayat (4).

Pasal 54.

Ayat (4) di bawah a. Meskipun sudah selayaknya, masih dianggap perlu supaya ditetapkan, bahwa pegawai kepolisian sebelum memakai kekerasan, menjalankan segala kebijaksanaan dalam menuntut supaya perintah dan petunjuknya diturut. Ayat (5). Penetapan ini mengatur pengawalan kendaraan yang telah dipakai sewaktu melakukan pelanggaran. Dengan sendirinya kekuasaan (hak) untuk mengeluarkan perintah yang demikian harus diberikan kepada Parket.

Pasal 55.

Ayat (3). Aturan ini dahulu memberikan kekuasaan kepada Jaksa Umum dan kepada Asisten-residen, Kepala Pemerintahan setempat dan Magistrat menyita keterangan-keterangan mengemudi kepunyaan seorang pengemudi kendaraan yang bermuat sesuatu pelanggaran lalu-lintas dalam keadaan yang sedemikian, sehingga tak dapat dipertanggung jawabkan untuk membolehkannya lagi berada di jalan sebagai pengemudi kendaraan yang serupa itu. Juga kekuasaan ini semata-mata harus berada pada pegawai penuntut, yaitu Parket.

Pasal 56.

Ayat-ayat (1) dan (2). Pasal ini menguraikan pembentukan Panitya Lalu-lintas dan menyebutkan pembesar-pembesar yang akan diberikan nasehat-nasehat oleh Panitya ini.

Pasal 57.

Ayat (2). Aturan ini menerangkan bahwa Gubernur Jenderal berkuasa dalam hal-hal istimewa memberikan kelonggaran (dispensasi) dari aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-undang Lalu-lintas Jalan. Kekuasaan yang maha penting ini harus berada di tangan Kepala Negara.

Pasal II.

sub a. Hanya dalam satu hal, yakni, dalam hal yang disebut di pasal 57 ayat (2) kekuasaan Gubernur-Jenderal dahulu berpindah kepada Presiden. Jika diselidiki lebih lanjut maka ternyata, bahwa segala kekuasaan-kekuasaan Gubernur-Jenderal yang lain adalah mengenai soal-soal yang diselenggarakan dengan pertanggung-jawaban Menteri, oleh sebab itu kekuasaan-kekuasaan ini harus diserahkan kepada Menteri Perhubungan. Segala kekuasaan-kekuasaan Direktur Perhubungan dan Perairan yang dahulu dengan sendirinya berpindah ke Menteri Perhubungan. sub b, c dan d. Aturan-aturan ini tak perlu dijelaskan lagi. Lihat selanjutnya pasal IV.

Pasal III.

sub a. Menurut Undang-undang Republik Indonesia (Negara Bagian dahulu) No. 3 dan 19 tahun 1950 mengenai pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah ini sederajat dengan propinsi sebagai daerah otonoom. Untuk menghindarkan perlunya mengubah puluhan pasal, yang *224 menyebutkan propinsi atau badan-badannya, maka sesuai dengan Undang-undang yang termaksud, di sini ditetapkan, bahwa tentang pelaksanaan perundang-undangan lalu-lintas jalan, Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai hak-hak yang bersamaan dengan Pemerintah Propinsi. sub b. Baik daerah-daerah kota di daerah-daerah R.I.S. yang dahulu, maupun kota-besar dan kota-kecil di daerah R.I. (Negara Bagian dahulu) harus diberikan tugas pada pelaksanaan perundang-undangan lalu-lintas jalan.

Pasal IV. Selama lembaran-lembaran propinsi dan kota belum diterbitkan, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan daerah-otonoom, yang melaksanakan perundang-undangan lalu-lintas jalan harus diumumkan dengan cara lain. Berita Negara ialah penerbitan yang selayaknya untuk ini.

Pasal V.

Dalam Undang-undang Lalu-lintas Jalan adalah beberapa jenis peraturan yang memperkenankan hak utama kepada pengusaha-pengusaha pengangkutan umum untuk memperoleh izin pengangkutan penumpang dan barang dan yang waktu berlakunya izinnya telah lampau (lihatlah pasal-pasal 32 ayat 5 dan 41 ayat (5) Undang-undang Lalu-lintas Jalan). Hasrat ini yang terang, untuk mempertahankan sesuatu yang telah berada, atau dengan kata lain : untuk melindungi hak sejarah (historisch recht), merintangi pembina peralatan pengangkutan yang nasional, maka tidak sesuai lagi dengan perimbangan-perimbangan yang telah diubah. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang Lalu-lintas Jalan perlu ditambah dengan suatu pasal umum untuk menyampingkan pengakuan hak sejarah itu dan demikianlah instansi yang berhak memberikan izin-izin dapat bertindak dengan bebas untuk memperkenankan izin-izin pengangkutan penumpang dan barang kepada pengusaha-pengusaha, yang dalam suasana dewasa ini selayaknya harus diberikan izin itu.

--------------------------------

CATATAN

DICETAK ULANG

Tidak ada komentar: